Teganya Alvin meninggalkan istrinya yang sedang hamil, tanpa ada perceraian terlebih dulu. Setelah sekian tahun dia tak peduli dengan kehidupan istri beserta kedua mertuanya. Aku jadi penasaran, ingin segera memberi tahunya, soal semua yang terjadi pada Sinta, tapi, dimana keberadaan Alvin sekarang? Rasa penasaranku mulai bermunculan pada Alvin. Lebih baik aku menyelidiki dan mengungkap semua kebusukan yang sedang Alvin perbuat sekarang ini, yang telah mengkhianati Sinta untuk yang kesekian kalinya. Dorongan tekad dan hatiku semakin bulat, untuk menolong Sinta.
Kupeluk Sinta dengan eratnya, tak tega dengan apa yang telah dialaminya sendirian selama ini, beban yang begitu berat telah menghantam jiwana. Tapi aku salut dengan Sinta, segala permasalahan dan beban hidupnya selama ini, bisa dikendalikan dan menerimanya dengan lapang dada. meski ia masih kekanak-kanakan, tapi ia bisa bersikap layaknya orang dewasa, mungkin karena keadaan yang telah mendidik ia menjadi seseorang yang kuat dan bijaksana seperti sekarang ini.
Dengan perlahan kulepas pelukan sembari melirik jam yang dipasang diatas dinding kamar yang terbuat dari bambu itu, ternyata sudah pukul 05.15 wib. Tak terasa waktu pun sudah hampir malam, dengan segera ku berpamitan kepada mereka, tak sanggup rasanya harus meninggalkan Sinta, tapi mau gimana pun, aku harus segera pulang. Perjalanan agak jauh dari tempat tinggalku, takut kemalaman di jalan, apa lagi ku hanya seorang wanita, sendirian pula.
Setelah hampir satu jam perjalanan dari rumah Sinta, akhirnya sampai juga di depan rumahku. Terlihat pintu pagar rumah masih terbuka lebar, ternyata pak tarno dan mbok inah sudah menungguku dan mereka segera menghampiriku. Aku Pun keluar dari dalam mobil.
"Non, non itu dari mana saja, nggak biasanya non pulang kemalaman seperti ini, tadi si mbok sudah mencoba beberapa kali menghubungi non, tapi handphone non nggak aktif, non, dari mana saja?" Simbok terlihat sangat khawatir. memang, dari kecil mbok inah lah yang mengurusku, dia sudah bekerja sedari dulu, semenjdk nenek dan kakek ku masih ada dan sampai sekarang pun mbok inah dan pak tarno masih setia bekerja disini. walaupun,
Keadaan mereka sudah hampir menua. Pantesan saja mereka sangat khawatir terhadapku. mereka sudah menganggap aku ini adalah anak kandung mereka, maklum karena mereka ditakdirkan tak punya anak.
Mbok inah menyuruhku untuk segera masuk kedalam dan cepat-cepat untuk sarapan. Sedangkan pak tarno, beliau memasukan mobil terlebih dahulu ke dalam garasi di samping rumahku.
"Ayo sini, non. Lebih baik, non makan dulu. Si mbok sudah nyiapin makanan buat non?" Titahnya seraya membuka semua masakan yang dimasaknya.
"Tapi mbok, aku itu belum mandi. Nanti setelah mandi, aku baru makan yah, mbok," tembal ku seraya memeluknya, karena sudah terbiasa serasa ibu sendiri.
"Ya sudah, tapi non harus makan dulu sebelum tidur, nanti non sakit," suruhnya memaksa kemudian.
"Iya-iya, aku janji," sahutku sembari pergi menuju kamar dan bersiap untuk mandi.
Kusimpan pakaian yang kukenakan tadi kedalam keranjang dan segera membuka pintu kamar mandi, tak sabar ingin segera membersihkan diri, karena harus menyetir sendiri dari perjalanan cukup jauh yang membuatku lelah dan berkeringat.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, segera ku turun ke bawah untuk makan malam. Baru saja aku akan menyantap makanannya, seketika ku teringat pada Sinta. Apakah mereka sudah makan? Walaupun sudah, dengan apa mereka makan? Kulihat makanan yang berada di meja tersebut sangatlah banyak, bahkan hanya untuk di makan oleh satu orang. Belum tentu mereka bisa memakan dan melihat makan sebanyak ini. Suara hatiku bergumam seketika.
selera makanku tiba-tiba terhenti. Ku turunkan kembali sendok yang sudah berisi nasi dan lauknya tersebut, ke atas piring makanan yang seharusnya aku makan. Tiba-tiba si mbok datang menghampiriku.
"Non kenapa. kok, bengong?" Tanya nya, seraya menuangkan air putih untukku.
Dengan seketika si mbok menyadarkanku dari lamunan yang datang sejenak dalam ingatanku.
"Tak papa, mbok. Aku hanya…"
"Hanya memikirkan sesuatu," potong si mbok.
"Ya sudah, sekarang non makan dulu makanannya, tak baik jika dibiarkan seperti itu," ucapannya lagi kemudian.
Andai si mbok tau apa yang sedang kupikirkan saat ini, mungkin dia juga akan merasa kasihan sama Sinta, tapi aku tak boleh memberitahunya nanti di mbok cerita sama Bu Diana, sedangkan keluarga mereka sangat membencinya termasuk pak Ariya, mantan mertuaku.
Ku segera menyantap makanan tersebut, agar si mbok tak semakin curiga dan terus bertanya hal lain lagi.
Malam pun semakin larut, suara angin mengiringi malam yang pekat ini. Kusibak hordeng jendela yang berada di dalam kamarku, kupandangi indahnya kota jakarta ketika larut malam. Cahaya yang berkelip dari setiap rumah yang ada disana. Seketika mengingatkan ku pada Sinta yang malang. kenapa Alvin tega membiarkan dan meninggalkannya sendiri? yang harus memikul berat beban keluarganya, disaat beliau sedang hamil tua.
Ah, tiba-tiba ku teringat Alvin si tukang pengkhianat itu, laki-laki yang sudah banyak mempermainkan banyak wanita. Entah sudah keberapa kalinya ia membohongi dan mengecewakan hati perempuan.
Ya tuhan, ternyata dulu aku menikahi seorang lelaki lintah darat, yang bisanya cuman berbuat hina dan tak terpandang seperti itu.
Sebuah keluarga yang tadinya hidup bahagia, seketika di terpa badai yang sangat dahsyat, yang tak bisa ditahan lagi, karena titik sumbernya berada di dalam keluarga tersebut dan bukan hanya satu sumber, melainkan dari dua sumber sekalian. Suami dan adikku yang telah bermain cinta di belakangku.
Seandainya semua itu tak pernah terjadi, mungkin sekarang ini hidupku tak kan pernah seperti ini. Tapi mungkin ini ini semua lebih untukku, karena tak hidup dengan manusia b***t seperti itu dan mungkin Tuhan telah mempersiapkan jodoh yang terbaik untukku di luar sana, yang belum ku temui sampai sekarang ini.
Tapi mengingat kehidupan Sinta yang sekarang ini, aku menjadi khawatir dan semakin penasaran mengenai keberadaan Alvin yang sekarang ini masih berstatus sebagai suaminya Sinta. Aku harus bisa bertemu dengannya, dan mencari tahu apa alasan dan tujuannya meninggalkan Sinta? Dan aku ingin memberitahu Keadaan Sinta sekarang ini, apalagi soal anaknya yang telah tiada. Semua ini gara-gara dia. jiwa dan hidup kami semua jadi menderita karena dia, bahkan anak yang tak berdosa pun harus tiada, hanya karena dia. Seketika ku berteriak kencang ke luar jendela tanpa aku sadari.
Mungkin ini sudah saatnya aku membantu Sinta kembali, karena kulihat dia sudah berubah tak seperti dulu lagi. Tak terlihat centil dan genit, saat bertemu dengan laki-laki manapun.
Tapi sisi lain hatiku agak meragukannya, takut kalau selama ini dia juga sama halnya seperti yang dilakukan oleh Alvin. Sama-sama berkhianat.