Tapi beliau tidak mengijinkan aku untuk bertemu dengannya, kenapa? kemungkinan Sinta sudah meminta beliau untuk tidak memberitahuku tentang keberadaan dirinya disana.
Kami pun berbincang cukup lama , mengenai Sinta. Siapa dia sebenarnya dan aku bilang kalau aku adalah kakaknya. Tapi beliau masih sedikit curiga padaku, mungkin karena secara tiba-tiba aku menanyakan karyawannya. Tapi itu memang sepatutnya ia lakukan, karena itu adalah tugasnya sebagai manajer. Membimbing serta menyembunyikan identitas semua karyawan demi menyangkut keselamatan semua. Apalagi sudah menyangkut dengan kejahatan dan hukum.Terkecuali jika hal itu sangatlah penting dan terlebih jika orang tersebut adalah orang terdekatnya, seperti keluarganya. Aku sangat mengerti tugasnya sebagai manajer.
Tapi setelah ku jelaskan semuanya dengan detail dan rinci, akhirnya beliau pun mengerti dan bersedia untuk membantuku bertemu dengannya.
Dengan segera beliau menghubungi bawahannya, untuk memanggil yang namanya Sinta.
"Tunggu sebentar yah, Bu," memintanya untuk menunggu lebih sabar.
Aku hanya diam dan mengangguk, bersiap untuk menunggu kedatangan Sinta. Setelah beberapa menit, ada tiga orang masuk kedalam ruangan, tapi tak ada yang ku kenal, wajahnya pun tak mirip dengannya.
"Bagaimana, Bu. Apakah salah satu dari ketiga Sinta ini, adalah adik ibu?" Tanya beliau penasaran.
Aku sedikit menggelengkan kepalaku.
"Maaf, tapi mereka bukan Sinta adikku," aku heran kenapa yang datang malah mereka, lalu siapa yang kulihat waktu itu? Wajahnya sangat mirip dengan Sinta adikku, tapi bukan Sinta yang ini. Apa aku telah berhalusinasi.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dari luar. Manajer itu pun menyuruhnya untuk masuk.
"Maaf, Bu. Saya terlambat. Apakah ibu mem ...," Dia melihat kearahku dan menggantung perkataannya, terpelongo saking terkejutnya, bahwa disana ada aku.
"Sinta, adikku," ku menghampirinya dan langsung memeluk dia dengan erat sekali.
Seketika itu pun tangis antara aku dan Sinta pun pecah membludak. Tak ada rasa malu, kalau di sana tak hanya aku dan Sinta, tapi masih ada orang didalam sana yang melihat kami berdua.
Aku tak menyangka, kalau kita akan dipertemukan kembali. Walaupun harus dengan cara seperti ini. Aku meminta izin kepada manajer kafe tersebut, sebentar saja. Agar bisa lebih leluasa mengobrol dengannya.
Ku ajak Sinta di kursi yang sudah dipesan barusan dan memanggil pelayan, untuk memesan makanan serta minuman.
Kamu mau apa,Sin?" Tanyaku, seraya memperlihatkan bukunya.
Dia hanya menggeleng kepala dan terlihat sedikit malu.
"Pizza, ikan salmon bumbu bawang kesukaanmu, atau yang lain?" Ku terus paksa dia untuk memesan.
"Tidak, kak. Terserah kakak mau pesan apa saja, itu yang akan aku makan,"
Kini hidupnya sangatlah berubah, tak seperti dulu yang saya kenal. Semenjak dia tinggal di kampung, sikap dan perilakunya sangatlah berbeda. Sinta yang dulu kukenal sebagai perempuan yang agresif, sombong, tak mau mengalah, walau dia bersalah. Kini sudah mulai berubah menjadi perempuan lugu, bersikap anggun, penampilan sederhana dan tanpa riasan wajah yang tebal dan mahal. Cara dia berpakaian serta make up pun, cuma alakadarnya saja.
Ku tatap dia dengan berlinangkan air mata yang perlahan mulai berjatuhan dari netra mataku.
"Kakak, kenapa?" Sinta menyadarkanku dari sebuah bayangannya, yang membuatku hatiku menjadi labil akan teringat masa lalunya dengan yang sekarang, sangatlah jauh berbeda.
"Oh, ini. Kakak kelulusan," elak ku berusaha menyembunyikan kesedihan.
"Ya sudah, kalau gitu. Kakak pesan makanan kesukaanmu, yah?" Masih berusaha untuk mengalihkan perhatiannya terhadapku.
"Nggak usah, kak. Apa saja kok, pasti aku makan," tolaknya seakan beliau tak mau merepotkan aku.
"Nggak papa, Sin. Kamu itu nggak boleh sungkan, sama kakak." Dengan kekeh aku memintanya.
Ya, itu mungkin memang salahku. Dulu aku pernah mengatakan agar dia tak pernah mengakuiku sebagai kakaknya lagi. aku telah memaki dia habis-habisan, sampai dia menangis pun aku tak peduli. Mungkin ini kesalahan ku yang terbesar terhadap Sinta. Ya tuhan baru sekarang aku menyadarinya, bahwa ia adalah adikku. Walaupun dia hanya seorang adik pungut.
Sembari makan, kami mengobrol tentang kehidupan kami selama ini, yang hampir dua tahun lebih tak pernah bertemu. Kami tertawa bersama, mengisi keinginan kami yang selama ini ingin segera bertemu.
Hingga di akhir perbincangan, mengenai kami. Aku pun menanyakan kabar orang tuanya beserta keluarganya.
"Maaf, Sin. Sebelumnya, kakak mau tanya sama kamu?" Ku tatap matanya dengan lekat.
"Tanya soal apa, kak?" Dia membalas pandangan terhadapku.
Sebenarnya aku agak ragu, menanyakan soal urusan rumah tangganya. tapi alangkah baiknya, jika aku mencari tahu langsung dari dirinya. Daripada aku terus salah sangka, pada Alvin suaminya.
"Kalau boleh kakak tahu, mengapa kamu pindah ke jakarta, Sin?" Dengan penuh ragu aku mengatakannya.
Dia terdiam sejenak, sambil mengerutkan sebelah alisnya. Sepertinya ada beban dalam pikirannya, dia terlihat sangat tertekan dan seolah bingung ingin berkata tapi harus mulai dari mana dulu. Itulah yang kubaca dari raut wajah cantiknya.
"Nggak papa, kok Sin. Kalau kamu keberatan untuk cerita, nggak papa, kok. Kakak ngerti," ucapku berusaha menenangkan dia.
"Oh, nggak papa, kak. Aku akan cerita, kok. Sama kakak," dia meneguk minuman terlebih dahulu kemudian dia menjelaskan semuanya.
Ku genggam gelas yang berisikan minuman itu, berusaha sesantai mungkin. sambil menunggu Sinta mengatakan semuanya padaku.
"Ceritanya, panjang kak." Dia menghela nafas dan menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi yang ia duduki.
Terlihat kedua matanya memerah, seperti ingin menangis. Tapi ia tahan, kemudian menepis air mata tersebut, seakan tak mau terlihat cengeng. Jiwa kedewasaannya sudah mulai terlihat. Mungkin karena keadaan yang membuat dia menjadi lebih dewasa. Tak lagi bersikap kekanak-kanakan, seperti waktu beliau masih tinggal bersamaku. Kasihan Sinta, karena semua yang terjadi, ia juga harus menanggungnya seperti aku dulu. Hanya bedanya soal materi, urusan hati kini juga ia rasakan. Bagaimana hiruk pikuk menjalan sebuah rumah tangga.
Tapi Ya sudah lah, biar yang berlalu teruslah berlalu. Yang kulihat sekarang adalah perempuan yang sudah berpuluh-puluh tahun menemaniku disaat susah maupun senang. Sekarang dia sudah menjadi gadis yang dewasa seperti ini. Sinta…. Walaupun kamu bukan adik kandungku dan hanya adik pungut, kenapa aku sangat menyayangimu. Bahkan kamu sudah menghancurkan rumah tanggaku dan aku sudah berusaha untuk membencimu, tapi kasih sayangku ini, mengalahkan kebencianku padamu.
"Maaf, Bu. Waktu ngobrolnya sudah cukup lama. Sinta harus segera bekerja lagi,"
Tiba-tiba suara itu menyadarkanku dari tengah renungan yang menghampiriku.
"Oh, iya mbak. Saya lupa," sahut Sinta, seraya menghapus air matanya yang kemudian berdiri tegak di depan manajernya.
Perempuan cantik dan elegan yang berkedudukan sebagai Bu manajer itu, menatap ke arahku.
"Oh, baik mbak. Maaf sudah mengganggu waktunya," ucapku seraya mengulas senyum.
Sebenarnya aku sedikit kesal sih,terhadapnya. bagaimana tidak, Sinta yang mau menjelaskan semua pertanyaan dariku, malah nggak jadi karena dia. Tapi ya sudahlah, mungkin masih ada hari esok.