Setahun sudah sudah aku menjalani hidup sendirian tanpa seorang suami ataupun kerabat disisiku. terkecuali, mantan mertua yang selama ini aku anggap sebagai ayah dan ibuku sendiri. serta mbok inah dan pak tarno yang selalu ada setiap waktu untukku yang selalu menghiburku.
Selain menjadi manager, Sejak saat itu aku merintih hidup dengan menjadi wanita karir, aku memulai usaha buka butik khusus para wanita dengan berbagai merk. Disanalah keseharianku setiap pulang dari kantor. Ditempat itu aku merasa lebih nyaman lagi dan merasa terhibur, karena seringkali ada pengunjung yang terkesan kocak saat memilih pakaiannya, karena tak muat di badan nya yang terlalu kegedean di banding bajunya. Hal kecil seperti itu yang cukup membuatku senang dan bahagia. Bukannya aku tak nyaman saat berada di kantor, tapi mungkin bila disini lebih banyak berkomunikasi dengan para pelanggan dan pegawai toko ini. Dibanding dengan di kantor yang cenderung harus fokus pada pekerjaan. Hal itu membuatku semakin jenuh.
Pada saat aku sedang berada di butik, telepon yang aku genggam seketika berbunyi. Ada panggilan dari kantor yang mengharuskan aku pergi untuk meeting penting dengan klien.
"Cin, tolong jaga butik ini sebentar, saya ada urusan. Nanti, saya balik lagi kesini," titahku pada salah pegawai kepercayaanku.
"Baik, Bu." Dia mengangguk sarayal tersenyum manis kepadaku.
Cindy adalah salah satu karyawan yang paling dekat denganku. Dia adalah orang yang baik, sopan, terkadang dia terkesan lucu. Dia berasal dari keluarga sederhana. Dia juga pernah menikah. tapi sayangnya, keluarga kecil yang ia bangun, harus berakhir secepat itu, hanya karena terhalang restu orang tua.
Cindy memang kerap dipanggil pelakor, saat dia sedang bekerja disini, oleh dua orang perempuan yang datang mengunjungi butikku ini. wanita paruh baya dan yang satunya lagi, masih muda. ia dibentak, dimarahi, sampai ia terjungkal ke lantai. Waktu itu aku segera menolongnya dan membangunkannya. Dan berusaha untuk memperjelaskan apa permasalahan yang sebenarnya. Tapi Kedua perempuan itu tetap kekeh, memanggil Cindy sebagai pelakor.
Sejak saat itulah, aku dan Cindy mulai akrab seperti dua sahabat. Kami dipertemukan dalam sesuatu hal yang hampir sebanding dengan kondisi yang cukup sama. Kami sama-sama dikhianati. Berhubung dengan ucapan kedua wanita itu, aku pun penasaran. kenapa mereka mengatakan bahwa Cindy seorang pelakor. Aku pun bertanya kepadanya, karena aku tak ingin punya karyawan seperti itu. Aku sangat benci yang namanya PELAKOR aku sudah banyak trauma mengenai kata tersebut.
Setelah ku tanya, dia langsung menjelaskan semuanya padaku. Tadinya aku sudah ragu sama dia, tapi berkat penjelasannya, akupun percaya. Bahwa dia hanyalah ditipu oleh pacarnya sendiri dan setelah menikah baru terbongkar kalau dia sudah beristri. Dan dua orang tersebut adalah ibu mertua dan istri suaminya waktu itu. Makanya dia dibilang sebagai pelakor. Tapi aku salut sama dia, dia bisa sabar tanpa mengeluh menjalani takdirnya. Perasaan sakit dan pengkhianatan yang ia rasakan ia tepis dengan senyuman serta doa yang ia lontarkan setiap malam, kepada tuhan yang maha esa.
Aku bergegas pergi untuk meeting bersama klien di sebuah kafe yang berada cukup jauh dari dini. Ketika sedang di perjalanan ke cafe tersebut, Rany menelponku. katanya dia sudah menunggu di kafe itu terlebih untuk menyambut klien, agar mereka tak marah. Karena mereka sudah cukup lama menunggu di disini.
Setelah beberapa menit, aku pun sampai. Dengan segera aku masuk kedalam cafe tersebut dan bertemu dengan mereka.
Setelah dua jam kami meeting, akhirnya selesai juga. Dengan wajah dan hati yang senang, karena telah berhasil dalam bisnis yang telah aku dan pak Ariya rancang selama ini. Setelah mendengar ini, papa pasti akan senang. Uzur hatiku.
Waktu menunjukkan sudah pukul dua sore, Rany harus cepat-cepat pergi lagi ke kantor. Tak nyaman rasanya, bila tak ada teman untuk diajak ngobrol. Aku segera mengambil tas yang tadi kubawa dari atas meja dan kemudian beranjak pergi dari situ dan berjalan menuju parkiran untuk mengambil mobil.
Entah aku berkhayal atau berhalusinasi. aku melihat seorang perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan Sinta.
Apakah benar, itu Sinta. Kalau memang benar, ngapain dia disini? Segera ku panggil orang tersebut.
"Sin, Sinta?" Panggilku sambil berlari, menyambangi perempuan itu.
Terlihat dia menengok ke arahku, dia sedang menyuguhi pelanggan cafe tersebut. Ternyata…. Dia bukan Sinta. Melainkan orang lain yang bekerja di cafe ini. Lagian itu gak mungkin Sinta, pasti sekarang dia lagi sibuk-sibuknya ngurusin anaknya yang masih kecil.
Ah, kan. Aku jadi inget lagi sama dia, gumam hatiku menjadi gelisah.
"Iya, mbak. Mbak panggil saya?" Terlihat dia kebingungan.
"Maaf yah, mbak. Saya salah orang," ucapku dengan sedikit malu.
"Nggak papa kok, mbak. Santai aja."
Dia mengangguk dan mengulas senyum kepadaku.
Tuh, kan. Hatiku mulai memikirkan Sinta lagi. Terbesit bayang-bayang Sinta yang saat kami masih sekolah dulu. Sinta yang terkesan bawel dan cenderung pemarah, yang harus aku baik-baikin, walau pun dia salah. Tapi, dulu kami saling menyayangi satu sama lain. Kini kehidupan kami berubah seratus delapan puluh derajat celcius. apakah dia baik-baik saja, disana? Aku sangat ingin bertemu dengannya serta buah hatinya, pasti sangat lucu dan menyenangkan. Walaupun dia adalah anak dari suamiku dan hasil hubungan gelap bersamanya, tapi aku akan sayang padanya, karena dia sama sekali tak berdosa.
Kulihat sana-sini, tapi tak ada. Ah, mungkin memang benar, ini hanya perasaanku saja. Ku ambil mobil dan segera pergi, karena hari sudah mulai sore. Sebelum pulang kerumah, aku tadi sempat mampir dulu ke butikku. Setelah menjelang magrib, aku baru pulang dan saat ini aku sudah berada di rumah.
Ku merenung sendiri di dalam kamar, memikirkan orang yang baru saja kulihat tadi di cafe. Orang itu benar-benar mirip sekali dengan Sinta. Tapi hatiku tetap yakin kalau itu memang dia. Mungkin bisa saja di cafe tadi, aku jadi salah orang. Atau memang itu adalah orang lain.
Semalaman tidurku tak nyenyak, selalu teringat dengan yang kulihat tadi cafe. bayangan Sinta seketika melumpuhkan otakku dan selalu ada dalam benakku.
Ya tuhan, ada apa denganku, kenapa hatiku semakin gelisah dan semakin tak menentu. Hal itu hanya membuatku semakin penasaran.
kusibak selimutku, yang terasa tak nyaman dipakai. Berjalan bolak-balik sendiri sembari menggigit ibu jariku pelan.
Hatiku kembali didera kegelisahan yang teramat kuat. saat jiwa dan perasaan menguasai hatiku, untuk mengingat kejadian yang hampir dua tahun silam ini, tak pernah sama sekali kuingat dan terbayangkan. Tetapi hari ini kenapa harus mengingatnya lagi.
Ya tuhan kenapa hatiku tak tenang seperti ini ... Ada apa ini? Apakah akan ada hal yang menimpaku? Entahlah aku tak tahu, hal apa yang akan terjadi kedepannya, antara baik atau buruknya . Semuanya ku serahkan hanya kepada yang maha esa.