Chapter 33 - Kesepakatan

"Wah! kau semakin cantik. Aku tahu kau sangat seksi dan menarik dengan penampilan mu itu."

Katsuki membuka matanya, dia sudah berada di dalam sebuah ruangan yang hangat dan nyaman. Ruangan yang cukup bersih dan mewah. Itu adalah sebuah apartemen.

"Aku...Tunggu! kau apakan aku?!"

Katsuki langsung bangun dan duduk tegak di kasur Melia. Dia menatap Melia dengan tatapan nyalang. Dia sangat emosional ketika mengira bahwa dirinya sudah dijual oleh Melia kepada para pria mesum yang menginginkan tubuh Katsuki.

"Tch, sensitif sekali. Padahal kau juga sudah bersetubuh. Jangan berlebihan seperti gadis perawan. Aku belum membiarkan mereka tidur dengan mu. Belum," jawab Melia. Dia santai sekali walau dia tahu Katsuki bisa menyerangnya lagi pada saat itu juga.

"Kau gila." Katsuki terlihat sinis. Dia bangkit dari tempat tidur itu dan memilih untuk pergi dari apartemen milik Melia tersebut.

Walau Melia sudah bilang bahwa dirianya terancam bangkrut, tetapi tempat tinggal Melia tersebut tidak mencerminkan sama sekali tentang hal tersebut. Apartemen tersebut bisa dibilang cukup mewah. Katsuki mengira awalnya Melia sudah tak punya apa-apa lagi.

Tidak seperti dirinya yang benar-benar tidak punya apa-apa. Bahkan dia sudah menghancurkan rumah sewaan yang dia sewa. Dia tidak ingin berurusan dengan si pemilik rumah itu lagi.

Dia tidak punya uang yang cukup untuk menyewa rumah lagi, dia harus menyimpan uang yang tersisa untuk biaya hidup yang lebih penting. Dia juga sudah dipecat, kemana lagi dia harus mencari pekerjaan?

Itulah permasalahan yang dia hadapi sekarang.

Klasik, namun dirasakan oleh banyak orang.

"Aku semakin curiga setelah mendengar ucapanmu," cibirnya.

"Aku tidak akan menawarkan dirimu kepada pria-pria itu sebelum kau setuju. Aku ini sedang berbisnis, bukan melakukan kegiatan kejahatan," sahut Melia. Dia menyalakan televisi dan duduk santai di atas kasurnya.

"Itu sama saja dengan kejahatan," balas Katsuki tak mau kalah.

"Tidak, kalau aku menculikmu dan membiarkan mereka memperkosa dirimu tanpa seizin dirimu, itu baru bisa dibilang sebagai kejahatan. Kau ini tidak bisa membedakan antara bisnis dengan kejahatan ya?" Melia melirik Katsuki dengan tatapan tidak suka.

"Kau itu berbisnis dalam kejahatan."

Melia hanya mendiamkan Katsuki, dia malas berdebat hanya untuk sebuah definisi yang tidak penting. Dia sudah memaklumi bila orang melabeli dirinya sebagai orang yang melakukan kejahatan.

Menawarkan seorang omega untuk bersetubuh dengan alpha yang mau membayar untuk itu. Dari beberapa sudut pandang itu memang bisa disebut sebagai sebuah kejahatan. Namun Melia lebih memilih menyebutnya sebagai bisnis, sebab yang dia lakukan itu telah disetujui oleh pelacur yang dia tawarkan kepada para pelanggan itu.

Kalau dilihat dengan sudut pandang seperti itu, memang bisa disebut sebagai bisnis bukan?

Jangan terlalu naif.

Suara perut yang berbunyi terdnegar jelas walau bercampur dengan suara dialog acara televisi, Melia hanya mengerling dan menunjuk ke arah kulkas yang berada di samping kasurnya itu.

Dia pasti adalah seorang perempuan yang suka mengemil.

"Aku belum memasak, kau bisa ambil Snack atau makanan manis lainnya di kulkas. Kalau mau memasak ambil saja bahannya di kulkas yang ada di dapur. Aku belum berbelanja untuk keperluan bulanan, tapi aku yakin kalau di dalam kulkas itu masih ada bahan untuk memasak," tutur Melia.

Katsuki bisa menyembunyikan rasa malunya, namun tidak untuk rasa lapar yang menggerogoti perutnya sekarang. Bahkan rasanya dia sudah hampir meneteskan air liurnya saat mendengar tentang makanan.

"Kenapa? kenapa diam saja? tenang, aku tidak akan memasukkan makanan yang beracun ke dalam kulkas ku sendiri. Kau bisa ambil semuanya secara acak untuk memastikan hal itu," ucap Melia. Dia bisa mengetahui apa yang sedang dikhawatirkan Katsuki.

Tidak, dia hanya menebak.

Sebab gerak-gerik Katsuki mudah untuk ditebak.

Katsuki bergerak perlahan mendekati kulkas Melia. Walau dia sangat curiga pada Melia, namun rasa lapar yang dia rasakan dan juga ucapan Melia yang terdengar meyakinkan akhirnya dapat membuat Katsuki membuka kulkas itu.

"Ambil saja yang kau mau."

Melia tahu kalau Katsuki masih merasa sungkan. Terlihat dari gerakan Katsuki yang terkesan ragu-ragu.

"Kenapa kau mau berbaik hati padaku? bukankah aku sudah menolak tawaran mu?" tanya Katsuki.

Melia berdecak sebal, dia heran dengan pola pikir orang-orang seperti Katsuki. Terlalu kaku dan perhitungan. Apakah dirinya tidak sadar bila setiap kali dia menolong orang lain, maka dia itu tidak mempermasalahkan tentang apa saja yang sudah dilakukan oleh orang yang ia tolong?

Seperti itu juga yang Melia lakukan.

"Makan saja dan jangan banyak tanya. Bila bokong mu mengempis karena kau kurus, maka tidak akan ada alpha yang mau melirikmu lagi," ujar Melia asal bicara.

Katsuki tahu itu bukan terdengar serius, Melia hanya sedang bergurau.

"Aku sudah punya seorang kekasih, seorang alpha yang hanya akan melirik bokong ku saja," tutur Katsuki. Dia bahkan menepuk pantatnya sendiri sebanyak beberapa kali.

"Lebih baik kau gunakan bokong mu itu untuk hal yang lebih menghasilkan uang," ucap Melia, setengah membujuk.

"Pantat ini akan mendapat uang dari mate nya," ucap Katsuki dengan yakin dan bangga.

.

.

.

.

.

Katsuki bersikeras untuk pulang, meskipun dia tahu bahwa dia sudah tidak punya tempat tinggal. Dia hanya ingin mengambil pakaian dan barang-barang miliknya yang tertimbun di rumah kumuh itu.

Ya, pertarungan itu memang terjadi pada siang hari, mungkin sedikit aneh bila barang-barang di situ tidak dicari.

Namun siapa yang mau membongkar reruntuhan rumah yang hancur karena pertarungan? apalagi rumah itu adalah rumah yang kecil, kumuh, dan pastinya ditinggali oleh orang yang mempunyai uang sedikit.

Mereka tidak peduli dengan hal itu.

Namun yang perlu Katsuki perhatikan adalah situasi. Situasi yang memungkinkan dirinya untuk mengelak dari si pemilik rumah yang ia sewa tersebut.

Tidak, Werewolf bukanlah penyihir. Mereka bisa menghancurkan, namun tidak punya mantra untuk membangun sesuatu.

Jadi bila sudah hancur, mereka hanya bisa memperbaiki secara biasa tanpa ada unsur kekuatan magis. Terkecuali si Werewolf itu punya kemampuan magis untuk membentuk sebuah pondasi bangunan karena memiliki kekuatan magis yang berkaitan dengan elemen.

Tapi tetap saja itu hal yang merepotkan, sangat jarang Werewolf yang menggunakan kekuatan mereka untuk membentuk sesuatu. Mereka lebih suka fokus untuk bertarung dan mengalahkan lawan.

"Aku harus tinggal di mana?" tanya Katsuki, dia bergumam dan berjalan sendirian di tengah ramainya orang-orang yang tengah beraktivitas.

Katsuki masih cukup fasih berbahasa Inggris, meskipun dia adalah pendatang dari negara Jepang, dia belajar bahasa asing dengan baik saat bersekolah. Itu sedikit memudahkannya ketika berada di negara lain seperti ini.

Dia sempat berpikir untuk menjadi seorang pemandu wisata. Namun ketika dia menelusuri jalanan, dia melihat ada orang-orang yang memegang selebaran dan bahkan ada yang mengangkat selebaran yang cukup lebar bertuliskan.

'Pemandu wisata.'

'Translator.'

'Menangani masalah untuk warga asing yang butuh penerjemah.'

Tak sedikit orang-orang yang juga bekerja seperti itu. Bahkan kelihatannya mereka belum makan dari pagi tadi, mereka terlihat lesu dan penuh keringat.

"Dunia ini aneh sekali. Lebih baik tinggal di zaman dahulu yang masih belum mengenal sistem perekonomian yang mengerikan seperti sekarang. Apa-apaan ini semua? bahkan lebih menyenangkan bila para Werewolf berburu dan memakan daging hewan di hutan."

Katsuki mencibir keadaan yang terjadi di sekitarnya. Keadaan yang juga dia alami. Kelaparan karena desakan kondisi ekonomi.

Bahkan para makhluk seperti Werewolf dan vampir juga tertekan oleh kerasnya ekonomi.

Sungguh hal yang konyol dan fiktif bila dibayangkan.

Bukankah mereka makhluk yang istimewa?

Namun kenyataannya, lembaran uang tidak berpihak pada siapa yang punya kekuatan magis. Melainkan pada siapa yang punya pangkat dan punya modal.

Tidak ada yang tahu apakah orang yang berpapasan satu sama lain itu adalah seluruhnya manusia atau malah merupakan para Werewolf? terutama yang bekerja di siang hari.

Sekarang ini, bangunan di jalanan juga alat transportasi juga memudahkan bagi para vampir untuk beraktivitas. Sebab banyak celah di jalanan yang dapat dijadikan mereka sebagai tempat untuk berjalan di namun terlindung dari sinar matahari.

Semuanya sudah benar-benar berubah.