Raven masih tercenung ketika sudah berada di sebuah kafe di mana nama kafe tersebut cukup membuatnya tersenyum. Bahkan dengan polosnya ia berpikir jika para pengunjung yang datang ke kafe ini hanya barisan para mantan yang galau termasuk dirinya yang harus kecewa oleh seseorang yang berharga dalam hidupnya dan sudah beralih menjadi mantan. Mengenai mantan, Raven teringat dengan sosok Luna, perempuan baik dan lemah lembut yang merupakan karyawannya sendiri, perempuan yang pernah mengisi hatinya dulu setelah Camelia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan magister-nya ke Australia demi menunda perjodohan. Ia sadar hubungannya dengan Luna hanya sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan semata atas kelakuan bebas Camelia yang begitu jauh dari harapan untuk menjadi istrinya kelak, meskipun ia masih mencintai perempuan itu. Namun, lama kelamaan perasaan itu mulai menghilang dan tergantikan oleh kehadiran Luna. Ia benar-benar jatuh cinta kepadanya sehingga melupakan perjodohan dan perasaannya kepada Camelia. Ia menjalin hubungan dengan Luna selama satu tahun lebih tanpa sepengatahuan sang nenek yang masih mengharapkan ia menikah dengan cucu dari sahabatnya itu.
Raven harus menelan kekecewaan kembali, selain kecewa atas sikap Camelia yang begitu jauh dengan yang diharapkanya, ia pun kecewa ketika Luna akan dijodohkan dengan seseorang yang merupakan teman masa kecilnya dulu. Hal itulah yang membuat perempuan itu memutuskan hubungan dengannya, ketika Raven masih sangat mencintai Luna dan menaburkan luka di dalam hatinya.
Raven tak sadar jika keterdiamannya ternyata malah dijadikan objek pemandangan oleh Rahandika, sahabat karibnya yang baru saja datang. Pria yang sudah bersahabat sejak lama dengannya tentu sudah tahu dengan sikap Raven yang sering melamun ketika sedang sendiri.
"Muka Lo suntuk banget kelihatannya, Rav, ada apa? Didesak nikah lagi sama nenek Hanna," cetus Rahandika yang sudah mendudukkan bokongnya mengadu di atas kursi sembari tersenyum meledek, menghentikan pikiran Raven yang cukup rumit siang ini.
Raven tampak mendongakkan wajah ke arah sahabatnya, lalu diturunkan kembali ketika posisi Rahandika yang sudah duduk saling berhadapan dengannya.
Laki-laki itu seolah sudah tahu apa yang terjadi pada sahabatnya. Padahal niatnya bertemu dengan Raven karena ia yang ingin berbicara penting kepada pria itu. Namun, melihat wajah sahabatnya yang seperti ini, ia sudah menebak dan pastinya pria itu yang akan curhat kepadanya. Cerita lama Raven.
Raven mengangguk pelan. "Iya Dik. Perjodhan dengan Camelia. Jujur gue berat banget terima perjodohan ini, apalagi terima dia jadi istri gue." Raven langsung mengungkapkan rasa beratnya jika harus menikah dengan perempuan itu, tanpa ada keraguan sama sekali di depan wajah sahabatnya.
"Gue heran deh bukannya udah dari lama lo suka dan memendam rasa kepada perempuan itu. Terus saat pertama lo dijodohin sama dia, lo kegirangan setengah mati, meski harus tertunda ketika perempuan itu memilih untuk melanjutkan pendidikan magisternya lebih dulu. Dan sekarang Lo malah kek mundur gitu, Rav?" Rahandika merasa heran dengan sikap Raven. Segitu mudahnya bagi pria itu melupakan sosok perempuan yang sudah dicintainya sejak lama. Meskipun ia tahu dengan jalinan kasih antara Raven dengan Luna yang tak lain salah satu karyawannya, sampai membuat Raven jatuh cinta dan menjalin hubungan selama satu tahun lebih dengan perempuan itu.
"Perasaan gue melemah ke dia setelah menjalin hubungan dengan Luna, Dik." Raven terpaksa sedikit berdusta.
"Tapi lo nggak bener-bener cinta ke Luna, kan. Gue bisa lihat sikap lo kek gimana ke dia, Rav. Hati lo masih tetap milik Camelia. Lo cuma jadiin Luna sebagai pelampiasan semata, hubungan yang terjalin antara lo dengan dia pure karena lo harus menunda perjodohan," cetus Rahandika yang sudah membaca perasaan sahabatnya, meski ucapannya tadi terdengar kasar.
"Gue cinta kok sama Luna, buktinya gue bisa menjalin cinta selama satu tahun. Waktu yang nggak sedikit untuk mengenal karakter seseorang. Perasaan gue melemah kepada Camelia setelah perempuan itu tinggal di luar negeri, sebenarnya gue nggak mau nyewa intel untuk memata-matai kegiatan dia di Ausi, bukannya gue nggak percaya. Tapi, gue harus tahu dengan apa yang dia lakukan di sana. Dan jujur gue syok melihat dia yang sering pergi clubbing dan mabuk di sela pendidikannya. Bahkan berteman dengan banyak pria, apa dia lupa dengan posisinya yang akan dijodohin sama gue, meskipun harus tertunda. Dia bakal jadi istri gue lho dan sudah seharusnya juga gue cari tahu apa pun yang dia lakukan di sana. Jujur, pergaulan dia dengan banyak pria, itulah yang membuat gue enggan untuk menikah dengannya. Lo kalau ada di posisi gue pasti akan melakukan hal yang sama, Dik. Lo pasti akan mencari sosok perempuan yang baik, nggak suka clubbing, apalagi mabuk, karena dia yang akan menjadi sosok ibu bagi anak-anak gue kelak!" tukas Raven yang menuturkan semuanya ke hadapan Dika tanpa ada keraguan sama sekali.
"Hati gue memang masih untuk perempuan itu, tapi sikap dan kelakuannya jujur gue belum bisa terima."
Laki-laki tu hanya mengangguk pelan dan sangat mengerti dengan posisi Raven sekarang, ketika hatinya masih untuk Camelia, namun belum bisa menerima dengan kelakuannya yang cukup berani. Jatuh cinta kepada Luna hanya sesaat saja, apalagi hubungan keduanya kandas ketika perempuan itu akan dijodohkan dengan pria lain.
Tiba-tiba saja Rahandika menyipitkan mata ketika ia melihat Camelia yang berada di kafe ini, perempuan itu tengah berjalan dan celingukkan seperti mencari seseorang, membuat Raven heran dengan raut wajah sahabatnya yang sedikit berubah.
"Kenapa Lo?"
"Lo janjian sama Camelia?" Rahandika balik bertanya sembari menatap wajah Raven.
"Heem," balasnya sembari menganggukkan kepala.
"Tuh jodoh lo udah datang, ya udah kalau gitu gue pamit," cetus Rahandika yang segera bergegas beranjak bangun sembari menepuk bahu Raven pelan.
Namun, Raven mampu memegangi pergelangan tangannya menahan Rahandika untuk pergi. "Dik tunggu dulu napa, bukannya lo yang pengen bicara ke gue, kenapa gue yang malah curhat ke lo. Terus kenapa lo pergi ninggalin gue?" Raven baru teringat dengan tujuan awal Rahandika yang ingin bertemu dengannya hari ini.
"Lo yang nyerocos dari tadi, Rav. Udahlah nanti aja, lo selesain dulu masalah dengan perempuan itu. Lagian masa iya gue nyempil di tengah-tengah lo dengan dia ngobrol, gila kali lo." Rahandika benar-benar pergi meninggalkan Raven yang akan berbicara dengan Camelia.
"Dik, Dika!" teriak Raven yang tanpa sadar jika teriakannya itu membuat para pengunjung kafe melirik ke arahnya. Tak sedikit yang terpesona dengan wajah tampan Raven, ditambah dengan penampilannya khas seorang CEO atau presdir. Perempuan mana yang tidak akan tergoda kepadanya.
Raven merasa heran dengan keadaannya kali ini yang tiba-tiba saja gugup, bahkan dengan jantungnya yang terus berdetak kencang ketika akan bertemu dengan perempuan itu. Padahal sebelumnya biasa saja, karena perasaannya pernah tergantikan oleh Luna. Namun, di lain sisi Raven sadar jika dirinya memang menganggap kedua perempuan itu sebagai tempat pelampiasan perasaan semata. Ketika ia tengah kecewa atas sikap Camelia, tiba-tiba Luna hadir dalam hidupnya dan mampu membuatnya jatuh cinta. Lalu, ketika Luna memutuskan hubungan karena tidak ingin menolak dengan perjodohan orang tuanya, Camelia kembali hadir dan dirinya harus diposisikan dengan perjodohan yang sudah enggan untuk dilakukan. Mungkin jika ia menerima perjodohan ini, terlepas dari pelampiasan perasaannya kepada Luna, setelah perempuan itu memutuskan hubungan, ia masih mencintainya.
Beberapa kali Raven harus mengeluarkan napasnya dengan pelan sembari meraba dadanya yang terus bergemuruh. Bukankah perasaan itu sudah tidak ada kepada Camelia. Lalu, kenapa dengan keadaannya sekarang yang tak karuan.
"Kenapa sih aneh banget, padahal tadi nggak gugup," celoteh Raven dengan kesal dan merutuki keadaannya sendiri sembari mengacak rambut pelan. Padahal ia tidak ingin merasakan hal seperti ini yang membuatnya tak bisa menyembunyikan perasaannya kepada perempuan itu.
Sembari menormalkan keadaan dan menghela napas secara perlahan, sementara satu tangannya tampak dirautkan di bawah meja.
"Sorry gue datang telat, tadi di jalan macet banget," sahut perempuan itu yang baru saja datang dan terlihat sibuk mengipas-ngipas wajahnya yang terasa panas nan berkeringat.
"Lo nggak lama nunggu gue, kan?" tanya Camelia yang sudah menatap Raven. Pesona tampan dari pria itu tak bisa dialihkan sedikitpun, membuatnya merasa betah untuk menatap wajah dan penampilannya yang memang sempurna.
"Siapa juga yang nunggu kamu." Raven langsung menjawab telak dan mengundang senyuman perempuan itu ketika tangannya masih sibuk diayuhkan ke arah wajah. Kemacetan tadi membuat make up yang menempel di wajahnya sedikit luntur. Namun, perempuan itu yakin jika wajahnya masih tetap cantik.
"Lo bisa aja, Rav. Padahal dalam hati Lo nunggu gue, buktinya lo datang lebih awal dibanding gue."
Seolah tidak ingin mendengar kepedean dari perempuan itu, Raven lebih memilih untuk memalingkan wajah sembari melawan degupan jantungnya yang benar-benar tidak normal, apalagi setelah berhadapan dengannya.
Salah satu pelayan kafe datang membawa sebuah nampan yang berisi dua mangkuk es krim, membuat Raven mengernyitkan wajah. Padahal ia sama sekali tak memesan es krim tersebut, bahkan ia pun sengaja belum memesan makanan, karena tidak tahu dengan makanan kesukaan dari perempuan itu dan malas untuk bertanya.
Setelah sang pelayan menyimpannya ke atas meja dan akan berpamitan. Namun, dicegah lebih dahulu oleh Raven.
"Maaf Mbak, perasaan saya nggak pesan es krim deh?" tanya Raven dengan wajah kebingungan.
"Owh, tadi mas-masnya yang pesan dan ditujukan ke meja ini, sepertinya teman dari Mas-nya deh yang baru pulang tadi," balas pelayan perempuan tersebut sembari terseyum malu ke arah Raven, karena harus bertatapan dengan pria tampan sepertinya.
Raven sudah menduga jika Rahandika-lah yang memesannya tadi. Sementara itu Camelia tersenyum ramah dan sedikit menundukkan kepala ketika sang pelayan berpamitan untuk kembali bekerja.
"Lo ngobrol dengan seseorang tadi?" tanya Camelia memicing, merasa penasaran dengan seseorang yang ditemui oleh Raven, dan di lain sisi ia ingin segera menikmati es krim tersebut untuk melegakan tenggorokannya, karena cuaca yang cukup panas hari ini.