2 panggilan tak terjawab
1 pesan baru
Raven baru saja membersihkan tubuh dengan keadaannya yang polos, hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya dan masih terdapat cipratan air di punggung bidangnya. Pria itu akan bersiap untuk pergi ke kantor pagi ini. Namun, langkah kakinya terhenti ketika mendapati 2 panggilan tak terjawab dan membaca pesan dari perempuan yang baru ditemuinya kemarin.
Kepala Raven mendadak berdenyut ketika harus dihadapkan lagi dengan perempuan menyebalkan yang sok cantik, dan sikapnya yang terlalu bar-bar. Sebenarnya ia sudah tidak mengharapkan dengan perjodohan ini dan melupakan sosok Camelia di dalam hidupnya. Namun, desakan sang nenek membuatnya tak bisa menolak. Raven mencoba tak peduli dan kembali melangkahkan kakinya untuk mengambil baju kemeja di lemari. Tetapi terdengar suara notifikasi pesan masuk dan membuatnya mau tidak mau membaca pesan dari perempuan itu, karena rasa penasaran selalu hinggap di dalam batinnya, jika menyangkut perempuan itu, meski bukan hal yang penting
Camelia: "{Kenapa lo cuma read doang nggak balas pesan gue!}" Perempuan itu menambahkan emoji marah, menggambarkan suasana hatinya sekarang ketika pesan yang telah dikirimkan hanya dibaca saja, tanpa ada balasan.
Raven tidak ingin membalas dan akan menyimpan ponselnya ke atas meja. Tak lama deringan ponsel yang masih dalam genggamannya menyadarkan laki-laki itu dari keterdiamannya. Raven memang sudah meyakini jika yang meneleponnya Camelia. Tidak ingin peduli namun berbeda dengan hatinya yang ingin menjawab panggilan tersebut.
"Halo, ada apa? Kenapa kamu mengganggu waktu saya pagi ini?" tanya Raven dengan suara yang cukup ketus, ia tidak suka jika ada seseorang yang mengganggu aktivitas di waktu paginya. Namun, bodohnya ia masih tetap saja menjawab.
"Ya lo sendiri nggak jawab pesan gue. Lagian lo ada di mana sih?" perempuan itu balik bertanya sampai membuat Raven harus memijat kembali pelipisnya. Pertanyaan bodoh yang ditanyakan oleh perempuan itu.
"Kamu pikir saya berada di mana pagi-pagi begini, tentu saja di rumah!"
Terdengar suara kekehan dari perempuan itu menanggapi kekesalan dari Raven, meskipun Camelia tidak melihat raut wajah Raven sekarang.
"Haha … sorry deh, bisa aja lo nginep di apartemen gitu."
"Nggak usah basa-basi, ada apa kamu telepon saya, ganggu orang aja?" Raven ingin segera menyudahi obrolan tak penting dengannya, karena masih ada beberapa hal yang ingin dilakukannya pagi ini, seperti memakai baju, sarapan, dan mengobrol dengan neneknya sebentar.
"Kalau kamu nggak bicara saya akan matikan ponselnya dalam hitungan beberapa detik," ancam Raven.
"Eh tunggu … tunggu dulu. Parah lo, baru juga beberapa detik. Gue cuma pengen ketemu sama lo hari ini."
"Nggak bisa, hari ini saya sibuk," balas Raven singkat.
"Bentar doang, Rav. Please deh, gue cuma mau kita obrolin mengenai rencana perjodohan nenek lo dan kakek gue." Camelia terpaksa memberitahukan perihal itu dan belum mendapatkan respon dari Raven yang masih terdiam.
"Oke ya, kalau lo diem gini tandanya lo setuju. Gue tunggu lo di kafe kenangan mantan," cetus Camelia yang tidak ingin dibantah.
"Saya nggak janji," balas Raven yang langsung mematikan sambungan ponselnya dengan perempuan itu. Padahal Camelia masih ingin berbicara dengannya.
Raven tidak ingin dipusingkan dengan Camelia, laki-laki itu segera memakai baju kemeja kerja berwarna putih dan berangkat ke kantor. Siang nanti dirinya pun akan bertemu dengan sahabatnya di kafe yang sama dengan perempuan itu.
Di dalam mobil, Raven belum melajukan kendaraannya. Pria itu tampak memijat pelipisnya yang cukup berdenyut. Ia pikir rasa sakit di kepalanya terjadi akibat Camelia yang mengganggunya. Namun, sampai detik ini pun masih tetap terasa berdenyut, bahkan lebih parah.
Setelah puas berdehem seorang diri di dalam mobil, membuang-buang waktu dengan percuma hanya memikirkan perempuan menyebalkan itu. Raven segera melajukan mobil, ia hampir saja terlupa dengan agenda hari ini yang cukup padat dan tentunya akan dihadiri oleh neneknya nanti saat presentasi mengenai produk baru yang siap diluncurkan.
Pria itu mengayunkan langkah kakinya memasuki perusahaan setelah hampir tiga puluh menit mengemudikan mobilnya tadi. Nasib baik tidak ada kemacetan sehingga ia tidak terlambat masuk kantor. Padahal biasanya kemcetan di jalan Jakarta selalu terjadi, mengingat jika hari ini adalah hari senin. Sebagai seorang CEO di perusahaan sang nenek, tentu saja dirinya harus memberikan sikap disiplin kepada karyawannya.
Tanpa Raven tahu jika di sepanjang dirinya berjalan masuk ke dalam ruangan kantor, wajah dari pria itu dijadikan objek dari beberapa karyawan perempuan yang tengah melintas. Wajah tampan dengan hidung mancung, rahang tegas, bahkan dengan postur tubuhnya yang menjulang tinggi, tidak terkecuali punggung bidangnya yang tertutup oleh jas berwarna hitam membuat siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona. Termasuk kedua karyawan yang masih betah menatap wajah atasannya yang baru saja melintas dan menundukkan kepala sembari memberikan sapaan yang begitu sopan kepada keduanya.
"Nad, Nad, jantung Lo masih aman?" tanya rekan kerjanya ketika melihat temannya itu terus meraba dadanya dengan arah mata yang masih menatap lekat langkah kaki sang atasan yang kini tengah ngobrol sebentar dengan salah satu karyawannya.
Karyawan yang sangat beruntung, namun sayangnya karyawan tersebut seorang pria.
"Gue rasa jantung mau keluar deh. Gila pesona Pak Raven ganteng banget dan nggak ada duanya," cetus perempuan itu. "Gimana caranya gue jadi istri beliau, ya?" tanyanya yang menatap wajah karyawan lain.
Sesampainya di ruangan, Raven segera mendudukkan tubuhnya di atas kursi untuk memulai pekerjaannya. Namun, baru saja ia menyalakan laptop, terdengar suara ketukan dari luar membuatnya mengarahkan pandangannya ke arah pintu.
"Masuk!" titah pria itu sembari membuka jas yang sejak tadi tersemat di tubuhnya.
Raven menatap kedatangan Win, sekretaris pribadinya yang datang dengan membawa berbagai dokumen penting untuk diserahkan kepadanya, tentu saja meminta tanda tangan kepada CEO di perusahaan ini. Pria itu terus menyiratkan senyuman ke arahnya, dan Raven pun ikut tersenyum sembari menggulungkan lengan kemejanya sampai ke siku. Ia tahu maksud senyuman dari Win tersebut.
"Hehe … maaf, Pak Rav, tapi ini beberapa dokumen penting yang harus Bapak tandatangani," ucap Win berhati-hati menyimpan dokumen tersebut ke atas meja sang atasan.
"Udah selesaikan tugas kamu, silakan keluar," pinta Raven dengan suara pelan, dan menggerakkan tangan meminta agar Win keluar dari ruangan.
Pria berparas tampan yang disinyalir mirip salah satu aktor dari Thailand tersebut merasa heran dengan sikap atasannya, tidak biasanya ia langsung disuruh keluar.
"Serius nih Pak Raven nggak mau curhat gitu. Biasanya kan setiap pagi ada aja hal yang Bapak bicarakan kepada saya, curhat mengenai jodoh, mbak Luna, atau apa pun itu, dan nggak biasanya juga saya suruh keluar," cetus pria itu yang masih terlihat betah berada di ruangan atasannya.
Namun, Raven langsung menggelengkan kepalanya sebuah tanda jika tidak ada yang ingin dibicarakan kepada pria itu.
"Sepertinya pagi ini nggak deh, Win. Kamu nggak lihat dengan dokumen yang baru saja kamu serahkan ke saya yang begitu banyak. Apa dokumen tersebut hanya saya diamkan saja nggak harus saya baca dan tandatangani?" cetus Raven telak membuat sekretarisnya tidak bisa berkata apa-apa.
"Lebih baik kamu atur jadwal saya nanti siang, jangan bentrok dan satu lagi … jangan ikut ngegosip dengan karyawan lain, Win. Kalau kamu ketahuan gosip, nggak segan-segan saya pecat kamu," sarkas Raven mengancam dan membuat pria itu langsung mengubah wajah takut jika Raven akan memecatnya.
"J-jangan dong, Pak. Iya deh saya nggak akan ikut gosip, hehe. Kalau begitu saya permisi. Selamat bekerja."
Win mulai melangkah pergi meninggalkan meja kerja atasannya itu, dan sesekali menoleh ke arahnya sembari tersenyum. Setelah pria itu tak terlihat lagi terhalang oleh pintu barulah membuat Raven tersenyum. Terkadang sikap sekretarsinya itu memang membuatnya gila, dan mood-nya pun naik kembali.
"Win, Win, siapa juga yang mau pecat kamu. Digertak gitu aja udah ketakutan setengah mati," gumam Raven yang melanjutkan pekerjaannya sembari melebarkan bibir.
Tak lama Raven menghentikan pekerjaannya sebentar dan menegakkan kepala, ia teringat dengan nama kafe yang diucapkan oleh Camelia pagi tadi. Kafe tersebut pun akan menjadi tempat pertemuannya dengan sahabatnya Rahandika.
"Kafe Kenangan Mantan?" gumam Raven mengulang dengan dahi yang berkerut.
"Perasaan dulu nggak ada mantannya deh, cuma kafe kenangan doang, apa owner dari kafe tersebut nggak bisa move on dari mantannya, atau orang-orang yang datang ke kafe khusus para mantan kek gue." Raven tak sadar sampai berbicara seorang diri dan tersenyum mengingat nama kafe tersebut yang cukup humoris tentunya.