Sudah 10 bulan berlalu sejak insiden kematian Jaka. Meskipun begitu, bagi orang yang ditinggalkan harus tetap menjalani sisa hidup. Selagi masih bernapas, Cindy mencoba bangkit tanpa kehadiran Jaka lagi.
Awalnya memang sulit. Tangis Cindy bisa tiba-tiba pecah ketika dia tak sengaja mengingat Jaka atau melihat sesuatu yang berhubungan dengan lelaki itu. Lama kelamaan, Cindy terbiasa dengan kesendiriannya itu.
Biasanya ada Jaka yang memotivasinya untuk belajar, atau Jaka yang memarahi Cindy ketika gadis itu lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuka media sosial atau menonton youtube.
Kini Cindy telah lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Sebelum Ujian Nasional dimulai, tanpa disuruh belajar oleh orang tuanya, Cindy sudah lebih dulu mempelajari soal-soal ujian. Sampai-sampai Papa dan Mamanya heran dengan tingkah Cindy yang tidak biasa.
Yerina menyadari perubahan sifat Cindy. Dia bersyukur karena adik sepupunya itu akhirnya bisa berdamai dengan kenyataan. Yerina sangat tahu bagaimana proses Cindy berusaha bangkit dari keterpurukan.
"Aku udah jadi mahasiswa loh. Aku ambil jurusan yang aku mau. Kamu bangga kan sama aku?" Ucap Cindy pada potret Jaka yang masih tersimpan di ponselnya. "Maafin aku ya belum sempat berkunjung ke makam kamu. Habisnya, nomor Una udah nggak aktif. Semua akun medsos aku juga diblock sama Una. Dia kenapa, ya? Apa dia masih marah sama aku karena waktu itu aku nggak jawab telepon dia?" Cindy terus bermonolog seolah dia sedang berbincang dengan Jaka. "Aku juga udah coba buat hubungin orang tua kamu tapi sama aja ... Ayah dan bunda kamu sepertinya udah ganti nomor."
Selanjutnya tak ada lagi cerita yang terlontar dari mulut Cindy. Gadis itu memandangi potret Jaka dengan penuh kerinduan, sambil tangannya mengelus layar ponselnya yang masih memajang foto lelaki itu. Cindy baru menyadari satu hal. Ternyata cintanya masih sama. Sesak itu masih ada. Belum sepenuhnya sirna walau waktu merenggut kenangan darinya.
***
Jam dinding masih menunjukkan pukul 6 tapi Cindy sudah duduk di ruang makan. Dengan santainya gadis itu menyantap roti panggang yang tersaji di hadapannya sambil melihat-lihat akun instagram. Sesekali ia meneguk susu yang juga tersedia di atas meja.
Tuan Prabu dan Nyonya Nadine baru saja selesai siap-siap berangkat kerja. Ya, kedua orang tua Cindy memang masing-masing memiliki pekerjaan. Meski Prabu seorang pengusaha sukses, dia tidak membatasi istrinya untuk melanjutkan karir. Nadine--Mama Cindy--merupakan direktur di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan.
"Selamat pagi, Om dan Tante," sapa Yerina ketika ia baru saja tiba di meja makan.
"Pagi, sayang." Nadine membalas sapaan Yerina. Mama dan Papa Cindy memang telah menganggap Yerina sebagai anak sendiri.
"Kamu hari ini ada kuliah juga ya, Yer?" Tanya Prabu Adinata.
"Iya, Om," jawab Yerina setelah duduk di kursi sebelah Cindy.
"Nah, kebetulan Cindy juga mau berangkat kuliah. Kalian satu kampus, kan? Gimana kalau kamu berangkat bareng Cindy?" Usul Prabu.
Belum sempat Yerina menyahut, tanpa memalingkan atensinya dari layar ponsel, Cindy mengangkat tangannya. "Yerina naik mobil aku aja. Aku udah pesen okejek."
Lantas alis Nadine saling bertaut. "Cindy, nanti kalau kamu kepanasan gimana?"
"Enggak lah, Ma. Kan masih pagi." Cindy memasukkan ponselnya ke saku outer yang dikenakannya. "Aku malas kalau otw naik mobil. Macetnya nggak nahan." kemudian Cindy menyerahkan kunci mobilnya pada Yerina. "Nih, Yer. Pakai aja."
"Kenapa lo nggak bareng gue aja, sih? Cancel aja okejek lo," ujar Yerina cemberut.
"Nggak bisa, Yer. Abangnya udah masuk komplek perumahan kita," tolak Cindy.
Prabu dan Nadine tidak dapat menahan keinginan sang anak. Keduanya menghembuskan napas pasrah. Sebab, suami istri itu paham betapa keras kepalanya Cindy.
Detik berikutnya Cindy terlonjak kala mendapati notifikasi bila ojek online pesanannya telah tiba di depan rumah. Lantas, Cindy dengan cepat menyampirkan tas backpack ke punggungnya, pamit pada kedua orang tuanya, lalu melambaikan tangan pada Yerina.
"Dah, Pa, Ma! Sampai ketemu di kampus, Yer!" Dengan tergesa Cindy berjalan menuju pintu keluar.
Tak berapa lama ia menutup pagar sebelum menaiki motor abang okejek.
"Universitas Kartanegara ya, Neng?" Seorang pengemudi okejek paruh baya mengangsurkan helm pada Cindy.
"Iya, Pak." Cindy segera menerima uluran helm dan segera memakainya di kepala. Si bapak okejek pun mulai mengemudikan motornya menjauh dari pekarangan rumah Cindy.
***
Sepertinya Cindy lain kali harus mendengarkan nasehat Papa dan Mamanya. Pasalnya motor bapak okejek yang dinaikinya tiba-tiba saja mogok setelah melewati perempatan lampu merah. Alhasil ojek yang ditumpangi Cindy berhenti di pinggir jalan.
Selagi bapak okejek mencari tahu penyebab motornya mogok, berkali-kali Cindy melirik jam yang melingkar di pergelangannya. Jarum jam telah menunjukkan pukul 6.45. Kedua kaki Cindy bergerak tak beraturan, ia menggigit jarinya, panik.
Bagaimana tidak? Kelasnya dimulai pukul 8. Dan dia sama sekali belum mengerjakan tugas mata kuliah Filsafat Seni. Belum lagi, jarak dari rumah ke kampus memakan waktu sekitar 1 jam. Itulah sebabnya mengapa Cindy pergi ke kampus lebih pagi dan menaiki ojek.
Tak dapat dipungkiri Cindy menahan kemelut kegelisahan saat menunggu pengemudi okejek membetulkan motornya. Bapak ojek tersebut mencoba menyalakan mesin motornya dan menstaternya berkali-kali. 5 menit, 10 menit, sampai 15 menitan Cindy tetap diam di tempat hingga akhirnya motor bapak itu dapat menyala lagi.
Seharusnya Cindy bisa membatalkan perjalanannya lalu memesan pengemudi okejek yang baru. Namun Cindy mengurungkan niatnya setelah melihat perjuangan bapak itu dalam membetulkan motornya. Apalagi perawakan bapak okejek yang mengantar Cindy sudah berusia lebih dari setengah abad, hati kecil Cindy jadi tidak tega menunda rezeki yang seharusnya menjadi milik bapak tersebut.
Dan tepat pukul 08.10 Cindy tiba di kampusnya--Universitas Kartanegara. Bukan tanpa alasan Cindy memilih kampus ini menjadi tempat selanjutnya bagi gadis itu untuk menimba ilmu. Sebab dulu Jaka berkuliah di sini. Sewaktu masih ada, Jaka sering bercerita kesehariannya menjadi mahasiswa di kampus ini. Setelah melakukan research, jurusan yang diminati Cindy rupanya termasuk ke dalam jurusan kategori favorit--Jurusan Seni Tari dan Musik.
Sejak duduk di bangku SD Cindy memang gemar menari dan bernyanyi. Ia juga suka mengikuti kontes menari tradisional maupun modern dari sekolah. Banyak penghargaan yang telah ia raih berkat bakat yang ia miliki. Beruntungnya, Papa dan Mamanya sangat mendukung kegemaran anaknya itu. Meski keduanya sama-sama sukses dengan karir yang mumpuni, namun mereka tidak membatasi Cindy dalam memilih jurusan kuliah.
Gadis itu langsung berlari menuju kelasnya begitu turun dari motor. Ia mengambil langkah cepat menaiki anak tangga. Sialnya, mata kuliah Filsafat Seni diadakan di kelas yang terletak di lantai 3. Mau tak mau Cindy mengerahkan seluruh tenaganya agar segera sampai kelas. Ia sudah sangat terlambat bila menaiki lift.
Benar saja dugaan Cindy. Dosen pengajar sedang menerangkan materi dengan PPT dan proyektor yang diarahkan ke papan tulis, sedangkan para mahasiswa tengah fokus menyimak penjelasan dosen sambil ada beberapa yang mencatat tatkala Cindy membuka pintu kelas. Sontak Cindy langsung menjadi pusat perhatian karena bunyi pintu yang berdecit.
"Maaf saya terlambat, Pak. Tadi ban mobil saya bocor di jalan," kata Cindy berbohong lalu berjalan menghampiri meja dosen.
"Baik, silakan duduk." Bapak Warto selaku dosen Filsafat Seni memperbolehkan Cindy duduk. Namun, sepersekian detik kemudian Bapak Warto sukses membekukan pergerakan gadis itu. "Cindy, kumpulkan tugas yang saya berikan minggu lalu."
Dengan agak ragu Cindy balik badan menghadap Pak Warto. Otaknya berpikir keras mencari alasan yang tepat untuk menjawab. "Engg ... saya kemarin-kemarin sempat sakit, Pak, jadi saya nggak ingat kalau ada tugas."
"Nggak ingat kamu bilang? Kamu ini udah mahasiswa bukan anak SMA lagi! Seharusnya mahasiswa kayak kamu sudah bisa lebih disiplin dibanding anak SMA! Keluar kamu, saya tidak suka ada anak yang menyepelekan mata kuliah saya," omel Pak Warto berapi-api.
"Baik, Pak. Saya permisi." Tanpa mengulur waktu Cindy lebih memilih keluar ketimbang berlama-lama di dalam kelas di mana ia menjadi atensi utama bagi para mahasiswa.
Dengan langkah gontai Cindy menyusuri koridor Fakultas Bahasa dan Seni. Kepalanya tertunduk lesu sepanjang melewati koridor. Napasnya masih sedikit terengah mengingat ia tadi berlari menaiki tangga dari lantai 1. Kalau tahu begini, sebaiknya tadi Cindy tidak usah sekalian saja masuk kelas dengan alasan sakit. Dapat dipastikan nilainya terancam turun nanti.
Cindy terus menapakkan kaki menuju kafetaria kampus. Berhubung setelah ini ada mata kuliah lagi, ia memutuskan menunggu di kafetaria sembari jajan makanan dan minuman. Kafetaria Universitas Kartanegara terbilang cukup luas. Banyak jajanan yang bisa ia cicipi. Selain itu, terdapat wifi yang menunjang para mahasiswa untuk menghabiskan waktu istirahat atau sekadar berkumpul bersama teman-teman selepas kuliah.
Ibaratnya, kafetaria merupakan surga bagi para mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa yang lebih memilih mengerjakan tugas di kafetaria dibanding di perpustakaan.
Tiba di koridor yang menghubungkan dengan kafetaria, tahu-tahu Cindy dikejutkan dengan drama romantisasi ala anak kuliahan. Di depannya tampak seorang gadis sedang mengulurkan sebuah goodie bag berlambangkan logo produk barang mewah pada laki-laki yang memasang tampang datar. Tepat ketika melihat sosok laki-laki itu, spontan Cindy menutup mulutnya dengan tangan sambil bergumam pelan, "Cowok itu ...,"
Sementara itu, gadis yang berniat memberikan hadiah pada laki-laki tersebut menatap penuh harap. "Taevin, aku mau kita balik kayak dulu. Aku masih sayang sama kamu. Jangan tinggalin aku, Vin."
"Lo kasih barang mahal itu ke gue demi lo balik sama gue? Lo nggak malu sama harga diri lo?" Kemudian Taevin mengumbar senyum miringnya. "Iya sih, harga diri lo udah nggak ada. Kita kan udah sering ngelakuin 'itu' bareng."
"Aku udah kasih semuanya buat kamu tapi kenapa kamu tega buang aku gitu aja?" Gadis itu nyaris terisak.
"Karena gue udah hilang rasa sama lo, Airin," balas Taevin sarkas.
Kemudian tatkala Taevin hendak berjalan pergi, matanya tidak sengaja bertemu dengan Cindy. Cewek itu berdiri beberapa meter dari tempat ia dan Airin berdiri. Dalam sepersekian detik raut wajah Taevin yang tadinya mengeras kini berubah drastis. Sorot matanya langsung meneduh, menunjukkan kerinduannya pada Cindy.
Tentu saja Taevin terkejut lantaran mengetahui bila Cindy ternyata berkuliah di kampus yang sama dengannya, tetapi ia juga diam-diam merutuki kesialannya atas situasi ini. Seharusnya ia bertemu gadis itu di tempat dan waktu yang tepat. Bukan di sini, ketika Taevin berseteru dengan Airin. Sekarang Cindy jadi tahu betapa bajingan dirinya.
"Eh, sori, gue mau ke kafetaria tapi ternyata ada kalian," ujar Cindy tidak enak hati karena merasa sudah menguping pembicaraan yang seharusnya tidak ia dengar.
Dengan cepat Taevin mencengkram pergelangan tangan Cindy yang hendak meneruskan jalannya menuju kafetaria. "Bisa ikut aku sebentar?"
"Mau ngapain?" Cindy menaikkan satu alisnya.
"Ada yang mau aku bicarain sama kamu."
"Kayaknya nggak ada hal yang harus kita bicarain. Urusan gue sama lo kan udah clear, gue juga udah ganti rugi sama lo." Sesekali Cindy mengarahkan matanya pada Airin, yang melayangkan tatapan tidak suka padanya.
"Plis, Cin ...," pinta Taevin memohon.
Detik berikutnya Cindy paham bila Taevin ingin segera keluar dari situasi tidak mengenakkan ini. Lantas gantian Cindy yang menarik lengan Taevin dan membawanya pergi dari hadapan Airin. Sampai akhirnya mereka berhenti di depan kedai dimsum langganan Cindy.
"Makan dulu, yuk. Dimsum Mang Otoy enak banget. Lo harus coba," kata Cindy yang tidak mengindahkan ekspresi bahagia Taevin yang sedari tadi mengulum senyum. Cindy malah sibuk memesan dimsum dan minuman pada Mang Otoy.
"I'm happy to meet you again," ucap Taevin dengan nada tulus.
Tidak ada kata yang keluar dari mulut Cindy selain gadis itu hanya mampu terdiam. Segaris senyuman tipis pun terukir di bibir Cindy sebagai balasan ucapan Taevin.
***
"Kayaknya lo terlalu kasar sama cewek tadi," celetuk Cindy membuka pembicaraan. Ia dan Taevin duduk berhadapan di kafetaria. Menunggu pesanan dimsum diantar oleh Mang Otoy.
"Dia bukan cewek aku lagi," sanggah Taevin.
"Gue nggak peduli dia cewek lo atau bukan, tapi bukankah lebih baik lo minta maaf sama dia?" Usul Cindy memberi saran.
Kedua tangan Taevin saling bertaut dengan siku bertumpu di atas meja. Pandangannya lurus ke depan menatap Cindy. "Daripada bicarain masalah ini, aku penasaran akan satu hal."
"Apa?"
"How are you, Cindy? And how's your day? Apa kamu udah bisa move on?" Taevin melontarkan pertanyaan dengan sungguh-sungguh. Sebab ia sudah lama menanti momen seperti ini. Bertemu kembali dengan gadis yang dulu pernah menjadi cinta pertamanya sewaktu kecil.
Lantas Cindy mendengus. "Lo bisa banget ngalihin topik pembicaraan. Gue tebak, lo udah ahli dalam hal deketin cewek."
Bergeming sesaat, Taevin pun mengurai senyum samarnya. "Kebalik, Cin. Yang ada mereka duluan yang deketin aku. Kamu nggak sadar dari tadi cewek-cewek itu ngeliat ke arah kita?" Taevin mengedikkan dagu, menunjuk lima wanita yang duduk di bangku belakang Cindy.
Sontak Cindy menelan salivanya begitu ia menolehkan kepala ke belakang. Tidak segan, mereka seolah memperingatkan Cindy melalui tatapan sinis. Lalu satu tangannya ia tutupi di sisi wajah. Tiba-tiba Cindy merasa menyesal telah mengajak Taevin makan bersama di sini. Lebih baik tadi dia tidak usah membantu cowok itu.
"Nggak usah takut. Kamu aman sama aku," gumam Taevin pelan.
"Siapa yang takut? Enak aja!" Elak Cindy seraya memundurkan kepalanya dari Taevin.
"Aku bisa liat dari ekspresi kamu kalau kamu takut diapa-apain sama mereka."
"Nggak tuh! Yang ada, lama-lama gue takutnya sama lo!" Tukas Cindy. Lontaran kalimat Cindy sukses menyindir Taevin secara halus.
Tahu-tahu tanpa terduga Taevin bangkit dari kursi, berjalan memutari meja, lalu berdiri di sisi Cindy. Tangan kanan Taevin berpegangan pada sandaran kursi yang diduduki Cindy sementara satu tangannya bertahan di sisi meja. Lelaki itu dengan sengaja sedikit membungkukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Cindy.
"Sekarang kasih tau aku, kenapa kamu takut sama aku? Apa karena kamu dengar omongan aku sama Airin?" Tuding Taevin dengan suara baritonnya yang entah mengapa terdengar memabukkan di telinga Cindy. Lantas Cindy menahan napas selagi wajah Taevin tepat di depan matanya. Ia juga bisa merasakan hidungnya yang bersentuhan dengan hidung cowok itu.
"Bukannya udah jelas? Kalau lo nargetin gue untuk jadi korban lo selanjutnya, sorry to say, mending lo cari cewek lain yang bisa lo mainin sesuka hati!" Cindy dengan cepat mendorong Taevin yang masih mengungkung posisinya setelah ia mendapatkan kembali keberaniannya. Selanjutnya gadis itu mengambil tasnya dan hendak meninggalkan Taevin bertepatan dengan Mang Otoy yang mengantarkan dimsum pesanannya. Dengan tampang masa bodo, Cindy tak mengacuhkan tatapan bingung Mang Otoy. Ia melengang pergi begitu saja.
"Cindy Bella Adinata."
Taevin menyerukan nama gadis itu dengan lantang. Serta merta langkah Cindy berhenti tanpa membalikkan posisi tubuhnya menghadap Taevin. Kini hampir semua pasang mata memandang ke arah Cindy. Rasanya Cindy ingin menghilang dari sana detik itu juga.
"Aku cuma mau tau kabar kamu. Dan sekarang aku lega karena kamu udah nggak sesedih dulu," lanjut Taevin lagi.
Seolah tak mempan, Cindy tetap melanjutkan jalannya menuju pintu keluar kafetaria. Meninggalkan Taevin yang setia memandang punggung Cindy, yang semakin menjauh dan hilang di balik sekat.
***
Terduduk seorang laki-laki di atas kursi roda yang menghadap ke arah hijaunya hamparan sawah. Laki-laki itu menengadahkan kepala. Memandang cerahnya langit yang berwarna kebiruan. Gumpalan-gumpalan kapas putih tak luput dari indra penglihatannya. Kemudian ia menghirup napas sedalam-dalamnya. Merasa bersyukur atas kesempatan hidupnya yang kedua.
Ya, laki-laki itu pernah mati, namun ajaibnya ketika seluruh tubuhnya sudah dibungkus dengan kain kafan dan siap untuk dibawa menuju pemakaman, dia bangun dari kematian.
"Aa mau masuk atau masih mau di sini?" Tanya Aruna, gadis yang bersiap mendorong kursi roda kakaknya.
Laki-laki itu menggeleng pelan lalu berujar, "Aku mau ke Jakarta, Na."
"Aa ...," lirih Una.
Sungguh, ia tak kuasa menahan pilu mendengar permintaan Jaka yang kerap kali meminta kembali ke Jakarta. Akan tetapi, Una tidak dapat berbuat apa-apa. Pasalnya kedua orang tuanya tidak mengizinkan mereka ke Jakarta. Belum lagi kondisi Jaka yang berbeda dari beberapa bulan lalu. Kedua kaki Jaka tidak dapat digunakan lagi pasca kecelakaan yang sempat membuat nyawanya terenggut.