Dokter tersebut menyatakan bahwa stok darah yang dimiliki Ibu Diana sedang habis dan harus segera mencari golongan darah yang sesuai dengan beliau.
Dengan segera aku mencari dan menyuruh Rany untuk membantuku mencari orang yang bersedia untuk memberikan donor darah yang sangat dibutuhkan saat ini. Namun sebelum aku mencari orang lain untuk mendonorkan darahnya, terlebih dahulu aku menunggu dan terus menelepohone anak-anaknya.
Bagaimanapun mereka adalah anak kandung mereka yang sah, dan mereka lebih berhak untuk memberikan darahnya kepada orang telah mengandung dan melahirkan mereka berdua.
Aku sendiri pun akan melakukan tes darah saat ini juga, siapa tahu darahku cocok untuk ibu Diana. Sebelum aku memasuki ruangan tes, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berlari menuju ke arahku.
Dengan segera ku berhenti memasuki ruangan tersebut, dan ternyata kak Rehan dan kak Revan sudah datang menemui orang tuanya yang terbaring koma.
"Ren, bagaimana keadaan orang tuaku? Apakah mereka baik-baik saja?" Ucap kak Rehan, anak pertama dari pak Ariya. Dengan pernapasan yang terdengar ngos-ngosan dan berbicara sedikit terbata-bata.
"Iya kak, mereka sedang mengalami koma dan sedang dirawat di ruangan UGD. Saat ini ibu Diana sedang memerlukan donor darah yang cocok untuknya, karena beliau mengalami pendarahan yang serius dari kepalanya," jawabku agak ragu-ragu dan mengiringi mereka menuju ruang perawatan kedua orangtuanya.
Akhirnya mereka bertemu dan menyambangi kedua orang yang telah mengurus dan membesarkan mereka selama ini, hingga menjadi sesukses sekarang ini. Mereka tak henti menangis dan meminta maaf, karena menyesal telah meninggalkan mereka selama bertahun-tahun, karena urusan yang tak bisa ditinggal dan sangat penting dengan profesinya saat ini yang menjadi tentara militer.
Hatiku sangat terharu, saat melihat kebersamaan mereka dalam keadaan yang semesti harus bahagia, tapi yang kulihat saat ini malah sebaliknya. Mungkin hal ini telah dinantikan oleh mereka sejak lama, tapi tidak dipertemukan dalam keadaan pahit seperti ini.
Setelah lima tahun belakangan ini, mereka tela dipertemukan kembali, walau dalam keadaan ini.
Terliha dokter menghampiri mereka dan membicarakan soal keadaan kedua orang tuanya, untuk menyarankan mereka untuk periksa darah, karena beliau tahu kalau kak Rehan dan kak Revan adalah anak dari pak Ariya.
Tapi aku merasa heran melihat gelagat kedua anak pak Ariya tersebut, mereka malah terlihat kebingungan dan saling bersahut-sahutan seperti ada keraguan dari hati mereka.
Aku segera menghampiri mereka dan bertanya pada mereka karena penasaran. Setelah aku bertanya, mereka hanya diam dan menundukan kepala sambil mengusap rambut dengan kasar. Mata mereka terlihat memerah danseakan ada beban dalam hatinya.
"Bagaimana! Apakah kalian sudah siap untuk menjalani tes darah?" Sang dokter itu menyahut pertanyaanku, suaeanya telah membuatku sadar akan kecurigaanku pada kedua anak pak Ariya ini. Tadinya aku ingin menanyakan hal yang telah membuatku begitu heran pada mereka, tapi mereka langsung mengikuti langkah dokter menuju ruang tes tersebut.
Tanpa ada jawaban sama sekali keluar dari mulut mereka, hal tersebut hanya membuatku semakin menaruh curiga pada mereka dan berburuk sangka. Astaghfirullah, aku tak boleh seperti ini, mungkin mereka tak seperti yang aku duga sekarang ini. Aku yakin kalau mereka adalah orang yang baik dan berbakti berbakti kepada orang tuanya.
Sembari menunggu mereka kembali, aku menunggu di dalam ruang rawat pak Ariya dan ibu Diana. Setelah beberapa menit pun mereka kembali dengan wajah dipenuhi ketegangan, mereka pun duduk di kursi yang ada di dalam ruangan tersebut. Aku tak bertanya ataupun mengatakan sesuatu yang dapat membuat mereka semakin gelisah, mungkin mereka sedang ada masalah atau sedang tak enak badan.
Setelah beberapa menit, akhirnya dokter pun menghampiri kami yang sedang berada di dalam ruangan, sambil membawa hasil tes yang dilakukan oleh kak Revan dan kak Rehan beberapa menit yang lalu.
Sebegitu terpelongonya aku saat mendengar apa yang dikarakan oleh dokter tersebut, tetapi melihat wajah dari kedua anak-anaknya pak Ariya ini, mereka terlihat santai saat menanggapi hal yang mengejutkan tersebut.
Percaya dan tidak percaya dalam hati, aku hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun saking terkejutnya, dan segera menghampiri mereka. Penasaran apakah yang dikatakan sang dokter itu hanyalah sebuah kesalahan, dan ini hanyalah lelucon semata.
Aku bertanya pada mereka dengan penuh keseriusan, tetapi mereka hanya terdiam dan menangis perlahan. Tidak ada jawaban ataupun sebuah kata-kata yang mereka ucapkan, keduanya malah duduk kembali di kursi dan menyandarkan diri di bahu kursi sambil menepuk jidat dan mengusap wajahnya kasar.
Dokter tersebut pun menjelaskan semuanya, bahwa kemungkinan besar mereka bukanlah anak kandung dari pak Ariya Dirgantara. Karena tak mungkin seorang anak kandung berbeda darah dari sang ayah sendiri, dan menjelaskan lebih stabil lagi soal tes DNA tersebut.
Belum sempat dokter bertanya pada salah satu mereka yang mau menjawabnya, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah belakang kami yang membuat menegangkan pikiran kami seketika. Kami pun menengok ke arah belakang, terlihat tangan dan mata pak Ariya bergerak dan tak jelas beliau berkata apa, dan akhirnya beliau pun sudah tersadar.
"Alhamdulillah, akhirnya beliau pun tersadar juga." ucap ku kegirangan tetapi dalam hati.
Ada kebahagiaan dari raut wajah anak-anaknya tersebut, terutama dengan hatiku. Aku sangat bahagia saat pak Ariya terbangun dari komanya. Namun tak ku tunjukan dengan berlebihan, karena ada dua orang anaknya yang lebih berhak mendekap dan menyambangi seorang ayah untuk pertama kalinya.
Setelah menunggu hampir satu jam dokter memeriksa beliau, ternyata pak Ariya dinyatakan dokter telah tersadar dan telah melewati koma yang dialaminya hampir seharian tersebut.
***
Dua hari telah berlalu, tetapi stok darah yang dibutuhkan oleh Ibu Diana masih belum ada. Walaupun pak Ariya sudah tersadar dan bisa sedikit pelan-pelan berbicara. Itu pun sudah membuat aku dan kedua anak laki-lakinya itu sangat senang dan bahagia tapi masih ada kesedihan yang teramat terdalam.
Keadaan Ibu Diana semakin hari semakin memburuk, hingga membuatku mantap untuk memeriksa dan mengetes darahku, apakah cocok atau enggaknya. Aku memang bukan anak kandungnya, tapi aku telah menganggap beliau sebagai orangtua ku sendiri dan begitu pun sebaliknya dengan beliau. Hingga ku ada berhaknya untuksegera menolong beliau.
Saat aku akan berjalan keluar tiba-tiba riangan tiba-tiba tangan pak Ariya memegangku erat, dan memanggil namaku dengan rintihan yang sangat mengharukan jiwaku.
Beliau berbicara dengan kata-kata yang terbata-bata. Sepertinya pak Ariya ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi beliau tidak bisa mengucapkannya dengan suara yaang lantang dan benar.
Mendengarnya berbicara saja, hatiku sungguh tak tega. Aku sendiri sudah melarangnya untuk tidak memaksakan diri untuk berbicara terlebih dahulu, mengingat keadaannya yang masih dalam keadaan yang lemah.
Tapi beliau tetap bersi keras untuk mengatakannya, dan begitu terkejutnya aku saat mendengar pelan apa yang beliau katakan.