Di antara mahasiswa yang hadir di kelas hanya Taevin yang telah menyiapkan ancang-ancangnya untuk pulang. Lelaki itu bahkan sama sekali tidak mencatat materi yang diajarkan dosen. Mejanya rapi, tidak ada satu pun peralatan tulis yang tergeletak di atasnya. Sesekali Taevin memotret halaman power point yang menurutnya penting.
Jimmy yang kebetulan duduk di samping Taevin pun mengernyitkan dahinya melihat tingkah Taevin. Ia sudah tahu perihal Taevin yang pemalas, tapi jarang sekali Taevin bersiap pulang cepat seperti ini. Biasanya ketika kelas berakhir, Taevin keluar kelas terakhir lalu menghabiskan waktu hingga sore di kafetaria.
"Mau kemana lo?" Bisik Jimmy, teman satu jurusan dan seangkatan Taevin.
"Biasa, ada urusan," sahut Taevin sekenanya.
"Kali ini cewek incaran lo siapa lagi?" Jimmy menggeser pelan kursinya mendekat ke kursi Taevin.
"Sepertinya gue butuh usaha keras buat dapetin dia." Taevin termenung memikirkan gadis yang kini mulai menguasai perasaan hatinya.
Jimmy mendengus. "Ngedapetin cewek kan bukan perkara yang sulit buat lo."
"Enggak, dia beda." Taevin menghela napas panjang.
"Emang siapa sih cewek yang lo maksud?" Tanya Jimmy semakin penasaran.
"Nanti gue kenalin dia ke lo kalau gue udah resmi jadi pacar dia. Gue duluan, bro." Ditepuknya sebelah bahu Jimmy sebelum Taevin bergegas melengang keluar kelas. Jimmy yang hendak menyusul Taevin justru berdecak sebal saat mendapati mejanya masih berantakan dengan buku serta alat tulis.
***
Lelaki tampan yang menjadi primadona seantereo kaum hawa Universitas Kartanegara itu melengang keluar kelas. Sepanjang menyusuri koridor kampus, tatapan para wanita terus tertuju kepadanya. Kendati demikian, pria bernama lengkap Taevin Aldebara itu tidak ambil pusing.
Dengan santainya Taevin mengetik-ngetik sesuatu di ponselnya seolah mengabaikan dirinya yang menjadi pusat perhatian para wanita. Langkahnya berhenti begitu ada seorang gadis berambut kuncir kuda menghalangi jalannya. Gadis itu mengulurkan goodie bag bertuliskan merk Gucci pada Taevin.
"Kak Taevin, ini aku ada hadiah buat Kakak," ujar gadis itu teramat pelan. Kepalanya menunduk malu.
Sejenak Taevin mengalihkan atensinya dari ponsel layar sentuhnya. "Ini buat gue?" Ia menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, Kak." Gadis itu mengangguk kecil.
Menyunggingkan senyuman tipis, Taevin menerima hadiah pemberian gadis itu dengan senang hati seraya berkata, "Makasih ya, Luna. Lain kali kita jalan bareng, ya."
Sontak gadis bernama Luna itu kegirangan bukan main. Seorang Taevin mengetahui namanya. Tak pelak gadis-gadis di pinggir koridor yang berjejer itu berbisik iri. Mereka juga ingin seperti Luna.
Taevin Aldebara merupakan putra kedua pemilik ALD's Group--perusahaan yang bergerak di bidang otomotif, teknologi, pertambangan serta jasa boga. Jefri Farzan Aldebara--ayah Taevin sekaligus pemilik ALD's Group--tercatat pernah menempati posisi pertama orang terkaya se-Asia Tenggara.
Untuk saat ini, ALD's Group dipegang oleh kakak laki-laki Taevin yang bernama Tristan Aldebara setelah ayah mereka memutuskan pensiun. Taevin memutuskan hidup sendiri sejak kematian ibu mereka. Beberapa kali Tristan meminta Taevin bergabung ke perusahaan, Taevin secara tegas menolak.
Anak-anak Universitas Kartanegara juga sudah banyak yang tahu tentang latar belakang Taevin. Bagi para gadis kampus, Taevin adalah paket lengkap. Tampan, berbakat serta merupakan calon pewaris ALD's Group. Sayangnya, Taevin juga terkenal dekat dengan banyak wanita.
Tidak jarang Taevin menerima perasaan seorang wanita yang menyukainya. Taevin akan meninggalkan wanita itu setelah dia bersenang-senang dengannya. Banyak juga yang telah menjadi korban Taevin.
Namun tetap saja, para korban itu masih suka mengejar-ngejar Taevin. Namanya juga orang ganteng.
Taevin kembali menderapkan kedua kakinya seusai menerima hadiah pemberian Luna. Memasukkan ponselnya ke saku celana, dia mengecek isi dari hadiah yang diterimanya. Ia berdecak seraya tersenyum miring tatkala mendapati sebuah jam tangan di dalam kotak yang dibukanya.
"Ini sih gue udah banyak di rumah," katanya sarkas. Tetapi, Taevin tetap menyimpan hadiah pemberian Luna di dalam tas.
Tak berapa lama dwinetranya menjumpai seorang gadis yang sangat familier baginya. Hanya dengan melihatnya dari kejauhan saja mampu membuat Taevin mengembangkan senyum sumringahnya.
Diam-diam Taevin mengikuti Cindy dari belakang. Tadinya Taevin berpikir jika gadis itu hendak menuju parkiran untuk pulang sehingga Taevin berniat menawarkan tumpangan. Namun ternyata Cindy malah berbelok ke lorong yang sepi lalu menaiki anak tangga. Kampus mereka sebenarnya memiliki akses lift, entah mengapa gadis itu lebih memilih menaiki tangga.
Gedung kampus yang dinaiki Cindy terdiri dari delapan lantai. Lantai paling atas merupakan rooftop yang jarang sekali didatangi mahasiswa. Di belakang Cindy, Taevin terus mengendap mengikuti kemana gadis itu pergi. Sampai akhirnya Cindy membuka pintu rooftop dengan sekali gebrakan lantaran pintu tersebut agak susah dibuka.
Pintu rooftop yang tidak ditutup rapat oleh Cindy memudahkan Taevin untuk mengintip melalui celah pintu. Taevin sangat penasaran terhadap apa yang ingin dilakukan Cindy sendirian di rooftop di siang menjelang sore seperti ini. Selama beberapa menit Taevin memperhatikan Cindy yang berdiri di pinggir dekat dinding pembatas. Kemudian Taevin dibuat terkejut tatkala Cindy tahu-tahu sudah berdiri di atas dinding pembatas sambil merentangkan kedua tangannya. Segera lelaki itu berlari menghampiri Cindy.
"Kamu mau ngapain?!" Teriak Taevin histeris. Rautnya sangat cemas. Takut bila Cindy menerjunkan dirinya ke bawah.
Cindy yang matanya terpejam, kedua tangannya terentang lebar, dan tengah menikmati sepoi angin yang menerpa wajahnya lantas terperanjat akan kedatangan Taevin. "Lo yang ngapain?"
"Cin, masih banyak yang sayang sama kamu. Sebelum melakukan hal bodoh kayak gini, coba kamu pikirin keluarga kamu, teman kamu dan orang-orang yang sayang sama kamu, termasuk aku!" Cerocos Taevin cepat lalu dengan hati-hati ia mengulurkan tangannya untuk menggapai Cindy. "Sekarang turun. Pegang tangan aku."
Mendengarnya lantas membuat Cindy terkekeh lebar. "Lo pikir gue pengen bunuh diri?"
"Bu ... bukannya iya?" Jawab Taevin dengan tampang polos.
Kontan Cindy kembali terbahak. Ia pun mengambil posisi duduk di atas dinding pembatas. Menghadap pada Taevin. Cindy bersedekap di depan dada lalu berujar, "Apa yang ngebuat lo berpikir gue pengen bunuh diri?"
"Aku kira kamu mau nyusul pacar kamu yang udah meninggal ...," ucap Taevin pelan.
"Taevin, Taevin." Cindy menggeleng seraya berdecak. "Pikiran gue nggak sesempit itu, kok."
"Pokoknya kamu nggak boleh ngelakuin sesuatu yang bisa membahayakan diri kamu, Cin!" Peringat Taevin.
"Emangnya kenapa? Hidup gue ini. Terserah gue dong mau ngelakuin apa pun," sahut Cindy tak acuh kemudian melompat turun dari dinding pembatas rooftop. Cindy menjejakkan kedua kakinya menuju pintu bertepatan dengan Taevin melontarkan kalimat yang sukses menghentikan langkahnya.
"Jangan pergi sebelum aku membahagiakan kamu, Cindy."
***
Lagi dan lagi Cindy menghembuskan napas kasar kala ia menoleh. Taevin masih saja mengekorinya dari belakang seusai ia turun dari rooftop. Raut cowok itu masih menunjukkan kecemasannya. Kendati demikian, berulang kali pula Cindy mengatakan bila ia tidak mungkin melakukan hal aneh yang dapat mencelakai dirinya.
Namun, tetap saja Taevin tak kunjung beranjak pergi. Lelaki itu justru mengikuti Cindy hingga ke parkiran kampus. Cindy sengaja mengabaikan Taevin dan mulai merogoh tasnya untuk mengambil kunci mobil. Sialnya, Cindy baru ingat jika kunci mobil dipegang Yerina.
"Kenapa? Ada yang hilang?" Tanya Taevin peduli.
"Bukan urusan lo!" Balas Cindy jutek. Lalu segera gadis itu pergi menjauh dari Taevin. Lelaki itu tidak berusaha mencegah kepergian Cindy. Bagaimana pun, ia tahu Cindy sangat berbeda dari perempuan lainnya. Hanya gadis itu yang sukses membuat Taevin berperang dengan perasaannya sendiri.
Mendekati Cindy bukanlah perkara mudah. Walaupun gadis itu merupakan teman masa kecilnya, tapi Cindy tidak ingat sama sekali siapa dirinya. Taevin memendam kenangan masa kecil seorang diri. Padahal, masih terekam jelas dalam benaknya bayang-bayang Cindy kecil yang kerap kali mengerjainya di taman bermain.
Tak berapa lama, Taevin tak sengaja melihat dari kejauhan sebuah motor yang melaju keluar parkiran. Beberapa meter di depannya Cindy berdiri sambil fokus ke layar ponsel. Gadis itu benar-benar tidak menyadari bila ada motor yang melaju ke arahnya.
Tanpa pikir panjang, Taevin berlari cepat menuju Cindy lalu dia meraih pinggul gadis itu dengan tangannya. Secara bersamaan keduanya terjatuh ke tanah dengan posisi lengan Taevin menahan kepala Cindy. Taevin pun berteriak marah pada pengemudi motor tersebut. "INI PARKIRAN KAMPUS BUKAN PUNYA LO, WOI! PAKAI MATA KALAU NAIK MOTOR!" Selanjutnya Taevin membantu Cindy bangkit berdiri seraya bertanya khawatir, "Kamu nggak apa-apa, kan? Ada yang luka, nggak?"
Alih-alih mencemaskan keadaan dirinya sendiri serta ponsel layar sentuhnya yang sudah tidak berdaya di tanah, mata Cindy tertuju pada sikut lengan kanan Taevin yang berlumuran darah. "Tangan lo ... berdarah."
Kontan Taevin menyembunyikan lengan kanannya dari Cindy. "Tenang aja, Cin. Ini cuma kegores dikit doang."
"Kegores dikit gimana? Darahnya ngucur banyak begitu!" Cindy membelalakkan matanya emosi mendengar respon tenang Taevin. Lelaki itu malah mengambil ponsel Cindy yang tergeletak di tanah lalu mengangsurkannya pada Cindy.
Usai menerima ponselnya, Cindy tahu-tahu mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya. Dengan perlahan Cindy mengguyur darah yang mengucur dari luka Taevin. Selanjutnya ia melepas cardigan yang dikenakannya dan melilitkannya di lengan Taevin yang terluka seraya berkata, "Setelah ini kita ke UKS."
Sesaat tidak ada jawaban dari Taevin lantaran ia termenung atas tindakan yang dilakukan Cindy. Ia tidak menyangka jika gadis itu rupanya menaruh kepedulian padanya. Taevin terus menatap lama Cindy tanpa kata. Berharap waktu berhenti saat itu juga.
"Aku senang kamu khawatirin aku," aku Taevin jujur.
Beberapa detik Cindy termangu atas ungkapan Taevin barusan. Sampai akhirnya sikap menyebalkan Cindy datang lagi dan langsung menoyor pelan perut Taevin. Bukannya kesal, Taevin justru tergelak kemudian berpura-pura mengerang kesakitan.
Tak pelak Cindy pun memegang perut Taevin sambil bertanya khawatir, "Perutnya sakit juga?"
Mengakhiri sandiwaranya, Taevin mengarahkan tangan Cindy ke dadanya. "Di sini juga sakit, Cin. Pengen dipeduliin juga sama ayang."
"Apaan sih lo nggak jelas!" Cindy menepis kasar tangan Taevin. Kali ini bukan raut judes yang menghiasi wajahnya tapi gadis itu berhasil tertawa karena guyonan Taevin.
Diam-diam Jimmy menyaksikan kebersamaan Taevin dan Cindy dari kejauhan. Tanpa sadar lelaki itu mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya berubah pias, mendapati kenyataan bahwa Cindy adalah sosok gadis yang Taevin maksud. Cindy berhak menemukan cinta yang baru, tapi entah mengapa ia tidak rela jika laki-laki yang menggantikan Jaka adalah Taevin.
Sebab, Jimmy tahu, Taevin bukanlah cowok yang baik bagi Cindy. Tidak sebaik Jaka.
***
Dengan telaten Cindy mengobati luka yang ada di lengan Taevin. Cindy menetesi betadine di luka Taevin dengan sangat hati-hati. Sesekali Cindy meniupi lengan kanan Taevin tatkala cowok itu meringis merasakan perih di lukanya.
"Sakit? Maaf, ya," ucap Cindy gamang. Tangannya masih bergelut memberikan pengobatan di luka Taevin.
"Kalau kayak gini, rasanya aku rela terluka asal bisa diperhatiin sama kamu," kata Taevin jujur sambil kedua matanya menatap intens Cindy.
"Gombal!" Cindy sengaja menekan luka Taevin sehingga membuat Taevin mengaduh kesakitan.
Kemudian Taevin kembali menunjukkan keseriusannya. "Aku nggak gombal. Kalau kamu mau, nanti malam kita jalan."
"Nggak mempan, Taev. Mau gimana pun lo berusaha ngejebak gue buat jadi target lo selanjutnya, lo nggak akan bisa," sahut Cindy sembari fokus melilitkan perban di lengan Taevin.
"Gimana caranya supaya bikin kamu percaya?" Fokus Taevin hanya tertuju pada Cindy kini. "Apa karena kejadian waktu itu kamu mergokin aku sama Airin? Ya, aku akuin aku emang bajingan. Main cewek sana sini. Tapi semenjak ketemu kamu, aku nggak mau main-main lagi."
Terlebih dahulu Cindy membereskan kotak P3K lalu mengembalikannya ke dalam lemari sebelum berujar tenang, "Gimana gue bisa percaya sama lo kalau kita aja belum kenal lama? Dan juga, omongan lo itu pasti cuma template supaya gue luluh, iya, kan? Setelah gue luluh, lo pasti akan pakai gue dan kemudian gue dibuang gitu aja. Persis sama apa yang lo lakuin ke Airin dan cewek-cewek yang jadi korban lo."
Seketika itu pula Taevin terbungkam karena balasan Cindy. Ia tak pernah mengira jika Cindy telah mengetahui tabiat buruknya. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui gadis itu. Bahwa perasaan Taevin tulus apa adanya dalam mencintai Cindy.
Sejak insiden Cindy menabrak mobilnya, hari di mana dia mengetahui bila gadis itu adalah putri keluarga Adinata yang sewaktu kecil sering bermain dengannya, ada perasaan rindu sekaligus lega yang menyeruak masuk ke dalam hatinya.
Rindu karena sudah belasan tahun dia tidak bertemu dengan Cindy, teman masa kecilnya, setelah Taevin dan keluarganya memutuskan pindah rumah. Dan lega karena akhirnya semesta mempertemukan Taevin lagi dengan sosok gadis kecil yang selalu membayangi mimpi-mimpi indahnya.
"Makasih tadi udah nolongin gue. Sekarang udah impas, ya. Gue nggak punya utang budi lagi sama lo." Selanjutnya Cindy memutuskan segera keluar UKS lantaran tak ingin berlama-lama berduaan dengan Taevin. Entahlah, tiba-tiba Cindy jadi takut membayangkan Taevin melakukan hal mengerikan padanya.
"Chloe," panggil Taevin dengan nama yang dipakai gadis itu dulu. Ia tidak mungkin melupakan segala hal yang berkaitan dengan Cindy meski waktu belasan tahun telah memisahkan keduanya.
Sontak Cindy menoleh seraya mengerutkan kening samar. "Bilang apa lo tadi?"
"Chloe. Nama panggilan kamu dulu pas SD."
"Dari mana lo tau? Nggak banyak orang yang tau tentang nama itu."
"Dulu kamu suka banget nonton serial Buku Harian Nayla sampai kamu sering dengerin lagu-lagunya. Semenjak itu, kamu jadi suka nulis buku harian kamu sendiri. Kamu suka lihat pelangi, tapi kamu nggak suka kalau hujan turun. Anjing kamu pernah mati karena sakit. Jajanan kesukaan kamu telur gulung yang abangnya suka mangkal di depan SD. Kamu pernah ngumpet di belakang perosotan taman bermain dekat komplek rumah karena ketahuan mecahin vas bunga," papar Taevin menjelaskan semua hal yang diingatnya tentang Cindy. Lalu Taevin tersenyum tampak mengingat-ngingat. "Apalagi, ya?"
"Lo ... siapa sebenarnya?" Tanya Cindy yang tak juga mendapatkan ingatannya. Ia tampak terperangah akan penuturan runut Taevin.
"Aku cowok yang dulu pernah kamu bela ketika anak-anak lain ngejek aku gendut dan jelek."
Lantas jawaban Taevin sukses membuat Cindy membulatkan matanya sempurna dan menutup mulutnya dengan tangan lantaran terkejut. "Jangan bilang lo ... Vi?"
"Akhirnya kamu inget juga." Segaris senyuman manis terpatri di wajah tampan Taevin.
***
Jaka duduk termenung menghadap jendela kamar di atas kursi rodanya. Cuaca kota Bandung tempat dia dan keluarganya tinggal saat ini sedari tadi mendung dan gerimis kecil tak berhenti turun sejak pagi. Perasaan rindu terhadap Cindy selalu merasuki dirinya hingga menjalarkan kesesakkan dalam dadanya. Ia ingin sekali bertemu Cindy lalu mendekap gadis itu erat.
Pasca mengalami mati suri, Jaka tidak lagi melihat Cindy. Terakhir kenangan yang ia ingat adalah saat ia merayakan hari aninversary-nya bersama gadis itu. Termasuk pertengkarannya dengan Cindy. Jaka masih menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja dia tidak egois dan melontarkan kata-kata kasar, mungkin sekarang dia masih bersama Cindy.
Diambilnya sebuah kalender dari atas nakas. Tahun telah berganti. Bulan demi bulan berlalu. Rasanya baru kemarin Jaka merasa kecelakaan itu terjadi, tapi nyatanya, waktu telah merenggut kebahagiaannya bersama Cindy. Kenapa Cindy tidak datang menjenguknya? Apa gadisnya itu tidak tahu bahwa dia masih hidup?
Lelaki itu menghembuskan napas pasrah. Ia menarik sudut bibirnya ke atas. Tertawa tanpa suara. Menertawakan takdirnya yang konyol. Seharusnya Tuhan tidak memberinya kesempatan hidup lagi jika kedua kakinya tidak bisa digunakan. Terlebih, kekasihnya pun sepertinya masih tidak mengetahui kebenaran yang terjadi pada dirinya.
Ah, apa Cindy masih bisa disebut sebagai kekasihnya?
Sering kali Jaka berpikir untuk kabur ke Jakarta sendiri demi menemui Cindy. Namun, lagi-lagi Jaka harus menelan kekecewaan mengingat kondisi fisiknya yang tidak sama seperti dulu. Dan juga pikiran-pikiran buruk terus menghantuinya. Jika dia suatu hari dapat bertemu Cindy lagi, apa gadis itu bisa menerima kekurangan fisiknya?
Tangan Jaka merogoh saku celananya. Sebuah ponsel layar sentuhnya terpampang di tangannya. Ponsel ini sebenarnya rusak parah karena kecelakaan. Tapi, Una diam-diam membawa ponsel Jaka ke konter service ponsel tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sebab, entah mengapa setelah bangun dari kematian, ibu dan ayahnya menjadi posesif terhadap Jaka.
Pemuda itu merasa seperti dikerangkeng oleh orang tuanya sendiri. Tidak boleh bepergian keluar. Bahkan, selama hampir satu tahun ini, Jaka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah nenek dan rumah sakit. Ya, kini Jaka dan keluarganya menetap di rumah nenek dari pihak ibu.
Setiap ditanya kapan kembali ke Jakarta, Irzan Purnama--ayah Jaka--menjawab bahwa beliau sekarang sedang menjalani bisnis di Bandung. Yang berarti, dia tidak lagi memiliki kesempatan kembali dan menemui Cindy di Jakarta.
Jemari Jaka menyalakan tombol untuk menyalakan ponselnya. Setelah menyala, orang pertama yang dihubunginya bukanlah Cindy, melainkan Jimmy. Sahabat dekatnya itu pasti sangat khawatir mendengar berita kematiannya waktu itu.
Selama beberapa saat Jaka menunggu nada dering kala teleponnya terhubung dengan nomor Jimmy. Ia menghubungi Jimmy menggunakan nomor baru yang dibelikan Una. Beruntung beberapa kontak yang tersimpan tidak menghilang setelah ponselnya diperbaiki. Sepertinya Jaka harus berterima kasih pada adiknya itu.
"Halo?" Suara Jimmy terdengar kemudian di seberang telepon.
Sejenak Jaka bergeming lama. Seketika lidahnya kelu tak sanggup bersuara.
"Halo, siapa ini?" Sapa Jimmy lagi.
"Jim, apa kabar? Ini gue, Jaka," sahut Jaka setelah mengumpulkan keberaniannya.