Chereads / After A Life / Chapter 2 - 1. Dipatahkan oleh Keadaan

Chapter 2 - 1. Dipatahkan oleh Keadaan

Kedua kakinya terus berlari. Sedikit demi sedikit mengikis rasa gelisah yang kian lama menggerotinya. Berbekal informasi yang didapat Yerina, Cindy bergegas menyambangi rumah sakit di mana Jaka menghembuskan napas terakhirnya. Setidaknya biarkan Cindy melihat Jaka untuk yang terakhir kali meskipun Una mengatakan di chat bila jenazah Jaka telah dibawa ke Bandung.

Napas Cindy terengah-engah seusai berlari dari parkiran basement rumah sakit begitu dia turun dari mobil. Gadis itu nekat menyetir mobil sendiri. Tanpa Yerina yang sudah bersiap mengantarnya. Kini dwinetra Cindy bergerak liar menemukan resepsionis. Setelah fokusnya bertemu dengan front office, dengan langkah cepat Cindy menghampirinya lalu menanyakan keberadaan Jaka kepada resepsionis.

Tidak butuh waktu lama resepsionis itu memberikan jawaban. "Mohon maaf, pasien atas nama Jaka Saka Purnama diketahui telah meninggal dunia. Jenazahnya sudah dibawa oleh keluarganya."

Seketika itu pula Cindy kehilangan tenaganya untuk berdiri. Nyaris saja dia tumbang jika tidak buru-buru berpegangan pada meja front office. Orang-orang yang berada di dekat Cindy kontan khawatir menanyai kondisinya. Tak menyahuti apa-apa, Cindy berbalik, mengusap cairan bening yang terlanjur menetes dari ujung netranya.

Telapak kakinya akhirnya membawa Cindy kembali masuk ke dalam mobil. Otaknya terasa kosong, tidak dapat memikirkan apa pun. Batinnya menjerit. Rasanya ingin sekali Cindy berteriak memaki Tuhan. Namun, sialnya, mulutnya seolah terkunci. Yang dapat ia lakukan hanya menumpahkan kesakitannya dalam tangisan. Ia memukul-mukul setir hingga kedua tangannya terasa kebas. Selanjutnya ia membenturkan keningnya sendiri ke setir, sebelum akhirnya ia menenggelamkan wajahnya di sana.

Beberapa saat kemudian Cindy mengangkat kepalanya. Jika memang jenazah Jaka dibawa ke Bandung, maka ia memutuskan untuk menyusulnya. Lantas, dengan tatapannya yang kosong, serta matanya yang sembab, Cindy menyalakan mesin mobil. Detik berikutnya mobil berwarna abu-abu metalik itu mulai bergerak meninggalkan parkiran basement rumah sakit.

***

Sudah puluhan kali ponsel Aruna Dewi Purnama--adik Jaka--mendapat panggilan atau pesan masuk dari teman-teman Jaka setelah gadis itu memberikan kabar kepergian Jaka di grup angkatan. Tak terkecuali Cindy, yang berusaha menghubungi gadis itu. Tangan Una terasa bergetar ketika harus menolak panggilan masuk Cindy untuk kesekian kalinya. Ia tak kuasa mengangkatnya.

Setelah berpikir lama, Una pun memilih menonaktifkan ponselnya. Ia tengah berada di dalam mobil jenazah menuju Bandung. Di depannya, terbaring tubuh Jaka yang sudah terbujur kaku. Una menunduk dalam-dalam. Menahan sesak atas kepergian kakaknya. Semalam, usai mendapat kabar kecelakaan yang menimpa Jaka, Una dan kedua orang tuanya langsung menuju rumah sakit. Dan sesampainya di IGD, Jaka dinyatakan meninggal di tempat kecelakaan.

Tak pelak satu keluarga itu menangis histeris di IGD. Ketika Una merasakan kesedihan yang luar biasa karena kehilangan, dia harus menguatkan Marzya--bundanya yang langsung pingsan di sisi ranjang Jaka yang telah ditutupi kain putih. Mendengar isakan tangis ayahnya, serta pingsannya sang ibunda, membuat Una tak sanggup lagi melanjutkan isakannya. Sebab, siapa yang akan menguatkan kedua orang tuanya selain dirinya?

Kala keluarga Purnama memutuskan membawa Jaka untuk dimakamkan di Bandung, Una memilih menaiki mobil jenazah sedangkan orang tuanya berada di mobil terpisah. Barulah saat itu juga Una punya waktu untuk dirinya sendiri bersedih. Selama perjalanan dari Jakarta menuju Bandung, Una tak berhenti menangis sesenggukan. Orang tuanya tidak tahu, bahwa Una juga menelan kepedihan yang sama.

Di sisi Una, jiwa Jaka yang telah terlepas dari badannya, hendak merengkuh Una ke dalam dekapannya. Namun, sayang, Jaka harus menghadapi kenyataan bahwa kini dia tidak lagi bisa menyentuh manusia yang masih hidup. Itu dibuktikan dengan tangan Jaka yang malah menembus badan Una.

***

Cindy mengubah persneling gigi mobil ke angka 4. Kakinya menginjak pedal gas lebih dalam. Lantas mobil pun melaju lebih cepat tatkala memasuki jalan tol lingkar luar Jakarta. Seperti dikejar waktu, Cindy mengabaikan klakson yang berasal dari mobil lain. Pasalnya Cindy kerap mengubah jalur mobilnya. Hal itu lantas memicu pengendara lain untuk memberikan peringatan pada Cindy melalui klakson.

"Cindy, aku mohon, jangan nekat." Di bangku penumpang sebelah kiri, Jaka hadir menemani Cindy. Meskipun ia tahu Cindy tidak mendengar suaranya, tapi Jaka berusaha melakukan sesuatu agar Cindy mengurangi kecepatan. Tidak, cukup dia yang mengalami kecelakaan tragis di jalan raya. Cindy jangan.

Detik berikutnya gadis itu tersentak saat Jaka menggapai tangannya. Terasa sebuah sentuhan dingin di lengan kiri Cindy. Alhasil bulu-bulu kuduk di tengkuknya seketika merinding. Tak ayal Cindy kehilangan konsentrasinya menyetir, sehingga ia tiba-tiba melakukan pengereman mendadak saat menyadari di depannya ada antrean beberapa mobil yang ingin menge-tap di gerbang tol.

Sialnya, pengereman tidak berjalan mulus. Mobil Cindy menabrak bagian belakang mobil mewah seharga milyaran. Bukan masalah uang, namun ini bukan waktu yang tepat untuk berurusan dengan hal lain. Sebab, tujuan utamanya adalah pergi menemui Jaka sebelum kekasihnya itu dimakamkan.

"Shit!" Umpat Cindy. Di sampingnya, Jaka--yang tentu saja tidak dapat dilihat Cindy--memasang ekspresi datar sekaligus sedih yang tidak terdefinisikan. Jaka tidak bisa berbuat apa-apa meski dia sangat ingin membantu kekasihnya itu.

Alhasil Cindy ikut menepikan mobilnya di jalan tol sisi kiri dikala mobil di depannya berhenti. Cindy mengacak rambutnya frustasi. Tidak seharusnya ia mengalami kejadian ini. Tidak adakah hari lebih buruk selain hari ini?

Turun dari mobil, Cindy terus menunduk. Selaput bening telah menghiasi manik matanya sejak tadi. Jujur, ia tidak sanggup mengatasi kesialannya hari ini sendirian. Pikirannya terus tertuju pada Jaka. Dengan cara apapun, ia harus segera tiba di Bandung. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mungkin itu kalimat yang cocok untuk kondisinya saat ini.

Belum sempat pemilik mobil yang ditabrak Cindy mengutarakan ganti rugi, Cindy tahu-tahu berjongkok sambil menangis kencang. Rambut panjang hitam legamnya menutupi seluruh wajahnya hingga pemuda yang merupakan pengemudi sekaligus pemilik mobil mewah itu merasa bingung atas tindakan Cindy.

"Kenapa lo nangis? Lo yang nabrak mobil gue. Bukannya seharusnya gue yang nangis?"

Terdengar suara berat cowok yang berdiri di depan Cindy. Sepersekian detik memberi jeda, cowok itu mengira tangisan Cindy akan berhenti. Namun, Cindy tak kunjung menghentikan tangisannya. Sampai akhirnya cowok itu menghela napas jengah.

"Nggak usah drama. Tinggal selesaiin ini secara baik-baik. Beres, kan?" Cowok itu melipat tangan di dada. Terlihat kesal dari wajah tampannya.

Beberapa saat kemudian, Cindy menengadahkan kepala. Matanya yang memerah dan sembab, menatap cowok pemilik mobil yang ditabraknya. Dengan suara teramat pasrah, Cindy berujar, "Gue harus ke Bandung ... gimana pun, gue harus ke sana secepat mungkin. Pacar gue meninggal dan akan dimakamin di sana. Gue takut nggak bisa lihat dia untuk yang terakhir kalinya." Mengusap air matanya cepat dengan punggung tangan, Cindy bangkit berdiri, berjalan menuju mobilnya untuk mengambil dompet, kemudian menyerahkan KTP serta kartu namanya pada cowok itu. "Gue akan ganti rugi. Ini KTP sama kartu nama gue. Lo bisa pegang dulu sebagai jaminan. Tapi, plis, lepasin gue dulu. Gue harus bener-bener ke Bandung sekarang." Sebelum berbalik pergi, Cindy menandaskan, "Gue nggak akan kabur."

Dilihatnya KTP serta kartu nama yang diberikan gadis itu padanya. Lantas, cowok itu bergeming. Menyadari jika Cindy, cewek yang baru ditemuinya hari ini setelah menabrak mobilnya, masih duduk di bangku SMA kelas 3. Dan hal yang paling mengejutkan cowok itu adalah, Cindy merupakan anak dari keluarga Adinata.

Selanjutnya Cindy mengambil langkah kembali ke mobilnya dengan sisa-sisa tenaganya. Tatkala hendak membuka pintu mobil, tangan Cindy lunglai tak berdaya. Seperti di rumah sakit, Cindy hampir kehilangan kesadarannya. Penglihatannya jadi mengabur. Rasa pening menyerang kepalanya.

"Lo nggak apa-apa?" Cowok itu dengan cepat mengamit lengan Cindy.

Cindy menggeleng lalu menepis tangan si cowok. "Im fine."

"You are not fine. I will take care of you until you arrive in Bandung."

"Why you? Gue bisa sendiri!"

"Yakin lo bisa nyetir sendiri sampai Bandung? Lo aja habis nabrak mobil gue! Kalau lo, amit-amit, kecelakaan yang lebih parah gimana?! Yang ada lo nyusul cowok lo!" Tukas cowok itu yang lantas membungkam Cindy. Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut cowok tersebut membuat sekujur tubuh Cindy bergetar. Serta merta si cowok merasa bersalah lantaran sudah menyinggung perasaan Cindy.

"Sorry, gue nggak bermaksud." Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Its okay," ucap Cindy gamang.

"So, gimana?"

Akhirnya Cindy menerima tawaran cowok asing yang baru ditemuinya untuk mengantarnya. Entah murni polos atau bodoh, Cindy manut saja begitu cowok itu mengajaknya masuk ke dalam mobilnya sedangkan mobil Cindy dibawa oleh derek tol. Hingga di tengah perjalanan setelah memasuki jalan tol layang MBZ, cowok itu menyebutkan namanya.

"Taevin Aldebara."

"Eh?" Cindy mengerjapkan matanya karena sedari tadi ia melamun.

"Itu nama gue. Senang bisa berkenalan dan ketemu lo, Cindy."

***

"Jadi lo nggak tau alamat rumah cowok lo di Bandung?" Tanya Taevin takjub.

Cindy menggeleng lemah sambil mengaduk es jeruknya. Lantaran Cindy terus menunjukkan jalan yang salah, Taevin dibuat lelah sendiri. Gadis itu terus membuatnya mengemudi dan memutar di jalan yang sama. Beberapa saat setelahnya gadis itu baru mengakui bahwa dia tidak tahu arah jalan ke rumah kekasihnya. Maka dari itu Taevin mampir di sebuah rumah makan untuk melepas penatnya selama menyetir.

"Rumah dia aslinya di Jakarta. Bandung itu kampung halaman orang tuanya. Selama pacaran sama dia, gue nggak pernah diajak ke rumah kakek neneknya di Bandung." Cindy berusaha menjelaskan sejujur mungkin.

"Lo nggak nyimpen nomor saudaranya? Atau lo bisa hubungin ayah, ibu, atau kakak adiknya."

"Nggak diangkat. Gue udah coba telepon ayah, bunda dan adiknya, mereka semua sulit dihubungin." Kemudian Cindy menyampirkan surai poninya ke atas, membuat dahinya kini terlihat. "Kayaknya sia-sia kita ke sini. Maaf ya, udah ngerepotin lo."

"No problem. Gue nggak ngerasa direpotin sama lo kok," kata Taevin sembari mengibaskan tangan.

Sementara itu, tanpa diketahui kedua insan itu, jiwa Jaka berdiri tak jauh dari meja mereka. Memperhatikan keduanya dengan segaris senyuman tercetak di bibirnya. Jaka merasa lega karena ada yang menjaga Cindy walau hatinya seakan teriris sebab Cindy tidak bisa datang ke pemakamannya.

Sebelum jiwanya menghilang terhembus angin, Jaka bergumam lirih, "Tuhan ... tolong beri aku kesempatan untuk hidup lagi. Aku belum siap meninggalkan semuanya."

***

Suasana haru melingkupi seisi rumah. Nenek Jaka tak kuasa menahan tangisannya begitu melihat cucu kesayangannya telah tiada. Tak henti sang nenek memegangi wajah Jaka yang sudah pucat pasi. Sedangkan Una terus-terusan memandangi jasad Jaka yang telah dibungkus kain kafan. Rencananya acara pemakaman akan dilaksanakan sore hari seusai dishalatkan.

Walau ramai banyak orang yang datang, namun Una merasa kesepian luar biasa menyerang dirinya. Sejak tadi Una tak beringsut sedikit pun dari tempatnya duduk. Air mata telah habis. Tenaganya telah terkuras karena banyak menangis. Kini hanya tersisa kepedihan yang menggerogoti rongga dadanya. Una tidak mengerti, dari sekian banyak manusia, mengapa Tuhan harus mengambil nyawa kakaknya di usia muda?

Beberapa saat setelahnya Una masih terdiam melamun. Namun, Una tidak sengaja melihat pergerakan dari raga Jaka. Walaupun tubuh Jaka telah berbalut kain kafan tapi Una dapat mengetahui bahwa ada pergerakan yang terjadi. Lantas Una menajamkan indra penglihatannya, fokusnya ia arahkan pada jenazah Jaka. Sepersekian detik Una bergeming saat dilihatnya kembali pergerakan itu. Kemudian, hal paling mustahil di dunia pun terjadi. Secara ajaib Jaka membuka matanya setelah dinyatakan meninggal belasan jam yang lalu.

Sontak Una menutup mulutnya dengan tangan. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang-orang di sekitarnya terkesiap atas bangunnya Jaka dari kematian. Tak terkecuali ayah dan ibu Jaka yang langsung memeluk anaknya saat itu juga sementara neneknya mengucap syukur tanpa henti dari mulutnya.

***

Ucapan belasungkawa memenuhi chat WhatsApp Cindy. Kebanyakan dari teman satu sekolah gadis itu. Namun, sepertinya Cindy sama sekali tidak berminat menyentuh ponselnya. Sudah empat hari ia mengurung diri di kamar. Mengabaikan ketukan pintu yang sejak beberapa menit lalu terdengar.

Papa dan Mama Cindy sampai kebingungan dengan kondisi sang anak. Khawatir jika Cindy nekat melakukan tindakan yang dapat mencelakai dirinya sendiri. Sudah beberapa kali kedua orang tuanya meminta Cindy keluar untuk sekadar makan bersama, tapi Cindy tak menggubrisnya.

Kendati demikian, Yerina pantang menyerah. Walaupun Papa dan Mama Cindy kehabisan akal untuk meluluhkan kekeraskepalaan anaknya, Yerina masih terus mencoba menemani Cindy dari balik pintu kamarnya.

"Cin, buka pintu. Ini gue beliin sushi, xie boba, sama matcha mcflurry kesukaan lo. Gue nggak bisa nih habisin ini sendiri," ujar Yerina. Berharap ada sahutan Cindy dari dalam.

Nyatanya, selang lima menit pun, kamar Cindy hening seolah tak berpenghuni. Cindy sengaja menulikan pendengarannya. Merenungi kesedihannya sendiri selepas ia kehilangan Jaka.

Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang luruh dari pelupuk matanya selama empat hari terakhir. Meskipun telah berkali-kali menangis, dadanya masih saja terasa perih. Apalagi jika ia teringat kenangannya bersama Jaka.

Maka dari itu, Cindy enggan membuka ponselnya. Karena selain tak ingin membaca ucapan belasungkawa yang dikirim teman-temannya, ada begitu banyak foto serta video dirinya bersama Jaka di ponselnya itu.

"Cin ... lo udah empat hari bolos sekolah. Lo mau nanti nggak lulus SMA?" Terdengar suara Yerina lagi. Yerina masih berusaha keras membuat Cindy keluar dari kamar. Atau setidaknya mendapat sahutan dari Cindy

Di dalam kamar, punggung Cindy bersandar pada headboard ranjang dalam posisi setengah duduk. Kedua matanya sembab, tatapannya kosong, wajahnya memancarkan tak ada lagi semangat dalam dirinya. Bibirnya memucat lantaran ia tidak nafsu makan.

Cindy tahu, seberapa sering ia menangis tak akan mengubah keadaan. Tak bisa mengembalikan raga Jaka ke sisinya lagi. Akan tetapi, biarlah ia meluapkan kesedihannya sendiri. Sebab sakit itu adalah ketika rindu tapi tak dapat bertemu dengan orang yang dirindukan.

"Cindy ... Jaka pasti sedih ngeliat lo begini. Dia nggak mau lo terpuruk karena kepergian dia. Gue tau sampai kapanpun lo nggak akan bisa lupain Jaka. Tapi, Jaka udah tenang di sana. Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan. Masa depan sekarang ada di tangan lo, Cin." Yerina menghela napas pasrah. Tak tahu lagi harus dengan cara apa lagi agar Cindy keluar dari kamarnya.

Sementara itu, Cindy menekuk kedua lututnya. Ia tenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut. Sejujurnya ia tidak memikirkan apapun selain Jaka. Mengapa Jaka begitu tiba-tiba meninggalkan dirinya? Tanpa mengucapkan selamat tinggal padanya.

Yang membuat hati Cindy lebih sakit adalah ketika ia menyadari fakta bahwa malam itu ia sempat bertemu dan bertengkar dengan Jaka, beberapa saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Bahkan sampai detik ini, ucapan terakhir Jaka masih terngiang-ngiang di telinganya seolah baru saja ia dengar sedetik yang lalu.

"Kamu tau nggak? Lama-lama aku capek menghadapi sifat kekanakan kamu."

Satu kalimat itu yang mengiris hati Cindy. Gara-gara kalimat itu pula Cindy beranjak pergi begitu saja meninggalkan Jaka. Pertemuan terakhir yang menyisakan duka mendalam baginya.

"Seharusnya aku bisa menahan ego aku. Seharusnya aku nggak ninggalin kamu malam itu ...," untuk kesekian kalinya kristal bening itu menetes membasahi pipi Cindy. Gadis itu terisak kembali. Dan dari luar, Yerina bergeming mendengar isak tangis Cindy.

"Cin ...," lirih Yerina seraya kepalanya ia sandarkan ke daun pintu. Tanpa sadar air mata Yerina ikut menetes dari sudut netranya.