"Jaka!"
Seruan lantang seorang gadis yang sangat familier di telinganya menghentikan aktivitas Jaka dari ketikan laporan di keyboard laptopnya. Tak terasa sudah satu jam Jaka duduk sendiri di perpustakaan sekolah. Menyelesaikan rangkaian proposal yang harus segera diselesaikannya dalam waktu dekat.
"Kamu belum pulang?" Tanya Cindy. Kekasihnya itu datang menjemputnya. Seperti biasa, Cindy tahu kemana harus mencari Jaka. "Ini udah jam setengah 5 sore, loh." Cindy menutup paksa laptop Jaka.
"Kamu kenapa balik ke sekolah lagi?" Jaka malah bertanya balik pada Cindy.
"Aku dari tadi belum pulang. Nungguin kamu, tau!" Gerutu Cindy seraya mengerucutkan bibirnya.
"Lucunya. Pacarnya siapa sih." Jaka menyentuh hidung mancung Cindy dengan jari telunjuknya.
"Yaudah, buruan! Aku lapar!" Sahut Cindy ketus.
"Sabar ya, sayang. Aku beres-beres dulu." kemudian Jaka memasukkan laptop beserta alat tulisnya ke dalam tas punggung yang sedari tadi tersampir di bangku kosong sebelahnya.
Setelah semuanya beres, Jaka mengulurkan telapak tangannya yang terbuka pada Cindy. Tanpa ragu Cindy mengaitkan jemari-jemarinya di telapak Jaka yang besar. Senyumnya merekah begitu Jaka mengajaknya keluar perpustakaan.
"Kamu mau makan apa? Di mana?" Tanya Jaka tepat ketika mereka berbelok ke koridor yang menghubungkannya dengan gerbang sekolah.
"Terserah sih," jawab Cindy sekenanya.
Kedua kaki Jaka pun berhenti melangkah. "Kenapa cewek kalau ditanya selalu jawab terserah?"
Langkah Cindy ikut terhenti. Ia menoleh pada Jaka. "Karena pada dasarnya, cewek itu sungkan untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan. Kalau aku jawab mau makan yoshinoya atau sushi, memang kamu ada uang?"
Seketika Jaka bergeming atas penjelasan Cindy. Ia lupa pada kenyataan yang ada. Cindy merupakan anak dari keluarga kelas atas. Satu-satunya putri keluarga Adinata. Berbeda jauh darinya yang hanya berasal dari keluarga tidak mampu.
"Kok malah diam?" Cindy membuyarkan lamunan Jaka dengan menjentikkan jari.
Bagai ditarik menuju puncak kesadaran, Jaka berujar, "Tapi aku bisa mengusahakan untuk membelinya buat kamu, Cin."
"Aku yang keberatan." Cindy menggeleng tidak setuju. "Sebaiknya uangnya kamu simpan untuk biaya kuliah kamu. Ingat, masih ada Una yang butuh support system dari kamu."
Una atau gadis yang bernama lengkap Aruna Dewi Purnama adalah adik Jaka.
Bukannya berdalih seperti kebanyakan cowok lainnya, Jaka tertunduk dalam. Tanpa melepaskan genggamannya di tangan Cindy. Ia tersadar, selama ini Jaka belum bisa memberi banyak untuk gadisnya itu.
"Maafin aku."
"Untuk?" Wajah Cindy mendekat, memandangi raut Jaka yang bersedih.
"Selama menjadi pacar kamu, aku belum bisa kasih apa-apa. Aku jarang beliin kamu bunga atau cokelat. Bahkan, cuma bisa dihitung jari. Aku nggak pernah beliin kamu barang-barang branded. Dan aku ... masih banyak kekurangan."
Penuturan Jaka barusan membuat Cindy menangkup wajah Jaka dengan kedua tangannya. Satu tangannya Cindy letakkan di depan bibir Jaka. "Kamu udah kasih banyak kok ke aku."
"Apa?" Kepala Jaka terangkat. Menatap intens dwinetra kecokelatan Cindy.
"Kebahagiaan."
Jawaban singkat yang meluncur dari mulut Cindy berhasil menciptakan segaris senyuman tipis di bibir Jaka. Kalau ini bukan di sekolah, rasanya Jaka ingin sekali mendekap erat-erat tubuh gadisnya itu. Ia bersyukur dipertemukan dengan gadis yang dapat menerima segala kekurangannya.
💫💫💫
Waktu terus bergulir tanpa henti. Jaka telah lulus dari SMA Nusantara dan melanjutkan kuliah ke Universitas Kartanegara. Kendati demikian, hubungan Jaka dan Cindy masih terjalin dengan cukup baik.
Meski Jaka telah disibukkan dengan studi S1-nya, dia tidak lupa untuk selalu memberikan kabar pada kekasihnya--Cindy. Mereka juga sering kali melakukan video call untuk mengobati rasa rindu.
Tidak hanya Jaka yang sibuk, Cindy juga tengah fokus untuk mempersiapkan kelulusannya mengingat dia telah duduk di bangku kelas 12.
Sesekali sepasang kekasih itu bertengkar. Perihal masalah sepele. Cindy yang bersikeras meminta bertemu, sedangkan Jaka tidak punya banyak waktu lantaran dikejar deadline tugas dari dosen.
Jaka sendiri bingung. Baru saja kemarin ia merampungkan tugas, di hari berikutnya tugas baru datang menghantui hari-hari tenangnya. Belum lagi, di samping kuliahnya, Jaka juga bekerja paruh waktu sebagai barista di sebuah kedai kopi kekinian di kawasan Cikini.
Itulah sebabnya Jaka sudah jarang pergi jalan-jalan berdua dengan Cindy. Namun, hari itu Cindy bersikap lain. Ia berupaya keras meminta Jaka bertemu. Harus bertemu bagaimanapun caranya.
"Pokoknya kita ketemu di steak XXI jam 7 malam. Aku tau kamu lagi libur."
"Tapi, aku lagi ngerjain tugas, Cin," kilah Jaka keberatan. "Dua minggu yang lalu kan kita udah jalan."
"Itu kan udah dua minggu yang lalu, yang. Udah beda bulan juga. Kamu emang nggak kangen sama aku?"
Di seberang telepon terdengar Cindy mendesah gusar. Alih-alih tersulut emosi gara-gara Cindy, Jaka menghela napas beberapa kali. Ia tidak mau tiba-tiba memarahi Cindy. Masalahnya adalah, Jaka tidak memberitahu Cindy bahwa dia bekerja paruh waktu.
"Kalau kamu nggak datang berarti aku nggak ada artinya lagi buat kamu."
Menjambak rambutnya frustasi, Jaka mengelus-elus dadanya. Menenangkan dirinya sendiri sebelum akhirnya ia menyahut, "Iya, aku ke sana."
Jaka menyandarkan kepalanya di dinding. Masih tersisa satu jam lagi sampai shift kerja paruh waktunya berakhir. Jika ia pergi begitu saja, bisa-bisa gajinya dipotong. Wajah lesu Jaka mengundang rasa penasaran Jimmy--sahabatnya yang kebetulan juga bekerja di tempat yang sama.
"Kenapa, Jak? Muka lo kusut banget kayak baju belum disetrika," celetuk Jimmy yang tiba-tiba menghampiri Jaka.
"Cindy. Dia minta ketemu jam 7. Sedangkan gue baru bisa pulang jam 7," adu Jaka gelisah.
"Oh, itu masalahnya. Ya udah, gini aja, lo sekarang cabut aja mendingan. Daripada cewek lo marah," usul Jimmy dengan gaya santainya.
"Terus kerjaan gue gimana, Jim?" Jaka masih belum paham.
"Tenang. Ada gue. Buruan cabut!" Jimmy yang waktu shift-nya telah berakhir malah dengan senang hati menggantikan posisi Jaka.
"Tapi ...," dengan lugunya Jaka memasang tampang tidak enak hati pada Jimmy.
"Lo khawatir gimana bayarannya? Yaelah, jangan kaku gitu sama gue, Jak. Kayak sama siapa aja lo." Jimmy dapat dengan cepat membaca isi kepala sahabatnya itu.
"Thanks a lot, bro." Jaka menepuk pelan pundak Jimmy sebelum ia melesat ke ruang ganti.
Seusai mengganti seragam kerjanya dengan kaos lengan pendek berwarna abu dengan luaran jaket kulit berwarna cokelat, Jaka pamit pada Jimmy dan bersiap menemui Cindy.
💫💫💫
"Aku di sini." Cindy melambaikan tangan tinggi melihat Jaka yang sudah tiba di pintu masuk.
Segera Jaka merapikan rambutnya sesaat sebelum menghampiri meja Cindy. "Udah nunggu lama?" Tanya Jaka begitu ia mendaratkan diri di kursi depan Cindy.
Cindy menggeleng. "Enggak, kok. Aku juga baru datang." Lalu gadis itu mengangsurkan buku menu pada Jaka untuk dipilih lelaki itu. "Pilih sesuka kamu."
Alih-alih langsung menerima sodoran buku menu, Jaka justru mengeluarkan ponselnya dari saku jaket, hendak memeriksa saldo rekeningnya melalui aplikasi mobile banking. Tangan Cindy lantas bergerak cepat mengambil ponsel Jaka seolah tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu.
"Aku yang bayar," celetuk Cindy sambil meletakkan ponsel Jaka ke meja dengan sekali hentakan.
"Tapi, Cin ... aku bisa kok bayar pesanan makanan kita malam ini," tukas Jaka.
Satu tangan Cindy terangkat, mengibas di udara. "Kali ini aku yang traktir. Kebetulan aku baru aja launching kedai Sushi Time di Kebon Jeruk. Walaupun aku baru kelas 3 SMA, tapi Mama sama Papa percayain aku buat belajar bisnis."
"Kamu yang kelola sendiri kedai itu?" Jaka menegakkan tubuhnya. Menarik segala atensinya agar terfokus pada cerita Cindy.
"Iya." Cindy mengangguk semangat. "Sebenarnya nggak sendiri juga, sih. Masih ada Mama yang backing aku. Tapi, aku senang karena aku emang dari dulu pengen banget punya kedai sushi sendiri. Kata Mama, kalau kedai ini sukses, Papa akan buka cabang baru di Bandung." Cindy terus bercerita tanpa berhenti. Sementara itu, Jaka mendengarkan alunan cerita Cindy penuh minat.
Beginilah jadinya jika Cindy sudah bertemu Jaka. Gadis itu akan bercerita apa saja pada Jaka. Sebab, Cindy tahu bila Jaka selalu antusias menjadi pendengar setianya.
"Maka, malam ini aku yang traktir kamu ya." Cindy mengakhiri ceritanya dengan balik ke topik awal. "Anggap aja ini sebagai hadiah karena aku udah minjam waktu kamu. Oh iya, kamu udah pilih menu?"
Jaka menunjuk satu menu yang sebelumnya sempat membuatnya tertarik. "Ini."
"Toujours 1314520 ...," Cindy melisankan nama menu yang Jaka tunjuk. Bibirnya tersungging manis.
"Kenapa kamu senyum?" Kening Jaka mengerut samar. "Bukannya kamu harusnya heran. Nama-nama menunya aneh."
"Menu ini ada maknanya. Kamu tau nggak artinya apa?"
Lantas Jaka menggeleng pelan.
Cindy tersenyum sebelum menjelaskan, "Artinya, aku mencintai kamu selamanya. Happy 3rd anniversary, Jaka."
Ucapan Cindy sukses membuat Jaka membisu lama. Pikirannya langsung kosong. Bagaimana tidak? Ia sama sekali lupa bahwa hari ini adalah hari jadinya yang ketiga tahun dengan Cindy.
Belum juga hilang ketercengangannya, Jaka dikejutkan dengan kedatangan kue berbentuk hati yang di atasnya bertuliskan "Anniversary Jaka & Cindy". Kue tersebut diantar oleh tiga waitress, dua lainnya meletakkan beberapa makanan serta minuman yang telah Cindy pesan.
"Kamu kenapa malah diam, sih?" Cindy menyadari keterdiaman Jaka.
"Dari kapan kamu menyiapkan semua ini?" Tanya Jaka tak habis pikir.
Cindy terkekeh sebelum berujar, "Hmm kira-kira seminggu yang lalu. Kamu nggak ingat ya anniv kita?"
"Enggak, aku terlalu sibuk." Jaka memalingkan wajah dari Cindy. Seketika Jaka merasa sangat tidak berarti lagi. Sebagai pria, seharusnya dia yang menyiapkan kejutan ini. Seharusnya dia yang memukau Cindy dengan surprise annivnya.
"Ada yang salah? Kenapa kamu mendadak badmood begini?" Tanya Cindy hati-hati kala merasakan aura dingin yang terpancar dari raut Jaka. "Aku udah nyiapin ini semua di hari bahagia kita. Jadi aku nggak mau--"
"Siapa yang nyuruh kamu nyiapin ini?" Potong Jaka cepat.
"Kok kamu gitu sama aku?"
"Aku tanya, siapa yang nyuruh kamu nyiapin kejutan kayak gini? Aku? Itu karena inisiatif kamu sendiri kan," semprot Jaka. Mendadak suasana hati Jaka menurun drastis. "Emang perlu ada perayaan hari jadi? Kita udah saling percaya aja itu menurutku udah cukup. Kita udah sama-sama dewasa. Tau mana yang penting dan enggak."
Dwinetra Cindy berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya meremas ujung dress selututnya. Bahkan, Jaka tidak mengomentari penampilan baru Cindy. Padahal, sudah mati-matian Cindy ke salon, mengubah gaya rambutnya, serta mencari OOTD yang cocok untuk acara anniversary.
"Kamu tau nggak? Lama-lama aku capek menghadapi sifat kekanakan kamu."
Kalimat terakhir yang dilontarkan Jaka rupanya berhasil menjatuhkan Cindy ke dasar jurang kekecewaan. Tidak pernah terbesit di pikiran Cindy bahwa Jaka akan berbicara semenyakitkan ini.
Lantaran terlampau kecewa, serta tidak mampu mengatakan apapun, Cindy dengan cepat bangkit dari duduknya lalu berlari keluar dari Steak XXI. Sedangkan Jaka membiarkan Cindy pergi darinya saat itu.
💫💫💫
Selama perjalanan pulangnya menuju rumah, Jaka tak bisa mengenyahkan bayang-bayang wajah sedih Cindy dari benaknya. Rasa bersalah mulai menyusup hatinya. Sebelum terlambat, Jaka ingin menyambangi rumah Cindy untuk meminta maaf.
Namun sebelum itu, Jaka menyempatkan diri datang ke toko emas. Tak mungkin ia meminta maaf pada Cindy dengan tangan kosong. Apalagi, Jaka dengan tak sengaja telah melukai perasaan Cindy.
Selesai membeli cincin hadiah anniversary-nya untuk Sinbi, Jeka kembali mengendarai sepeda motor miliknya. Sebuah motor yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri.
Berbelok ke jalan raya, Jaka menambah kecepatan motornya agar cepat tiba di rumah Cindy. Kini pikiran Jaka hanya tertuju pada gadisnya. Ia tidak sabar ingin melingkari cincin itu di jari manis Cindy.
Sesampainya di perempatan lampu merah, lantaran kebetulan lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau, Jaka menarik gas lebih dalam sehingga motornya melesat kencang. Detik berikutnya sesuatu mencengangkan pun terjadi.
Tepat tatkala motor Jaka tengah melintas di perempatan, dari sisi kiri sebuah truk juga melaju dengan kecepatan tinggi. Supir truk itu dengan sengaja menerobos lampu merah karena dari kejauhan perempatan itu terlihat sepi. Namun, siapa sangka jika seorang pengendara motor tiba-tiba melintas di waktu yang bersamaan.
Alhasil tabrakan itu tidak dapat terhindarkan. Tubuh Jaka terpental ke udara sebelum akhirnya rebah ke aspal jalan. Dalam sejekap motornya hancur akibat kerasnya tabrakan. Tak pelak darah segar langsung mengucur dari kepala Jaka lantaran helmnya terlepas dari kepala.
Di tengah-tengah kondisi sekaratnya, Jaka tak lagi bisa menyahuti suara orang-orang yang mulai berdatangan untuk menyelamatkannya. Beberapa meter di depannya terdapat kotak cincin yang ingin ia berikan untuk Cindy. Namun, ia tak berdaya sekarang.
Bahkan sebelum Jaka kehilangan kesadaran, seluruh isi kepalanya dipenuhi oleh gadis bernama lengkap Cindy Bella Adinata itu. Batin Jaka berteriak, Tuhan, jangan sekarang, kumohon.
💫💫💫
Belasan panggilan tak terjawab serta chat dari nomor yang sama memenuhi layar notifikasi ponsel Cindy saat gadis itu baru saja bangun dari tidurnya. Cindy sengaja menonaktifkan ponselnya ketika ada masalah. Bukan tanpa alasan, sebab Cindy tak ingin membuat kepalanya semakin pusing.
Cindy mengerutkan kening samar saat panggilan tak terjawab itu berasal dari nomor Una, ayah dan ibu Jaka. Tak biasanya satu keluarga itu menghubunginya secara bersamaan. Apa ini karena kejadian semalam?
Cindy berdecak, "Jadi, Jaka minta bantuan sama keluarganya buat minta maaf ke gue? Hell, no."
Seakan tahu apa isi chatnya, dengan sengaja Cindy melempar asal ponselnya lagi ke kasur tanpa berminat membuka chat-chat tersebut. Gadis itu merebahkan diri di kasurnya yang empuk sambil menatap langit-langit kamar. Ia tidak mungkin lupa pada ucapan Jaka semalam.
"Katanya apa? Dia capek sama gue? Kalau capek, kenapa masih bertahan sampai sekarang?" Ujar Cindy bermonolog.
Saat Cindy masih asik tiduran, Yerina--sepupu Cindy--melengos masuk begitu saja ke kamar Cindy tanpa mengetuk pintu. Kakak sepupunya itu berdiri di sisi ranjang Cindy seraya menatap Cindy gamang.
"Kenapa lo susah banget dihubungin?" Suara Yerina terdengar serak.
"Males gue ngecek hape. Semalam Jaka berulah lagi," sahut Cindy tak acuh.
"Jaka, Cin ... Jaka!" Yerina tak kuasa menahan isak tangisnya.
"Lah, lo kenapa, Yer? Lo diapain sama Jaka?"
"Jaka kecelakaan, Cin! Semalam Una nelepon gue, katanya Jaka kecelakaan di jalan raya," tutur Yerina di sela-sela isakannya.
"Ah, bercanda lo! Semalem aja gue baru ketemuan sama dia," tukas Cindy tidak terima.
"Astaga, Cin! Mana mungkin gue bohong. Una sendiri yang bilang ke gue. Makanya lo kalau punya hape jangan dimatiin!" Suara Yerina meninggi. Geregetan melihat tingkah Cindy yang tidak percaya.
Kemudian Cindy segera meraih ponselnya dari atas kasur. Jemarinya dengan cepat membuka chat yang memenuhi aplikasi WhatsApp-nya. Dwinetranya terfokus membaca satu persatu isi chat tersebut mulai dari chat paling atas.
Aruna💐
Cindyyy
Cinnn angkat telfonn
Yatuhan cinnn
Cinn, jaka kecelakaan. Skrg lg dibawa ke rs. Kalo lo udh aktif lg, tlg telfon balik ya.
Missed voice call at 21:00
Missed voice call at 21:05
Missed voice call at 21:10
Missed voice call at 21:30
Cin, jaka udah ga ada. Tlg maafin kalo jaka ada salah ya. Jenazah jaka sepertinya mau dimakamin di bandung atas usul ayah sama bunda.
Selanjutnya Cindy tak sengaja menemukan chat terakhir yang dikirim Jaka pada pukul 19.40.
Jakayang 🐇
Cin, aku otw rumah kamu.
Seketika itu pula tubuh Cindy terasa lemas. Sampai-sampai ponselnya terlepas dari genggaman. Ia jatuh terduduk ke lantai. Sesak langsung menjalari rongga dadanya. Antara percaya dan tidak, peristiwa itu benar-benar terjadi.
"Cin ... yang ikhlas, ya." Yerina langsung mendekap Cindy yang saat itu tatapannya berubah kosong.
Barulah Cindy meluapkan tangisannya di pelukan Yerina. Dengan sekuat tenaga Yerina mendekap erat-erat Cindy yang tengah menangis sesenggukan.
Kalau saja malam itu hari terakhir kita bertemu, aku tidak akan beranjak dari bangku dan pergi meninggalkanmu.
💫💫💫