Chapter 3 - Tidak ramah

"Mencari siapa, Tuan?"

"Kau lagi? apa kau juga mencari pelanggan di luar Bar? kau benar-benar rajin, sekaligus rendahan."

Katsuki mengulum senyumnya, di bangku taman kota, ia dan dan Eijiro duduk berhadapan. Saling bertatapan, dan saling memberikan senyuman.

Senyuman hangat, dan senyuman sinis.

Oh tidak, dibandingkan senyuman hangat, senyuman Katsuki lebih cocok disebut sebagai senyuman nakal.

"Saya sedang bertanya dengan baik-baik kepada anda. Kenapa anda selalu tidak suka terhadap saya? padahal kita baru saja saling kenal," ujar Katsuki. Dagunya bertumpu di tangannya, sambil duduk manis di hadapan Eijiro.

Eijiro yang tersenyum sinis, kini merubah ekspresinya menjadi dingin. Tidak ada kesan ramah sama sekali dari tatapannya itu. Seakan-akan, Eijiro sedang mengusir Katsuki dengan tatapannya itu.

"Kau tidak berhak mendapatkan rasa suka dariku, dasar pelacur."

Untuk kesekian kalinya, Katsuki merasa tergelitik dengan hinaan yang didapatnya dari Eijiro. Bahkan dia sedang tertawa sekarang. Eijiro menganggap bahwa Katsuki sudah terganggu kejiwaannya. Dia langsung berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu.

"Hei, mau kemana? jangan pergi," cegah Katsuki. Dia segera meraih tangan Eijiro dan menggenggamnya. "Tak bisakah kau menunggu di sini? mendengarkan aku, dan kita saling mengakrabkan diri satu sama lain."

"Aku sibuk," balas Eijiro dengan ketus.

"Sibuk kenapa? oh, apakah kau sedang mempersiapkan pesta pernikahan kita? astaga, kau memang lelaki yang snagat romantis. Seorang alpha yang penuh perhatian, namun gengsi untuk mengungkapkan perasaannya," ujar Katsuki menggoda Eijiro.

"Aku benar-benar tidak suka denganmu, aku bahkan tidak mengenalmu. Sejak kapan kita saling kenal?" tanya Eijiro.

"Sejak sebelum kita dilahirkan ke dunia," jawab Katsuki. Dia tersenyum penuh arti.

"Kau gila ya?" tanya Eijiro. "Lebih baik kau pergi dari hadapanku. Aku sedang menikmati waktu istirahatku, jangan sampai aku menembakkan peluru dari pistol ku ini ke kepalamu. Aku malas untuk merobek wajahmu dengan menggunakan kuku tajam ku."

Ancaman mengerikan yang disampaikan oleh Eijiro itu tidak dapat membuat senyuman di wajah Katsuki sirna. Malahan, Katsuki merasa sangat terhibur dengan ucapan Eijiro itu.

Katsuki bisa membedakan orang yang benar-benar marah dengan orang yang hanya mengancam. Hidup di dunia yang keras dan penuh masalah membuat Katsuki terbiasa mendengar ancaman dan makian dari orang lain. Ucapan Eijiro itu tak dapat membuatnya gentar.

"Astaga, kau ini kasar sekali. Padahal aku adalah calon mate mu," balas Katsuki. "Kalau kau mau menembakku sekarang juga bisa kan? kenapa? apa yang membuatmu ragu? kau tahu tidak penyebab kau ragu?"

Eijiro mengepalkan tangannya. Bibirnya mengerucut kesal, dia menarik nafas panjang dan mencoba untuk lebih bersabar. Namun perkataan Katsuki itu membuat hati Eijiro sedikit tersentuh. Tersentuh, dalam artian dia menyadari bahwa ucapan Katsuki tadi ada benarnya.

Sebagai seorang alpha yang punya watak keras kepala dan juga beringas, seharusnya ia tidak merasa ragu untuk melukai Katsuki. Ditambah, selama ini dia sudah membunuh banyak orang, bukan hal baru baginya untuk menusuk dan mencabik-cabik tubuh orang lain.

Yah, walau memang sedikit sulit untuk melakukannya di tengah umum. Bisa-bisa, reputasinya di kalangan rekan bisnisnya bisa berubah menjadi jelek.

Tapi apa benar hanya karena itu?

'Ayo Eijiro, kau harus membuat orang kurang ajar ini jera mengganggumu,' ujar Eijiro membatin.

Katsuki duduk dengan santai. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "kau tidak tahu kan? baiklah, akan aku jelaskan padamu. Jadi, kau itu sebenarnya tertarik padaku. Tapi karena ego mu yang terlalu besar, kau gengsi dan bertingkah seolah-olah tak suka padaku."

Eijiro langsung menunjukkan tatapan tak suka pada Katsuki. Eijiro akui bahwa Katsuki adalah orang yang sangat tidak bisa menjaga kata-kata nya dengan baik.

Dan juga terlalu berani. Nekat sekali. Bisa jadi, Katsuki tidak takut untuk mati.

"Apa maumu? padahal aku sudah mengusir mu dari hadapanku. Tapi kau malah semakin tidak tahu diri dan terus menggangguku. Katakan, apa yang kau mau?" tanya Eijiro.

"Hm, seharusnya aku yang bertanya seperti itu," ujar Katsuki. "Padahal, kau sendiri kan yang ingin mencari seorang teman bercinta? tapi kenapa kau juga yang menolak para pelacur yang mendekatimu? apa kau ragu kalau kau tak punya cukup uang untuk membuktikan ucapanmu itu?"

Eijiro yang sudah mulai mau mendengarkan perkataan Katsuki kini marah kembali. Padahal ia sudah bisa meredam emosinya. Namun rasa marahnya itu kembali dipancing oleh Katsuki. Apa sebenarnya keinginan remaja cantik itu?

Eijiro memicingkan matanya, ia tidak habis pikir dengan perilaku Katsuki. Tangannya kemudian merogoh kantong jasnya, di sana ada sebuah cek. Ia menuliskan sesuatu pada buku cek itu, lalu merobek selembar kertas cek tersebut, dan kemudian melemparnya ke wajah Katsuki.

"Kau mau uang kan? itu, ambillah. 520 juta, sesuai yang aku janjikan. Kau bisa menarik uang itu sekarang juga. Aku tak perlu menyicipi tubuh seorang pelacur yang punya kelainan seksual. Aku masih bisa mencari pelacur lain," bentak Eijiro. Dia membuat Katsuki merasa jauh lebih terhina daripada saat ia hina kemarin malam.

Katsuki terdiam, wajahnya berubah ekspresi. Dia memungut kertas itu, membaca nominalnya. Ia kemudian tertawa keras.

"Aku sebenarnya ingin sekali mengambil uang ini, tapi aku punya sebuah motto. Kau mau tahu?" tanya Katsuki. Sembari mendongak dan menatap Eijiro. "Aku akan bekerja dulu, baru mendapatkan uang. Jadi simpan saja uang milikmu sekarang. Enam bulan lagi, aku akan mengambil uang itu. Setelah aku membuatmu puas menjadikan ku pasangan bercinta mu."

Eijiro mendelik, Katsuki menolak uang yang ia berikan begitu saja. Secara tidak langsung, itu berarti uang tersebut tak memiliki harga bagi Katsuki.

"Aku tidak sudi menjalin kontrak bercinta denganmu. Kau bukan orang yang sesuai dengan seleraku. Dasar pelacur rendahan, aku sama sekali tak tergoda dengan dirimu," hardik Eijiro. Dia segera pergi dari sana.

Katsuki yang tadinya terlihat begitu semangat, dengan senyuman yang hangat, dan juga tatapan jahil, kini berubah menjadi sendu. Wajahnya terlihat bersedih.

"Benarkah kau adalah orang itu?" tanya Katsuki bermonolog. Dia meremas kertas cek yang ada di pangkuannya, kemudian merobeknya hingga hancur tak tersisa. "Kalau kau benar adalah orang itu, maka aku akan membuatmu menyadari kesalahan yang telah kau perbuat lima tahun y koang lalu."

Katsuki kemudian beralih dari tempat itu. Ia terlihat santai saja, walau dia sebenarnya merasa terluka. Bukan secara fisik, namun perasaan.

.

.

.

.

.

"Akhirnya, kau datang juga. Ehh? tunggu, kenapa kau tidak semangat? apa kau sakit?" tanya Melia.

"Tidak, hanya sedikit merasa kembung," ujar Katsuki. Tentu saja dia sedang berbohong.

"Pffft." Melia menyemburkan tawanya. "Kembung? apa kau kembung karena terlalu banyak menelan sperma dari pelanggan mu?"

Katsuki tersenyum, matanya menatap tajam. Tatapannya terlihat seperti tatapan nakal, dia sedikit terhibur dengan candaan yang dibuat oleh temannya itu.

Bagi orang-orang seperti Katsuki dan Melia, candaan vulgar itu bukan sebuah hal yang patut untuk dijadikan sebagai hal yang sensitif. Hidup yang mereka yang kerap selalu bersinggungan dengan seks, membuat mereka menjadi individu yang tidak menjadi sensitif bila menjadikan seks sebagai candana untuk sesama mereka.

Namun meskipun sedang tersenyum, sebenarnya Katsuki masih terbawa perasaan ketika ia bersama Eijiro tadi. Perasaan ketika melihat wajah itu, perasaan ketika bisa berbincang dengan pria itu. Semuanya membuat Katsuki tergelitik, hatinya terasa senang namun juga sedih dalam waktu yang bersamaan.

"Kau sedang menunggu dia, hm?" tanya Melia. "Apa kau yakin? kau itu adalah Star yang terbaik dari semua Star di sini. Mengumpulkan uang sebanyak itu bukan hal yang sulit untukmu, bukan? apa yang sedang kau inginkan? aku yakin bukan uang tujuanmu mendekatinya."