Sebenarnya aku sedikit kesal sih, sama dia. Bagaimana tidak, Sinta yang baru saja akan menjelaskan semua pertanyaanku, malah nggak jadi karena dia. Tapi Ya sudahlah, mungkin masih ada hari esok.
Sinta melihat kearahku, seakan dia memberi isyarat. Dia sedikit mengangguk seraya tersenyum.
"Oh, ya Sin. Nanti setelah kamu pulang, kita pulang bareng, yuk?" aku mengajak Sinta untuk pulang bareng.
"Emang kakak, nggak kerja?" Sahutnya kemudian balik bertanya padaku.
"Nggak, Sin. Kakak, sudah pulang duluan, emang sih jam kerja masih ada, tapi kakak nyempatin kesini dulu, untuk mencari dan ketemu kamu," seraya menyentuh tangan Sinta dan kemudian berpelukan untuk menumpahkan rasa kangen ini.
"Yaudah, sekarang kamu kerja dulu, kakak akan menunggu kamu disini," pintaku.
"Jangan, kak. Nanti kakak kelamaan menunggunya?" Cegahnya,mungkin khawatir sama aku, dia takut aku menunggunya terlalu lama.
"Nggak papa, Sin. Lagian sebentar lagi, jam kerja kamu akan segera berakhir, ini kan sudah hampir sore," aku kekeh ingin menunggunya, karena ingin tahu dimana sekarang dia tinggal dan belum tahu keadaan keluarganya sama sekali, aku masih penasaran.
Terdengar suara teman kerjanya Sinta memanggilnya, untuk segera bekerja.
"Ya sudah, kak. Sinta kerja dulu, yah," ucapnya sembari masuk kedalam.
Ku menatap Sinta dari kejauhan, dengan badan yang mungil serta terlihat sangat kurus, membuat jiwaku seketika menjerit, melihat seorang yang aku sayangi telah berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dulu.
Kalau saja dulu tak ada konflik diantara kami, mungkin hubungan kita sekarang tak akan renggang seperti ini. semua itu gara-gara Alvin, seorang laki-laki yang tak punya hati dan perasaan. Kerjanya cuma menyakiti semua wanita yang pernah menjadi santapannya.
Tapi ya sudahlah, yang penting sekarang ini, aku sudah bertemu dengan Sinta. Mungkin akan lebih bisa, untuk segera memperbaiki hubunganku dengannya lagi, meski tak bisa tinggal satu rumah kembali.
Setelah hampir dua jam aku menunggu Sinta disini. Tak lama Sinta pun datang menghampiriku, dia sudah pulang.
Dengan segera aku menyambanginya juga dan pergi bersama keluar dari dalam kafe, kemudian naik kedalam mobil bersamanya.
Sembari menyetir mulutnya tak diam, Sinta sangatlah kegirangan saat menaiki mobil. maklum, mungkin baru pertama kali lagi dia menaiki mobil setelah sekian lama. Dalam hati merasa sangatlah sedih, ketika melihat dan mendengarkan semua ucapannya, saking dia senang dan bergembiranya.
Dengan umurnya yang sekarang ini, dia belum pantas untuk menghadapi semua keadaan yang begitu pahit dalam hidupnya seperti ini. Sungguh kasihan, dek. Suara hatiku bergemuruh.
Di Dalam mobil, aku tak banyak bertanya terhadapnya. Jujur, saat ini aku ingin sekali bertanya semua keadaan rumah tangganta dengan Alvin. Tapi aku tak mau mengganggu suasana hatinya yang sekarang ini sedang berbahagia.
Tak lama Sinta berteriak, yang membuatku terhenti seketika, karena terkejut.
"Kaaakk, berhenti," teriaknya kencang.
Ckiiiit!!
Suara rem mobil, yang barusan ku injak.
"Ada apa, Sin?" Tanyaku kaget.
"Itu kak," dia menunjuk kearah kebelakang.
"Jalannya kelewatan, kak," ucapannya seketika membuatku lebih tenang, yang tadinya merasa tegang kini menjadi stabil kembali.
"Sinta ... Sinta, Kamu itu membuatku jantungan saja," sahutku agak sedikit kesal padanya.
"Maaf, kak. Aku lupa, perasaan masih jauh, ternyata sudah kelewatan," ucapnya manja.
"Iya, maksud kakak, kamu itu nggak usah teriak juga kali, kakak 'kan jadi panik, takut kamu kenapa-napa. Kirain ada apaan," awalnya aku sangat khawatir terjadi apa-apa padanya.
Aku Pun segera memutar balik kendaraan, dan melaju ke seberang jalan yang ia tunjukan.
"Ini kak, jalannya. Sahut Sinta dari sebelah sampingku.
Dengan segera ku berbelok, kearah kanan bahu jalan yang ditunjukkan Sinta. Tak lama kami pun sampai. Kami berhenti di depan sebuah kos-kosan, yang berada di sana.
Terlihat banyak orang yang berlalu lalang di sana, mungkin mereka yang menempati kosan tersebut. Sinta menuntunku berjalan menuju sebuah kosan yang dimana ada seorang wanita paruh baya memakai daster, sedang menyapu di dalam rumah.
Sinta memperkenal diriku kepada seorang ibu setengah tua itu dan ibu tersebut mempersilahkan ku untuk masuk ke dalam rumahnya.
Awalnya aku tak begitu mengenali sosok ibu tersebut, tapi kudengar Sinta memanggilnya sebagai mama, berarti ibu itu adalah Bu yati, ibu kandungnya Sinta.
Kenapa aku tak mengenalnya, dulu satu yang lalu, aku melihatnya masih terlihat sehat dan segar bugar. Kini ku tak melihat semua itu, sekarang dia terlihat semakin kurus kering tak berdaging.
Wajah dan tubuhnya sudah kelihatan renta, berjalan pun dia harus dibantu dengan tongkat sederhana yang beliau gunakan. Rambut yang sedikit kusam serta beruban, membuat Bu yati kelihatan semakin tua, seperti lapuk dimakan usia.
Bu yati menyuguhkan air putih di meja. tak tega melihat keadaan beliau menjadi seperti ini, yang semakin terlihat cepat menua. Entah karena dia sakit-sakitan atau karena pikiran yang terlalu mendalam yang telah menggerogoti seluruh tubuhnya, yang membuatnya menjadi seperti ini.
Ya tuhan, apakah semua ini, salahku? Jeritan hatiku yang terdalam seketika berteriak.
"Maaf, neng. Ibu cuman bisa nyuguhin air putih, saja," terdengar suara itu sedikit bergetar.
"Ngak papa kok, Bu," jawabku dengan menatapnya sendu.
Sambil menungu Sinta berganti pakaian, kami mengobrol bersama didalam.
Tak lama Sinta pun keluar dari dalam kamarnya. Dia memakai baju alakadarnya saja, ala-ala rumahan biasa. Dia tersenyum melihat keaarahku seperti tak pede menggunakannya dan terlihat malu ketika di depanku. Sebenarnya dalam hatiku merasa kasihan saat melihat dia, tapi aku dengan pura-pura menghiraukannya, seakan tak ada ganjalan dalam hatiku, supaya Sinta tak terlihat minder, saat di dekatku.
Tanpa berpikir panjang aku bertanya soal anaknya, Sinta. Karena dari semenjak aku datang kemari aku tak melihat ataupun mendengar suara anak kecil di rumah ini. Aku pun melihat sana-sini, hingga nembuat Sinta penasaran.
"Ada apa, kak. Apa kakak melihat keadaan rumah jelek ini ya, kak?" Dia menundukan kepalanya, terlihat semakin tambah malu dan kemudian melihat kearahku penuh curiga.
"Nggak papa, Sin. Bukannya seperti itu. kakak cuman penasaran, dari tadi kakak tak melihat anakmu. Apa dia sedang tidur?" Ucapku dengan perasaan tak enak sama Sinta.
Dia tambah terlihat sangat gugup, ketika mendengar perkataanku. Matanya terlihat memerah dan mengeluarkan air mata. Kemudian Bu yati pun yang berada di sampingnya itu pun mengusap punggung Sinta pelan, sambil menyahuti Sinta dengan sangat pelan, hingga aku yang berada di sana pun tak mendengar pembicaraannya.
Aku hanya diam dan sangat bingung, merasa tak enak hati. Apakah pertanyaanku salah hingga telah menyakiti hatinya.
"Sin, apakah pertanyaan kakak terlalu berlebihan? Tanyaku sedikit gugup.
Sinta pun menoleh ke arahku, dan segera menyusut air matanya menggunakan sebelah tangannya. Hatiku merasa kalau Sinta akan memarahiku, karena dia terlihat menatap lekat ke arahku.
Ada apa ini, apakah ada yang salah dengan perkataanku?