Angin berhembus menyibak dedaunan yang gugur di tanah. Cuaca yang tadinya panas kini terasa sedikit sejuk lantaran terik matahari bersembunyi di balik awan. Menambah semangat bagi siswa-siswi kelas 12 SMA Nusantara yang hari ini melaksanakan upacara kelulusan di balai sekolah. Perayaan dibuat semewah mungkin. Semuanya berbahagia. Kecuali gadis yang baru saja turun dari mobil--Cindy Bella Adinata.
Cindy berdiri mematung di sisi mobil. Menatap lekat-lekat gedung SMA Nusantara yang selama 3 tahun ini memberikan banyak cerita baginya. Di sekolah ini pula, Cindy dipertemukan dengan cinta pertamanya, Jaka Saka Purnama. Tak ada yang merasakan betapa sedih kehilangan Jaka selain dirinya sendiri.
Berpacaran dengan Jaka membuat Cindy bahagia. Jaka sangat memahami dan memberikan segala yang Cindy butuhkan, yang tidak dapat Cindy terima dari kedua orang tuanya. Hanya Jaka, satu-satunya tempat Cindy bersandar dan berkeluh kesah. Kini sosok sandarannya telah hilang. Menyisakan duka mendalam yang tak pernah Cindy bayangkan sebelumnya.
Teringat kenangan tentang Jaka membuat Cindy meremas erat-erat rok kebayanya. Ia menggigit bibir bawahnya alih-alih menangis pasalnya Cindy tidak mau make up-nya luntur di upacara kelulusannya. Dan juga, Cindy berusaha menutupi perasaan sedihnya di hadapan Yerina yang telah meluangkan waktunya untuk menemaninya, menggantikan orang tuanya yang sibuk mengurusi pekerjaan.
"Cin, kok bengong? Ayo masuk." Yerina menyentakkan lamunan Cindy. Walau ditutupi bagaimana pun, kakak sepupunya itu tetap saja bisa membaca mimik wajahnya. "Lo ... keinget Jaka, ya?"
Cindy menengadahkan kepalanya, mengantisipasi cairan bening keluar membasahi wajahnya. Segaris senyuman tipis terlukis di bibirnya. "Gue kangen sama dia."
"Sini, gue peluk lo." Yerina merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Serta merta Cindy menyambutnya dengan menghamburkan dirinya ke pelukan Yerina. Satu tangan Yerina mengelus-elus punggung Cindy sedangkan tangannya yang lain memegang buket bunga cantik yang nanti akan dia berikan untuk Cindy.
"Yer ...," panggil Cindy.
"Hm?" Yerina melepas pelukannya demi melihat wajah Cindy.
"Makasih ya, lo selalu ada buat gue di saat Papa Mama gue nggak ada di sisi gue."
Kontan Yerina menyunggingkan senyumnya. "Anytime. Lagipula itu udah jadi kewajiban gue buat jagain lo karena orang tua lo juga udah menerima gue dengan baik untuk tinggal di rumah lo."
"Gue nggak tau deh kalau nggak ada lo. Mungkin gue udah nyusul Jaka dari kemarin-kemarin."
"Ssst! Don't say that! You are precious for people who love you, babe. Udah, jangan nangis, nanti make up lo luntur." Kedua tangan Yerina menyeka sudut mata Cindy yang sudah dipenuhi selaput bening. Kemudian Yerina memandang Cindy dari ujung kepala hingga kaki. Rambut Cindy yang dicepol sanggul dengan poninya yang dibiarkan menutupi dahi, make up tipis yang menambah kesan manis, ditambah kebaya modern berwarna peach dan terusan rok lilit batik menjadikan penampilan gadis itu seperti dewi yang turun dari istana langit. "Lo tau nggak? Hari ini lo cantik banget," puji Yerina kemudian.
Tak ayal Cindy tersipu malu mendengarnya. "Thanks."
***
Cowok berkulit maskulin itu menghirup dalam-dalam buket bunga yang baru saja dibelinya. Berhubung jadwal kuliahnya di siang hari, dia sudah berniat datang ke acara wisuda gadis tambatan hatinya. Sudah empat bulan tidak berjumpa rupanya membuat cowok itu merindukan gadis bawel yang selalu mengingatinya ini dan itu.
Tiba di SMA Nusantara, tempat di mana gadis itu bersekolah, cowok yang memiliki bibir sedikit tebal dan kemerahan itu, mengusap rambutnya ke atas. Menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba saja menderanya. Namun, sikapnya barusan malah membuat dirinya terlihat seksi lantaran jidatnya terekspos. Anak-anak SMA Nusantara yang berlalu lalang di sekitarnya pun mengenali cowok itu.
Jimmy Bagaskara, alumni SMA Nusantara yang dulunya anak beken di sekolah, sohib karibnya mendiang Jaka.
Tanpa mengulur waktu Jimmy tahu harus pergi kemana. Ia melangkah penuh percaya diri memasuki gedung balai wisuda anak kelas 12. Jimmy menghela napas pasrah begitu mengetahui bangku penonton telah terisi penuh. Hendak berjalan keluar, seorang gadis menunjuk bangku kosong di sebelahnya. Akhirnya Jimmy duduk di samping gadis itu.
"Terima kasih," ucap Jimmy.
"Don't mention it," sahut gadis itu.
"Lo datang ke sini buat siapa?" Tanya Jimmy basa basi.
"Adik sepupu gue. Kalau lo?"
Jimmy mengulum senyumnya. "Bisa dibilang, cewek spesial buat gue."
"Oh, gitu." Gadis yang duduk di samping Jimmy mengangguk.
Selanjutnya terdengar MC mengatakan bahwa satu persatu wisudawan dan wisudawati diperbolehkan naik ke atas podium untuk menerima ijazah serta penghargaan bagi murid berprestasi. Selang beberapa menit, tiba giliran Cindy yang naik ke atas podium. Nama lengkap Cindy dibacakan oleh MC, membuat gadis di sebelah Jimmy mengarahkan kameranya ke podium. Sontak hal itu mengundang rasa penasaran Jimmy.
"Lo kenal sama Cindy?" Tanya Jimmy seolah terkejut.
"Iya, Cindy adik sepupu gue," jawab Yerina sambil fokus memotret Cindy menggunakan kamera.
Jimmy terkekeh tanpa suara. "Ternyata dunia sempit ya."
"Maksud lo?"
"Pasti adik sepupu lo masih suka nangisin Jaka. Gue berharap dia bisa lupain Jaka."
Penjelasan Jimmy sontak mengalihkan atensi Yerina sepenuhnya. Gadis itu menyudahi kegiatan memotretnya dan menolehkan kepalanya pada Jimmy. "Gimana lo bisa tau?"
"Gue temannya Jaka. Sahabat dekatnya dari kelas 10. Gue tau banget kisah mereka berdua dari jaman SMA."
"Kalau lo temannya Jaka, pasti lo tau dong di mana makamnya Jaka," desak Yerina.
Jimmy menggeleng pasrah. "Enggak. Gue tau kabar Jaka meninggal setelah jenazahnya dibawa ke Bandung."
Selang beberapa detik Jimmy tersadar jika semua wisudawati telah melewati proses penerimaan ijazah di atas podium. Lantas dwinetranya bergerak perlahan mencari gadis yang dicarinya sambil tak sadar mulutnya berucap, "Kok Una nggak ada, ya?"
"Lo cari siapa?" Ulang Yerina memastikan pendengarannya.
"Oh, Una ... namanya Aruna Dewi Purnama, adiknya Jaka."
"Bukannya Una udah pindah ke Bandung?"
Seketika itu pula Jimmy terkesiap atas jawaban Yerina. "Pindah ke Bandung?"
"Yes. You don't know it?"
"No, I don't ...," balas Jimmy lemas seolah tak bertenaga.
Detik berikutnya Jimmy berlari pergi meninggalkan gedung balai wisuda. Buket bunga yang hendak ia berikan untuk Una terlepas dari genggaman. Ia ingin meyakini dengan mata kepalanya sendiri bahwa itu tidak benar. Pasalnya Una tidak mengatakan apapun tentang kepindahannya ke Bandung. Bahkan, ia masih sempat bertukar pesan dengan Una tiga hari lalu melalui akun media sosial. Una tidak mungkin setega itu kepadanya.
***
Pikiran Jimmy sungguh buntu tatkala menemukan fakta soal kepindahan Una dan keluarganya. Padahal selama ini komunikasinya dengan Una berjalan lancar. Bahkan, sampai-sampai Una mengiriminya pesan menggunakan nomor barunya. Jimmy tidak pernah menduga Una tega mengelabuhinya.
Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi. Pantas saja selama empat bulan ini Una tidak pernah mau menerima ajakannya untuk bertemu. Selalu saja ada alasan gadis itu menolak. Tidak menyerah, Jimmy mencoba menghubungi nomor baru Una ketika rumah gadis itu kosong tidak ada siapa pun sesampainya dia di sana.
Sialnya, panggilan telepon Jimmy justru terhubung ke operator. Menyatakan nomor Una sudah tidak aktif lagi. Namun, Jimmy mencoba cara lain. Ia membuka semua akun media sosial yang terhubung dengan Una. Cowok itu mengerenyitkan kening rapat-rapat saat mengetahui semua akun media sosialnya telah diblock oleh Una. Sontak Jimmy berteriak kesal melampiaskan kekecewaannya.
Alih-alih menujukan kemarahannya pada Una, Jimmy merasa menjadi laki-laki paling bodoh. Kemana saja dia selama empat bulan ini? Mengapa dia tidak menyadari kejanggalan yang ada? Jimmy juga merutuki dirinya yang terkesan tidak berjuang untuk gadisnya. Ini semua gara-gara kesibukannya di kampus dan kerja paruh waktunya. Belum lagi mengingat jarak rumahnya dengan rumah Una yang jauh.
***
Usai menyelesaikan rangkaian acara wisuda, Yerina menawari Cindy menjadi fotografer dadakan. Awalnya Cindy bersikeras menolak lantaran enggan berpose di depan kamera. Namun, Yerina terus-terusan membujuk Cindy agar mau difoto. Dengan harap-harap cemas Yerina mengerahkan segala alibinya untuk meluluhkan Cindy.
"Ayolah, Cin. Ini bakalan jadi kenang-kenangan buat lo. Masa sih lo nggak mau punya foto sewaktu kelulusan SMA? Lihat kanan dan kiri lo. Mereka, teman-teman angkatan lo, berlomba-lomba untuk mengabadikan momen."
Cindy mendesah pasrah, "Kan tadi lo udah foto gue di atas podium."
"That's totally different, babe! Look at my camera now! I will take some beautiful pictures of you." Yerina kemudian membidik kameranya ke arah Cindy. "Pegang buketnya yang benar dong, Cin. Terserah lo mau gaya apa," ujar Yerina lagi.
Mau tak mau Cindy mengikuti keinginan Yerina di mana dia sekarang berpose ala-ala candid. Sebenarnya Cindy termasuk gadis yang fotogenik. Gaya berbusananya juga mengikuti model-model OOTD masa kini. Ia juga mempunyai followers yang cukup banyak di instagram. Selain Jaka, banyak laki-laki yang naksir gadis itu. Entah kenapa, hati Cindy hanya terjatuh pada Jaka.
Akhirnya Yerina mengembangkan senyuman puas kala melihat hasil jepretannya sendiri. Malahan Yerina sampai membanggakan bakatnya dalam memotret. "Ini gue yang jago motret atau lensa kameranya yang bagus, ya?"
"Itu guenya yang cantik kali," ucap Cindy sambil berlalu. Menapakkan kedua kakinya yang mengenakan high heels menuju parkiran. Bukannya membalas dengan ledekan, Yerina justru melongo tidak percaya atas celetukan Cindy barusan. Bagaimana tidak? Cindy benar-benar kehilangan kebahagiaannya setelah kepergian Jaka empat bulan lalu. Dan baru ini kali pertama Yerina mendengar guyonan Cindy lagi.
"Tunggu gue!" Kemudian Yerina segera berlari kecil menyusul Cindy.
***
Tadinya Cindy berpikir dia akan baik-baik saja di hari spesialnya. Nyatanya, itu hanyalah ilusi belaka sebab tiba-tiba rasa rindu itu kembali menusuk relung hati Cindy. Yerina yang berniat langsung mengantar Cindy pulang justru memutar balik arah mobilnya menuju jalan di mana kecelakaan Jaka terjadi. Itu atas permintaan Cindy, yang tidak bisa Yerina tolak.
Beberapa saat setelahnya Cindy keluar setelah mobil Yerina menepi di sisi jalan raya. Berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri terdapat sebuah perempatan jalan yang menjadi saksi bisu kecelakaan Jaka. Masih mengenakan kebaya serta heelsnya, Cindy melangkah pelan menuju perempatan. Yerina mengikuti dari belakang.
Kini Cindy berdiri tepat di sisi jalan perempatan sambil tangannya mendekap erat buket bunga pemberian Yerina. Netranya menatap kosong aspal di depannya. Di sisi kanannya berdiri kokoh sebuah pohon besar dan lampu lalu lintas. Banyak kendaraan yang melintas di hadapannya. Tepat tatkala sebuah truk melewati dirinya, Cindy sontak berjongkok.
Gadis itu tidak mungkin lupa bagaimana Jaka kehilangan nyawa. Kecelakaan itu terjadi karena motor Jaka ditabrak oleh truk di perempatan jalan ini. Lantaran teringat cerita menyakitkan itu membuat Cindy menumpahkan tangisnya. Tak memedulikan pengendara motor maupun mobil yang mulai menatap simpati kepadanya.
Sementara itu di sisi lain, sebuah mobil mewah berhenti tepat di perempatan itu karena lampu lalu lintas berganti warna merah. Sang pengemudi mobil itu sedang bercengkrama sembari bercanda dengan seorang perempuan yang duduk di kursi penumpang sebelah kiri. Selanjutnya pria itu mengambil tangan perempuan itu lalu mencium punggung tangannya sebelum akhirnya dia mendapati seorang gadis yang sangat dikenalnya tengah menangis dengan posisi jongkok di pinggir jalan.
Tak ayal pria itu melepas tautannya dari tangan wanita yang jalan dengannya. Kedua mata pria itu terus terfokus pada Cindy yang masih terlihat bersedih. Atensinya sepenuhnya teralihkan pada Cindy. Sampai-sampai ia melupakan wanita yang mulai memanggil namanya berulang kali.
"Taevin! Kamu lihatin apa sih, Taev?" Wanita tersebut mengguncang bahu kiri Taevin.
Lantas Taevin tersentak, "Eh? Nggak, kok. Aku cuma lagi lihat lampu merah."
"Ngelihatin lampu merah sampai segitunya!" Si wanita mulai memasang tampang bete.
"Airin sayang ... kamu lucu deh kalau lagi ngambek." Taevin membelai wajah jutek Airin.
"Tau ah! Baru kemarin kamu kepergok jalan sama cewek lain, sekarang bikin aku emosi lagi!" Sindir Airin. Alih-alih menyahuti omelan Airin, justru Taevin kembali mengarahkan fokusnya pada Cindy bertepatan dengan lampu lalu lintas telah menunjukkan warna hijau.
Kepala Taevin tertoleh ke kanan begitu mobil yang dikendarainya melewati gadis yang dulu pernah menabrak mobilnya. Bahkan, bukannya ganti rugi, Taevin malah mengantar gadis itu sampai ke Bandung karena kekasihnya meninggal. Setelah itu, Taevin tidak bertemu dengan Cindy lagi. Bodohnya, Taevin lupa tidak menanyakan nomor gadis itu.
Pikiran Taevin entah mengapa terus-terusan tertuju pada Cindy. Padahal belum pernah Taevin dibuat sedemikian gila pada seorang gadis. Sejujurnya setelah pertemuannya dengan Cindy, Taevin melakukan segala upaya untuk bertemu dengan gadis itu lagi. Taevin juga telah memfollow akun instagram Cindy dan mengiriminya DM, tapi sama sekali tidak ada tanggapan dari gadis itu.
Dari sekian banyak perempuan yang ditemuinya, baru kali ini Taevin merasa kesulitan mendekati seorang gadis. Biasanya para perempuan yang lebih dulu mendekatinya. Termasuk gadis yang kini duduk di kursi sampingnya, Airin Claudia.
Mobilnya sudah bergerak menjauh beberapa ratus meter dari posisi Cindy tapi Taevin tidak juga dapat mengenyahkan Cindy dari otaknya. Lantas, Taevin bertindak di luar dugaan. Ia menghentikan mobilnya begitu saja di pinggir jalan, tepat di seberang halte busway Transjakarta. Tiba-tiba ia meminta Airin keluar dari mobilnya.
"Kamu turun di sini ya."
"Loh, Taev? Kok gitu?
"Kamu pulang naik busway aja. Nanti biaya busway dan ojolnya aku ganti. Aku lupa tadi Mamaku minta jemput," dusta Taevin beralibi.
"Kan bisa bareng aku sekalian aku kenalin diri aku ke Mama kamu." Airin tidak setuju dengan permintaan Taevin.
"Nanti kalau kamu ketemu Mamaku dan Mamaku malah interogasi kamu gimana? Yang ada kamu malah terpojokkan. Mamaku itu tegas banget kalau aku jalan sama cewek," bohong Taevin lagi. Padahal, ibu Taevin telah lama meninggal. Dan Taevin tidak pernah menyinggung soal kehidupan privasinya pada cewek-cewek kenalannya.
"Yah ... yaudah deh, oke." Dengan pasrah Airin membuka seatbelt yang terpasang di tubuhnya.
"Kamu ada kartu e-money kan buat ngetap busway?" Tanya Taevin menunjukkan rasa pedulinya.
"Ada! Udah deh, bye!" Airin membuka pintu mobil, keluar, lalu menutup pintu dengan sedikit membantingnya. Detik berikutnya Taevin menjalankan mobilnya kembali menjauh dari Airin. Meninggalkan Airin yang sudah di puncak tingkat emosinya.
***
Taevin telah kembali ke tempat di mana tadi dia melihat Cindy yang tengah menangis. Keluar dari mobilnya, cowok itu langsung berlari mencari Cindy. Dwinetranya bergerak liar menatap kesana kemari demi menemukan gadis itu. Tidak kunjung menyerah, Taevin pun menanyai keberadaan Cindy pada orang-orang yang lewat di jalan itu.
Hasilnya nihil. Sebab tidak ada yang tahu kemana Cindy pergi. Lalu, Taevin tidak sengaja menemukan sebuah buket bunga tergeletak di trotoar jalan. Buket bunga yang sebelumnya dilihat Taevin ada pada Cindy. Meraih buket bunga tersebut, secarik kertas yang terselip di antara bunga mengundang rasa penasaran Taevin. Alhasil Taevin membuka kertas itu lalu membaca sepenggal kalimat yang ditulis dengan pena di atasnya.
Hai Jaka,
Sedang apa kamu di atas sana? Aku merindukanmu. Apa kamu juga merindukanku?
Tiada hari tanpa rindu sama kamu. Sampai detik ini aku masih belum bisa mengikhlaskan kamu pergi. Maaf ya kalau aku egois.
Tuhan, aku titip Jaka ya. Jangan buat dia sedih karena aku. Semoga kamu beristirahat dengan tenang. Di sini, aku akan mencoba untuk bangkit, berjuang agar terbiasa tanpa kehadiran kamu.
Sincerely yours,
Cindy.
Sepenggal kalimat yang diyakini Taevin merupakan tulisan Cindy itu berhasil meremukkan hati Taevin tanpa sebab. Namun, Taevin mencoba menerima bahwa Cindy masih belum bisa melupakan cowok bernama Jaka sepenuhnya. Lantas ia mengerti, mengapa Cindy terkesan cuek dan jauh untuk ia gapai.
Dikeluarkannya sebuah kartu nama dari dalam dompetnya. Taevin sengaja menyimpan kartu nama ini dari sang pemilik. Hanya KTP gadis itu yang dia kembalikan. Beruntungnya, Cindy juga tidak ingat kalau dia juga memberikan kartu namanya pada Taevin sebagai jaminan ganti rugi.
Hati Taevin terus berkecamuk. Kemudian batinnya menegakkan satu keyakinan teguh dalam dirinya. Bahwa dia harus mendekati Cindy, berusaha semampu dirinya untuk mengembalikan kebahagiaan gadis itu. Setelah bertahun-tahun lamanya terpisah, Taevin ingin putri keluarga Adinata itu mengingat dirinya kembali.
"Cin ... kenapa kamu sekarang susah untuk aku gapai?" Gumam Taevin pasrah.