Chapter 30 - Tak berdaya

Flashback On.

"Kamu, saya pecat."

Katsuki yang masih membawa selembar kain lap di tangannya hanya mematung sembari menatap pemilik rumah makan tempat dia bekerja.

"Kenapa saya dipecat, Tuan?" tanya Katsuki.

"Rumah makan ini sebentar lagi akan bangkrut, kalau saya tidak sigap mengurangi biaya pengeluaran, maka restoran ini benar-benar bisa bangkrut. Lagipula, di restoran ini tidak banyak yang berkunjung setiap harinya. Daripada kami menampung banyak karyawan, lebih baik kamu mengumpulkan modal," jelas si pemilik rumah makan tersebut.

"Anda bisa memotong gaji saya, tidak apa-apa bila saya hanya dibayar setengah gaji dari biasanya, tapi Tuan tolong jangan pecat saya," pinta Katsuki.

Sangat sulit mencari pekerjaan di tengah kota besar seperti ini. Tak punya relasi dan kenalan, juga ditambah membludaknya jumlah pekerja yang setiap hari membutuhkan pekerjaan membuat persaingan kerja semakin keras. Katsuki bahkan berkeliling kota selama seminggu dan baru bisa mendapatkan pekerjaan.

Dan sekarang dia sudah dipecat.

"Tidak bisa, itu tetap saja sebagai bentuk pengeluaran kami. Kami ingin membatasi pengeluaran. Tidak hanya kamu, tapi pelayan-pelayan lain juga saya pecat. Andaikan saya bisa, saya pasti akan memberikan pekerjaan untuk kamu di sini," ucap si pemilik rumah makan tersebut.

Katsuki hanya dapat menunduk lemah. Dia sudah sangat berharap dapat melanjutkan pekerjaannya di tempat itu. Namun kalau seperti itu kepadanya, maka Katsuki juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Katsuki mulai mencari pekerjaan lagi setelah itu. Hampir setengah bulan lamanya dia tidak bertemu lagi dengan Eijiro. Terakhir kali mereka bertemu hanya ketika mereka sedang bercinta di hotel pada waktu itu.

Sekarang Katsuki tidak mendapat kejelasan apa-apa atas hal itu. Dia mencoba untuk menghubungi Eijiro lagi, namun nihil hasilnya. Semua sosial media Eijiro sudah tidak pernah aktif lagi. Bahkan saking penasarannya, Katsuki sampai mengirim email puluhan kali dalam sehari kepada Eijiro.

Dia rindu.

Dia butuh sosok yang dapat dijadikannya sebagai sandaran.

Dia sendirian.

Dia tidak punya siapa-siapa yang dapat dijadikan sebagai teman untuk menemaninya.

Siapa yang sanggup hidup di tengah kota besar yang belum pernah ditingalinya sama sekali tanpa ada seorang teman yang dapat dimintai tolong? ditambah, uang yang Katsuki bawa semakin menipis. Dia baru satu kali digajih dan dia sudah dipecat.

Hancur sudah.

Semuanya berantakan.

Katsuki hanya bisa menangis. Menyesali keputusannya untuk menyusul Eijiro hanya akan membuat dia semakin terpuruk dan merasa tertekan.

Pasti dia akan berandai-andai.

Namun itu hanya akan menyenangkan dirinya sejenak, dan setelah dia melihat kepada kenyataan, hatinya akan semakin terasa sakit.

"Kenapa? kenapa kau tidak ada kabar sampai sekarang?" Katsuki memandangi foto Eijiro yang ada di ponselnya.

Katsuki mendongak, menatap langit malam yang hanya diterangi cahaya bulan. Tak ada bintang.

Dulu, ketika mereka masih berada di Jepang, mereka selalu menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Namun sekarang, bintang di langit dan bintang di sampingnya itu sudah tak ada. Dia tidak bisa menatap langit yang dihiasi bintang. Hanya sendirian tanpa sosok bintang di sampingnya yang ia cintai itu.

"Aku harus kuat, aku harus bertahan. Mungkin saja, Eijiro kembali ke tempat pekerjaannya. Maka dari itu, dia sulit sekali dihubungi," gumam Katsuki.

Sekarang, yang menjadi salah satu permasalahan utama adalah kondisi keuangan Katsuki yang semakin menipis. Katsuki tidak tahu harus bekerja apa setelah ini. Di tengah kota besar yang dipenuhi bangunan yang menjulang tinggi, ketika kekayaan semakin membesar, maka yang miskin akan semakin terpuruk.

Sebab jarak antara kedua sisi itu semakin jauh dan sangat sulit digapai bagi orang yang berada di bawah.

Tidak perlu berkeinginan untuk menjadi kaya, untuk hidup berkecukupan saja itu sudah sangat bagus.

Dan itulah yang dirasakan Katsuki sebagai warga imigran.

Katsuki kemudian beranjak dari tempat duduknya, di pinggir trotoar, melangkah sendirian untuk kembali ke rumah sewaannya yang kecil dan kumuh.

Brukk

Katsuki ditabrak oleh seseorang dan terjerembab ke tanah.

"Astaga, apa anda bisa sedikit lebih berhati-hati?" tanya Katsuki.

"Hahaha, aku bangkrut."

Katsuki terkejut, orang yang menabraknya itu rupanya sedang mabuk. Dia adalah perempuan dengan rambut yang acak-acakan, wajah yang riasannya sudah tidak karuan, dan pakaian yang juga sudah tidak dapat dijelaskan lagi bagaimana keadaannya.

Dia seperti seorang pengemis yang jatuh ke jurang.

Bahkan keadaan Katsuki sekarang lebih baik daripada orang itu.

'Kasihan sekali, rupanya ada yang lebih memprihatinkan ketimbang aku,' batin Katsuki.

Katsuki mencoba untuk menolong wanita itu. Dia kemudian membopong wanita itu dan mebuang botol miras di tangan wanita itu. Dia berniat untuk memberikan tumpangan tempat tinggal untuk wanita itu selama satu malam. Katsuki yakin sekali kalau wanita itu takkan bisa pulang ke rumah dengan kondisi mabuk berat.

"Aku tidak tahu apa permasalahan yang kau hadapi, tapi aku dan kau punya permasalahan yang sama-sama berat pastinya. Aku akan menolongmu," ucap Katsuki, meskipun dia tahu bahwa perkataannya itu takkan digubris oleh orang mabuk yang ada di sampingnya itu.

Tak perlu merasa kesulitan, Katsuki menuju ke rumahnya dengan mudah sambil membopong wanita itu, sebab dia yang merupakan seorang Werewolf dapat berlari lebih cepat daripada manusia.

Katsuki cukup diuntungkan dengan fisiknya itu. Andai ada lowongan pekerjaan di pelabuhan sebagai buruh angkat barang, dia pasti akan mencoba pekerjaan tersebut. Namun sayangnya di sana juga sudah

.

.

.

.

.

BUAGH

Katsuki yang sedang menggoreng sebutir telur langsung terhuyung dan oleng. Sebuah benda keras menghantam bahunya dan membuatnya kesakitan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita yang Katsuki tolong tadi malam.

"Aku menolongmu, dan kau ingin membunuhku?" ujar Katsuki memprotes wanita tersebut.

"Menolong?" Wanita itu terlihat bingung.

"Ya, kau mabuk berat dan menambrak aku di pinggir jalan. Aku melihat kau dalam keadaan yang berantakan, jadi aku membawamu ke sini untuk menginap. Tenang saja, aku tidak mengambil apapun darimu. Bahkan aku tidur di pojok ruangan tadi malam," ungkap Katsuki.

Wanita itu merasa bersalah karena sudah menuduh Katsuki yang tidak-tidak. "Maaf, aku gegabah."

"Ya, santai saja. Wajar bila kau berpikir begitu. Perkenalkan, nama ku Haruhi Katsuki. Aku dulunya tinggal di Jepang, namun aku merantau ke sini untuk mencari kekasihku."

"Aku, Melia. Hanya itu saja namaku. Aku lahir dan tinggal di kota ini. Aku... aku seorang mucikari, namun aku bangkrut karena aku tidak sanggup untuk membiayai para pelacur yang menjadi anak buah ku."

"Kau, mucikari?" tanya Katsuki. "Aku kira mucikari selalu untung dan tidak pernah rugi dalam bisnisnya."

"Ya, itu kalau kau menemukan pelanggan yang tepat. Dan juga di tengah kota besar seperti ini banyak juga mucikari yang lain. Mereka saling menghancurkan dan aku adalah salah satu korbannya. Ah maaf, aku terlalu banyak bercerita."

Walaupun tidak sedang mabuk. Tapi Melia terlihat tenang dalam menceritakan permasalahanya, pasti masih ada sedikit pengaruh dari alkohol yang membuat wanita itu bercerita dengan lancar tanpa merasa ingin menahan ceritanya tersebut.

"Uang memang mengerikan." Katsuki bergumam pelan. "Ya, aku dan kau mungkin punya nasib yang mirip. Aku baru saja dipecat dari rumah makan tempat aku bekerja. Aku sekarang tidak tahu harus bekerja sebagai apa."

Melia memperhatikan Katsuki dari kepala hingga kaki, itu memang sedikit tidak sopan. Namun karena itu, dia mendapatkan sebuah ide. Dia akan nekat mengatakannya meskipun bisa jadi setelah ini Katsuki mengusirnya dari rumah itu.

"Bagaimana kalau kita bekerjasama? aku akan menjadi mucikari yang membantumu bekerja sebagai pelacur?"

Ide yang sangat gila.