Seorang gadis kecil yang mengenakan seragam putih merah dengan topi di kepalanya berjalan santai sambil melahap telur gulung yang ia beli di depan sekolah. Hari ini ia mengelabuhi supirnya dengan mengatakan bahwa ia pulang dijemput oleh ibunya. Nyatanya, ibunya masih sibuk bekerja di rumah sakit. Gadis kecil itu sengaja berbohong demi merasakan pulang sendiri.
Ketika orang-orang di rumahnya gelisah mencari keberadaan gadis kecil tersebut, dia malah asik menikmati telur gulung dan memutuskan mampir ke taman bermain di komplek perumahannya. Gadis kecil itu membuang bungkus telur gulungnya ke tempat sampah sebelum ia mendudukkan diri di sebuah ayunan.
Kedua kakinya menjejak ke tanah. Ia dorong kuat-kuat tubuhnya ke belakang sebelum akhirnya ayunan beranjak maju dan mundur. Membawa dirinya bergerak menerpa angin. Sampai-sampai topi yang dikenakannya terlepas dari kepalanya. Kemudian gadis kecil itu pun menghentikan permainan ayunannya guna mengambil topi miliknya.
Topi merah khas anak SD milik gadis kecil itu tersapu angin dan berhenti di dekat sekumpulan anak-anak berbaju putih biru. Tatkala mengambil topinya, gadis kecil itu memperhatikan sambil memasang telinganya baik-baik pada sekumpulan anak SMP yang bergerombol tak jauh dari tempatnya berdiri. Tak berapa lama, gadis itu merasa ada yang tidak beres dengan salah satu anak laki-laki dari gerombolan itu.
Anak laki-laki itu bertubuh gempal. Ia memakai seragam putih biru lengkap, namun dasi yang dikenakannya sudah nyaris lepas ikatannya. Anak laki-laki itu berdiri dalam posisi tersudutkan. Sedangkan anak-anak lain menunjuk-nunjuknya sambil melontarkan kata-kata menyakitkan. Lantaran tidak bisa membalas, anak laki-laki itu hanya menunduk malu. Raut wajahnya menahan tangis.
"Dasar gendut nggak tau diri!"
"Lo itu harus sadar diri! Ngaca dong!"
"Udah gendut, jelek lagi! Nggak ada yang mau temenan sama lo!"
Sontak gadis kecil itu meledak amarahnya karena melihat perbuatan buruk yang dilakukan anak-anak SMP itu. Lantaran terlanjur kesal, gadis kecil itu mengambil beberapa batu dari tanah lalu melemparkannya pada sekumpulan anak SMP itu. Alhasil seperti yang sudah diduga, anak-anak SMP itu tidak terima dan bersiap melabrak gadis kecil yang melempar batu ke arah mereka.
"Eh bocil! Lo yang ngelempar batu ke arah kami, kan?!" Tanya seorang anak laki-laki yang tubuhnya lebih tinggi dibanding anak lainnya.
"Udah tau kok pakai nanya sih, Kak?" Balas gadis kecil itu.
"Gila juga ya nih bocah! Anak mana sih lo? Nggak usah ikut campur urusan kami!" Celetuk perempuan yang merupakan bagian dari komplotan itu.
"Dek, lebih baik lo pulang terus bobo siang. Nanti dicariin Mama," guyon anak laki-laki bertubuh tinggi tadi.
"Aku nggak suka tidur siang. Dan Mama aku sekarang lagi kerja, Kak." Si gadis kecil menimpali ucapan-ucapan anak SMP itu dengan tenang. Walaupun masih kelas 5 SD, dia berani untuk membela yang benar. Itu lah yang ia pelajari di sekolah. "Kakak-kakak sendiri ngapain ngebully orang siang-siang? Nggak baik loh, Kak. Mending kakak-kakak juga pulang."
"Anjir sialan lo ya!" Anak cowok bertubuh tinggi yang menjadi pemimpin komplotan anak SMP itu pun mendorong tubuh si gadis kecil, lalu melayangkan telapak tangannya hendak menampar wajah gadis kecil itu.
Namun, siapa sangka, cowok yang menjadi korban perundungan mereka justru menahan tangan sang pemimpin komplotan dan mendorongnya keras hingga terjatuh. Detik berikutnya serta merta cowok itu menarik lengan gadis kecil itu berlari menjauh setelah pemimpin dari komplotan yang membully-nya jatuh terjerembab ke tanah.
Keduanya berlari cepat menjauhi taman komplek perumahan. Si gadis kecil hanya mengikuti kemana cowok berseragam SMP itu menariknya pergi. Hingga akhirnya mereka berhenti di gerbang masuk komplek. Cowok itu melepaskan genggamannya dari lengan si gadis kecil.
Kemudian dengan gugup cowok itu berkata, "Makasih ya udah nolongin aku."
"Sama-sama. Kamu nggak apa-apa?" Tanya si gadis.
"Nggak apa-apa. Aku pulang ya." Cowok berseragam SMP itu hendak melangkahkan kakinya tapi berhenti saat gadis itu menanyakan namanya.
"Nama kamu siapa?" Seru gadis itu lantang ketika jarak dirinya dengan cowok itu telah terbentang jauh.
"Vi!" Kata cowok itu sambil menolehkan kepala ke belakang.
"Namaku Chloe! Kapan-kapan kita ketemu lagi ya, Vi!"
Cowok yang ternyata bernama Vi itu kembali melengang pergi dengan senyuman terhias di bibirnya. Pun begitu dengan Chloe yang tetap memandang punggung Vi yang perlahan kian menjauh dari indra penglihatannya.
***
"Tunggu. Jadi, lo itu Vi? Cowok yang dulu suka main bareng sama gue waktu SD?" Tanya Cindy berulang kali. Matanya berbinar takjub. Tampak tidak percaya dia bertemu lagi dengan cowok itu setelah sekian lama berpisah.
Taevin mengangguk. "Iya, ini aku. Kaget nggak ngeliat aku yang sekarang?" Ia bertanya malu, sangat menyadari perubahan drastis yang ada pada dirinya. Taevin yang dulu merupakan anak yang jelek, gendut dan penakut, sekarang dia telah berubah menjadi pria yang memiliki ketampanan di atas rata-rata, tubuh proporsionalnya menjulang tinggi dan menjadi primadona kaum hawa di kampus.
"Banget! Kemana aja lo selama ini? Kenapa dulu nggak bilang kalau lo mau pindah? Lo nggak tau gue sampai cariin lo kemana-mana?" Cecar Cindy senewen teringat bila Taevin dulu pindah rumah diam-diam tanpa mengatakan apapun padanya. Seketika Taevin termangu mendengar gerutuan Cindy. Ia kira cewek itu akan mengomentari perubahan penampilannya.
"Maaf. Dulu aku benar-benar nggak sempat kasih tau kamu." Taevin menunduk sedih.
Cindy buru-buru mengubah nada bicaranya. "Bukan salah lo juga. Dulu kan kita sama-sama masih minor. Mau komunikasi juga sulit karena teknologi belum secanggih sekarang." Ia mengambil jeda sebentar lalu melanjutkan ucapannya, "Sekarang lo tinggal di mana?"
"Sekarang aku tinggal di apart daerah Bintaro. Rumah kamu masih yang lama?" Taevin bertanya balik pada Cindy.
"Masih. Tapi, kok lo tinggal di apart? Keluarga lo di mana?"
"Keluargaku masih tinggal di Kebon Jeruk kok, Cin."
"Kebon Jeruk?" Ulang Cindy memastikan.
"Iya, dulu aku dan keluargaku pindah ke Kebon Jeruk."
"Kebetulan gue punya kedai Sushi Time di daerah sana. Kapan-kapan gue traktir sekalian main ke rumah lo dan ketemu sama orang tua lo. Udah lama banget gue nggak ketemu mereka," ujar Cindy bersemangat. "Ayah dan Mama lo sehat, kan?"
Taevin menarik senyum pedihnya sebelum menyahut pelan, "Mamaku udah meninggal."
"Innalillahi. Tante Yuna meninggal kapan? Kenapa?" Cindy tampak terkejut mendengarnya.
"Waktu aku kelas 3 SMA. Beliau mengidap kanker perut. Dan cuma aku satu-satunya di keluarga yang nggak tau akan hal itu." Taevin menjelaskan dengan suara serak. Seluruh tubuhnya bergetar saat harus bercerita tentang mendiang ibunya lagi. Pasalnya meski sudah tiga tahun berlalu, Taevin masih sulit menerima kenyataan bahwa ibunya sudah tidak ada lagi di sisinya.
Tangan Cindy terulur, bergerak menepuk-nepuk pundak Taevin kemudian membawa pria itu ke dalam dekapannya. Mendengar penuturan Taevin membuat dadanya ikut merasa sesak yang sama. Sebab, dulu Cindy cukup dekat dengan Yuna Larasati--ibu Taevin. Mendiang ibu Taevin kerap kali membuatkan makan siang untuk Cindy ketika gadis itu berkunjung ke rumah Taevin selepas pulang sekolah.
Dahulu, keluarga Adinata dan keluarga Aldebara sangat dekat berawal dari pertemuan Cindy dan Taevin di taman komplek perumahan. Jarak rumahnya dan rumah Taevin yang tidak terlalu jauh membuat Cindy sering bermain ke rumah Taevin. Terkadang gantian Taevin yang berkunjung main ke rumah Cindy. Oleh karena itu, tidak jarang Nadine--Mama Cindy--menitipkan Cindy kecil pada Yuna, yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri.
Sampai suatu hari Taevin dan keluarganya tiba-tiba pindah rumah tanpa memberitahu Cindy dan kedua orang tuanya. Kepergian Taevin sangat mendadak. Tidak ada tanda-tanda jika keluarga Taevin berniat pindah rumah. Cindy sangat terkejut mengetahui kepindahan Taevin saat ia menyambangi rumah cowok itu sepulang sekolah.
Beranjak lulus SD, Cindy menjadi siswi SMP. Mempunyai teman-teman baru serta pengalaman baru, akhirnya lama kelamaan membuat Cindy mulai dapat melupakan sosok Vi yang telah menemani masa kecilnya. Dan saat Cindy duduk di bangku SMA, ia dipertemukan dengan Jaka dan menjalin hubungan dengan laki-laki itu.
***
Sekali lagi Jimmy memastikan perlengkapan stok barang di tempat kerjanya sebelum ia menceklis buku laporan harian. Selanjutnya Jimmy melakukan operan dengan rekan kerja setelah jam shiftingnya berakhir. Melengang ke ruang ganti, Jimmy membuka lokernya dan hendak mengganti seragam dengan bajunya sendiri.
Tepat tatkala Jimmy selesai berganti pakaian, ponselnya bergetar dari dalam tasnya. Lantas Jimmy merogoh ponselnya. Dahinya sempat berkerut samar melihat nomor tak dikenal meneleponnya sebelum jemarinya menyentuh tombol berwarna hijau di layar. Ia berpikiran jika nomor tersebut berasal dari HRD perusahaan tempat ia melamar pekerjaan.
"Halo?" Sapa Jimmy setelah mengangkat telepon.
Hening tak ada jawaban selama beberapa saat.
Jimmy pun bertanya, "Halo, siapa ini?"
Tak berapa lama, terdengar sahutan dari si penelepon. "Jim, apa kabar? Ini gue, Jaka."
Tak pelak Jimmy sontak membulatkan matanya sempurna. Secara spontan ia melihat lagi nomor yang meneleponnya. Lalu kembali Jimmy tempelkan layar ponselnya di daun telinga.
"Nggak mungkin! Jaka udah meninggal setahun yang lalu!" Elak Jimmy tegas.
"Jimmy Bagaskara, gue nggak mungkin bohongin sahabat gue sendiri. Lega akhirnya gue bisa kasih kabar ke lo. Maaf karena udah bikin lo khawatir dengan berita kematian gue." Di sisi lain, Jaka menggenggam erat-erat ponselnya. Ia menelan ludah susah payah. Butuh tekad yang besar untuk menghubungi Jimmy. Dan, Jaka telah bertekad untuk kembali. Usai jeda beberapa saat, Jaka berujar lagi, "Jim, gue bisa minta tolong?"
Detik berikutnya Jimmy menyampirkan tas ranselnya di punggung lalu berlari cepat keluar kedai kopi tempatnya bekerja usai memasukkan ponselnya ke saku jaket. Kini, setelah mendapat panggilan telepon dari seseorang yang mengaku sebagai Jaka, Jimmy dengan cepat memercayai suara orang itu memang benar Jaka. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk kedua kalinya.
Ia harus segera bertemu Jaka bagaimanapun caranya. Pasalnya, setahun yang lalu Jimmy sempat tidak percaya pada berita kecelakaan Jaka yang beredar di media sosial. Sampai keesokan harinya ia mendapat kabar langsung dari Una.
Jimmy memacu motornya gila-gilaan. Tempat tujuannya sekarang adalah stasiun terdekat dari tempatnya saat ini. Mau tak mau ia harus memesan tiket kereta Jakarta-Bandung secara dadakan. Sebab, Jimmy enggan mengulur waktu lebih lama lagi. Hari itu juga Jimmy memutuskan pergi ke Bandung demi menemui Jaka.
***
Rahang Taevin mengeras begitu ia turun dari mobil. Tatapan matanya menyipit. Tampak mengilat marah. Niat hati pulang ingin langsung istirahat, tapi Taevin malah bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak ingin dilihatnya. Pria tampan itu berdiri tegak tepat di hadapan Taevin. Keduanya saling melemparkan tatapan intens.
"Mau sampai kapan lo tinggal di sini? Pulang, Ayah selalu nunggu lo di rumah." Pria itu adalah Tristan Aldebara, kakak kandung Taevin yang sekarang memegang jabatan sebagai Presdir ALD's Group.
Kontan Taevin berdecih tak suka mendengarnya. "Nggak salah? Bukannya gue biang kesialan buat kalian?"
"Vin, lo nggak kasian sama Ayah? Dia jadi nyalahin dirinya sendiri karena lo keluar dari rumah!"
"Dulu dia sendiri yang bilang nyesel punya anak kayak gue! Mama pun meninggal gara-gara gue!" Debat Taevin.
Tristan menghembuskan napas kasar sebelum berujar, "Mama meninggal karena sakit, Vin, bukan gara-gara lo."
"Kalau aja hari itu gue nggak berantem sama Mama, mungkin Mama nggak akan pergi lebih cepat." Kedua tangan Taevin mengepal erat. Kenangan pahit hari itu menghantam kepalanya keras. Seolah baru saja terjadi kemarin.
Kala itu Taevin masih duduk di kelas 3 SMA. Seleksi masuk perguruan tinggi akan diadakan sebentar lagi. Yuna menjadwalkan bimbel tambahan untuk Taevin di luar jam sekolah. Demi Taevin bisa lulus di jurusan yang didambakan Yuna, wanita itu rela mendaftarkan Taevin di tempat kursus dengan harga yang tidak murah.
Namun, hari itu Yuna mendapat kabar dari guru bahwa Taevin sudah tiga kali tidak masuk. Hal itu lantas membuat Yuna murka. Begitu Taevin pulang, masih mengenakan seragam SMA, Yuna melayangkan tamparannya tepat di pipi Taevin. Tanpa memberitahu lebih dulu masalahnya pada Taevin.
Kepala Taevin tertoleh ke samping setelah Mamanya menampar dirinya. Taevin menyentuh pipinya yang berwarna kemerahan sambil meringis menahan perih. Sedangkan Yuna menatap tajam Taevin dengan napas naik turun.
"Mama apa-apaan, sih?!" Protes Taevin tidak terima atas tindakan Mamanya.
"Kamu yang apa-apaan! Kenapa kamu bolos kursus? Barusan Mama dapet telepon kalau kamu udah tiga kali nggak ikut kelas!" Hardik Yuna dengan intonasi tinggi.
"Oh, itu ... kirain apaan," dengan santai Taevin malah mengeluarkan senyum remehnya.
"Ujian masuk universitas udah dekat, Vin. Jangan banyakin main! Kalau kamu nggak lulus jurusan Kedokteran, Mama lepas tangan sama kamu. Terserah kamu mau kuliah atau enggak!" Ancam Yuna pada anaknya. "SNMPTN aja kamu nggak lulus, masa ujian mandiri juga gagal? Mau jadi apa kamu!" Kata Yuna lagi. Kali ini ucapannya berhasil menancap di hati Taevin.
"Emang kata siapa aku bersedia ambil jurusan Kedokteran?" Balasan dari Taevin sukses membungkam Yuna. Kemudian Taevin melanjutkan lagi kalimatnya, " Itu kan cuma keinginan Mama yang pengen aku jadi dokter. Sedangkan aku nggak ada niatan bekerja di bidang itu. Aku udah besar, Ma. Udah bisa menentukan pilihan hidup aku sendiri!"
"Kamu nggak sopan ya sama orang tua balasnya begitu!" Kecam Yuna. Keringat dingin mulai mengalir dari kening wanita itu.
"Kenapa setiap aku mengeluarkan pendapat selalu dibilang nggak sopan sama orang tua? Apa anak cuma bisa nurut sama orang tua meski itu bertentangan sama kemauannya?" Pekik Taevin kencang, yang lantas mengundang perhatian Tristan yang baru saja menuruni anak tangga.
"Taevin! Jaga sikap lo!" Tristan berlari kecil menghampiri Mamanya dan Taevin yang masih bersitegang.
"Kenapa kamu nggak bisa contoh sikap kakak kamu?" Gumam Yuna. Diam-diam ia mulai menahan sakit di perutnya.
Taevin mendengus. "Tuh, ujung-ujungnya Mama cuma bisa membandingkan aku sama Tristan! Mama membebaskan Tristan memilih jurusan sesuai minatnya, sementara aku? Pilih kasih!" Selanjutnya Taevin memilih beranjak pergi melengang keluar dengan langkah cepat. Tak mengindahkan suara Yuna yang memanggil namanya. Dan, di detik berikutnya, setelah suara Yuna melemah, wanita itu kehilangan kesadarannya di pelukan Tristan.
***
"...Jak, ini elo?" Jimmy berulang kali mengucek kedua matanya dan menampar wajahnya sendiri untuk memastikan ia tidak bermimpi. Nyatanya, dia sedang tidak bermimpi sekarang. Laki-laki di hadapannya memang benar Jaka, sahabatnya.
"Iya ini gue, Jim. Udah lama kita nggak ketemu," sahut Jaka yang masih terduduk di kursi rodanya.
Jimmy lantas menghampiri Jaka cepat. Jaka merentangkan kedua tangannya siap menerima dekapan Jimmy. Alih-alih memeluk Jaka, Jimmy justru menoyor sebelah bahu Jaka sambil memasang ekspresi pura-pura merajuk.
"Lo nggak tau gimana kaget dan sedihnya gue denger kabar itu?" Cecar Jimmy.
"Sori, gue nggak bermaksud bikin lo sedih." Jaka mengulas senyum lelah di bibirnya.
"Terus kenapa lo dibilang meninggal waktu itu? Sebenarnya rencana apa yang lo sembunyiin dari gue, Jak?"
Jaka mengambil napas dalam lalu membuangnya perlahan sebelum ia bercerita kejadian yang sebenarnya pada Jimmy. "Gue emang dinyatakan meninggal di tempat setelah kecelakaan itu terjadi, tapi ajaibnya, Tuhan baik banget kasih gue kesempatan untuk hidup lagi ketika gue mau dimakamin."
"Lo pasti bercanda." Jimmy menggeleng tak percaya.
Belum sempat Jaka meneruskan ceritanya, Una tahu-tahu muncul dan berdiri di sisi kursi roda Jaka. "Aa nggak bohong. Kalau kamu nggak percaya, aku ada foto aa waktu dia dipakein kain kafan."
Penjelasan Jaka dan Una berhasil membekukan pergerakan Jimmy, bahkan Jimmy tidak lagi terasa dapat mengais oksigen lantaran cerita yang didengarnya sulit dipercaya bagi orang awam sepertinya. Sekaligus hati Jimmy berdebar lagi setelah sekian lama tidak melihat Aruna, gadis dambaan hatinya sejak SMA.
Una melemparkan senyum manisnya pada Jimmy seraya bertanya dengan suara lembutnya, "Apa kabar, Jim? Kamu masih sama ya kayak dulu."
Untuk kesekian kalinya hati Jimmy mencelos berkat kakak beradik itu.