Ada apa dengan orang-orang ini, mengapa mereka memandangku seperti ini?
"Ya udah neng, kami permisi dulu. Hati-hati dijalan, lagi pula tempat tujuan neng sudah dekat." Lanjut ucap perempuan paruh baya tersebut.
Setelah melewati jalan yang becek karena hujan yang mulai turun, aku pun sampai di kediaman Sinta. Tapi langkahku seketika berhenti, kala melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam terparkir di dekat rumah Sinta. Aku sedikit ragu untuk masuk menemui Sinta, hatiku terus bertanya-tanya siapa orang yang sedang bertamu ke rumah Sinta. Mungkin tak jarang ada temannya yang mengantar Sinta pakai mobil, hingga pekarangan rumahnya. Tapi siapa ya? apakah Sinta mempunyai teman se kaya ini? Tapi selama ini aku tak pernah melihat Sinta dekat dengan Siapapun, terkecuali teman sepekerjaannya. Kenapa beliau tak bercerita soal ini padaku? Ah, aku ini. Memangnya aku ini siapa, berhak tahu semua urusannya, terlebih lagi yang Sinta sembunyikan. Ah, biarkan saja, itu mungkin urusan mereka, tujuanku kesini hanya untuk bersilaturahmi kembali dengan Sinta dan ibunya Sinta yang sekarang sudah mulai sakit-sakitan.
Saat ku angkat tangan, bermaksud untuk mengetuk pintu yang ada di hadapanku. Hatiku kemudian berdebar kencang, saat mendengar suara orang yang berbicara didalam bersama Sinta sekarang ini. Suara itu terngiang benar-benar tak asing di telingaku, aku tahu betul suara itu milik siapa.
Deg! Hatiku bergemuruh seketika.
kemarahan yang terpendam selama ini, yang telah membebaniku kini kembali mengguncang nalarku kembali, rasanya ingin sekali memaki dan memarahi nya habis-habisan. Tapi tekad yang tiba-tiba datang menghantuiku seketika terhenti, berpikir sejenak dan mengambil nafas dalam untuk menyeimbangkan perasaan yang sedang kalaf ini. Belum tentu orang yang didalam tersebut adalah Alvin, melainkan orang lain.
"Astaghfirullohhal Adziim". ku usap dadaku pelan seraya mengucap istighfar.
Sebelum aku memasuki rumah Sinta, terlebih dahulu aku memastikan suara itu lebih detail lagi, dengan menempelkan daun telingaku ke pintu tersebut. Tapi saat ku mencoba mengamati suara di dalam sana, terdengar suara langkah kaki yang mendekati arah pintu tersebut, dengan hati terkejut ku perlahan segera mundur.
Krieeet!
Pintu itu pun terbuka. Terlihat dua sejoli yang lebih tepatnya sebagai pasangan, yang sedang bergandengan tangan sembari tersenyum-senyum dan berbahagia, keluar dari dalam rumah.
"Kak …, kau!" Raut wajah Sinta seketika membias, dari yang tadi terlihat gembira seraya tertawa bahagia, menjadi sangat terkejut dan terpelongo, mungkin karena ia kaget, tak tahu kalau ada aku di luar rumah yang akan mengunjunginya.
Ku terdiam, tanpa memberikan respon terhadapnya. Tak menyangka bahwa selama ini aku telah dikelabui mereka berdua. Ya tuhan ternyata aku telah tertipu untuk yang kesekian kalinya oleh mereka. Menjijikan, ingin rasanya ku mencabik-cabik diriku sendiri, karena aku sudah kalah dan masuk dalam perangkap mereka kembali. Karena rasa iba dan kasihan ku terhadap Sinta, telah mengalahkan egoku yang selama ini ku tata dengan baik, hilang sudah kehormatanku di hadapan mereka berdua.
Aku berlalu pergi, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dan membuat Sinta serta Alvin berusaha mengejarku, mencoba menghentikan langkahku, tapi dengan sekuat keimanan aku lebih memilih diam, dan berusaha tak peduli dengan bujukan mereka dan bergegas masuk mobil, kemudian ku kemudi dengan sedikit cepat.
Sepanjang perjalanan pulang, ku terus terisak tangis, seakan dunia menghancurkanku untuk yang kesekian kalinya, dan mungkin ini lebih sakit dibanding dia menghianati ku dulu. Sebuah siasat buruk yang mereka rencanakan dengan matang, kini membuahkan hasil, dengan terlebih dulu mengelabuiku untuk jatuh iba terhadap Sinta yang sengsara dan merana karena hidupnya, ternyata semua itu hanya sebuah tipuan yang fatal untuk menjebakku dan terperosok kedalamnya.
Tapi tuhan memang maha adil dan bijaksana, beliau perlahan memperlihatkan mataku untuk mengenali siapa dua sosok terkotor yang baru saja kulihat tadi. Hal ini telah menyadarkanku dan aku berjanji, bahwa aku tidak akan pernah mengenali lagi, siapa sosok terhina seperti Sinta di mataku, dan seorang pengkhianat terkejam seperti Alvin.
Aku bertekad sekuat hati dan naluriku, untuk membebaskan beban yang selama ini menghujam jantungku. Hanya diriku menjadi manusia yang mempunyai hati bersih untuk kuberikan kepada orang yang berhak ku kasihani, tapi tidak untuk mereka. Mulai sekarang aku tak mau lebih tenggelam lagi dalam kesedihan dan kehancuran yang mereka perbuat. Hidupku sudah cukup mereka permainkan, dan sekarang ini aku tak akan memperdulikan mereka, atau pun harus berpapasan di jalan, aku tak menoleh, jangankan untuk berbicara, melihatnya pun tak sudi dan menjijikan.
***
Lalu Alvin datang. Apakah aku harus turun dan melihatnya lagi, melihatnya akan menjadi luka yang ditusuk-tusuk dengan jarum.
"Rena, aku tahu ada di dalam, keluarlah sebentar saja, please!" Suara itu menuntut berat dan putus asa.
Aku mencoba menelisik sisi realistis. Alvin tak akan segera pergi jika belum bertemu denganku. Aku tak mau ia malah membuat rusuh para tetangga yang sangat kepo akan semua permasalahan, terutama para ibu-ibu komplek yang mulutnya bagaikan semburan api yang meleleh panas dan seketika meledak.
Berarti sekarang ini aku harus menemuinya. Ku yakinkan diri, jika hatiku sudah baik, harusnya aku bisa bicara baik-baik dengannya. Lekas ku kenakan hijab untuk menutupi wajahku sembari memikirkan amunisi kata apa yang ampuh ysng akan membuatnya lekas pergi dan menyadari aku bukan Rena anggraeni yang dulu.
" Kenapa kamu masih berani menginjakan kaki mu disini, Alvin? Tanyaku ketus seraya membulatkan mata perlahan.
"Ren, asal kamu tahu soal hatiku beberapa tahun yang lalu, dan terlebihnya setelah aku bangun dari koma, memang cuman kamu yang ingin aku temui, Ren!"
Aku memilih berdiam pada anak tangga ketiga memastikan dia tahu bahwa aku tidak perlu berlama-lama berbicara padanya.
"Aku cuman mau bilang, aku menyesal," ucapnya dengan nada penuh penekanan dan berat.
Tersimpan ribuan makna yang kutangkap dari kata-katanya.
"Pulanglah, aku mau istirahat."
Ia justru memilih duduk di sudut sofa . Seolah ingin memberitahu bahwa ia ingin berbicara lebih banyak lagi.
Sungguh aku turun hanya untuk mengusirnya. Selesai.
"Ren, ketika aku sembuh dari koma, ada kesedihan luar biasa di hatiku. Seperti berada dalam dimensi baru dalam hidupku. Aku tak ingat apa-apa , tak ingat siapa-siapa, tapi perawat yang mengatakan, bahwa ada satu nama yang selalu ku ucap dalam gelap tidurku berhari-hari. Wajah seorang wanita, yaitu kamu."
"Maksud kamu apa? Mau mencari ibs lagi dariku?"
Ia menarik nafas dan menatapku.
"Aku minta maaf Ren, aku sadar, aku banyak salah." ia menundukan pandangannya.
"Kamu salah, jelas kamu salah. Sinta, Fitri, dan wanita yang sekarang sedang hamil yang sekarang menjadi istri barumu itu! Dan terlalu banyak kebusukan yang kamu telah perbuat terhadapku! Apakah itu tak sengaja, haah!" Aku mengatakannya dengan rahang mengeras dan nada yang cukup berat.
Matanya seketika membulat. Mungkin ia tidak menduga aku tahu semua kebohongan dan kebusukannya yang lain.