"Maafkan saya, Bu. Saya tahu ini tak sopan, tapi ini sangatlah penting." Dia melihat sana-sini, memastikan tak ada orang yang bisa mendengarkan pembicaraan kami.
Entah apa yang ingin dibicarakannya, sepertinya sangatlah penting, hingga tak ingin ada orang yang menguping pembicaraan kami.
"Tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, saya mampir terlebih dahulu ke rumah ibu, tapi ART ibu mengatakan, kalau Bu Rena masih tertidur pulas. Jadi aku tak jadi menemui ibu, karena kasihan, mungkin ibu kelelahan setelah seharian bekerja," ucapnya pelan.
Ku mengangguk, menunggu ia berbicara soal apa yang ingin dia katakan dari tadi pagi.
"Ya sudah, Fit. Makasih karena kamu sudah perhatian sama saya, terus hal apa yang ingin kamu bicarakan sama saya. Saya tak punya banyak waktu, sekarang ini saya harus segera pergi menemui klien untuk meeting. Meski beliau masih belum datang, tapi saya harus mempersiapkan segala presentasinya terlebih dahulu sambil menunggu beliau datang." Ucapku penuh ketegasan, takut ini hanya leluconnya dia untuk mendapat perhatianku saja. Mengingat hal yang telah dia lakukan bersama Alvin dulu.
Dia menundukan kepalanya, sembari tersenyum tipis kearahku.
"Kemarin aku bertemu dengan pak Alvin, Bu," bisiknya.
Dengan seketika aku terkejut, saat mendengar Fitri mengatakan, kalau dia bertemu dengan Alvin.
"Kamu bertemu dia dimana, Fit?" Ku bertanya pelan.
Dia menceritakan semua kronologi kejadiannya saat bertemu dengan Alvin dengan sangat was-was, takut terdengar pegawai lain yang berlalu lalang keluar masuk kantor.
Ternyata Fitri mengetahui keberadaan Alvin, tak sengaja dia bertemu dengan Alvin di dalam sebuah mall. Alvin sedang berbelanja peralatan untuk bayi, bersama dengan seorang wanita, yang usianya terpaut lebih tua dari dirinya.
Alvin dan Fitri tak sengaja bersenggolan, disaat Fitri terburu-buru akan membeli kebutuhannya. Mereka pun saling bercakap-bercakap satu sama lain, meski dengan waktu yang sangat singkat.
Fitri sempat berkenalan dengan wanita tersebut dan ternyata beliau adalah istrinya Alvin dan dia sedang mengandung anak dari Alvin.
Tapi sayang dia belum sempat menanyakan keberadaannya yang sekarang ini, karena waktu diantara kami sangatlah sempit dan terlalu banyak orang yang berlalu lalang, sehingga membuat kami tak nyaman untuk ngobrol lama-lama.
Awalnya Fitri ingin sekali memberitahuku, tapi mengingat beliau sudah menikahi Sinta, yang otomatis bukan tanggung jawab dan urusan aku lagi, katanya.
Tapi mungkin melihat Alvin yang telah berkhianat lagi terhadap istrinya, hal itu membuat tekad dan pikirannya semakin bulat untuk bercerita dengan ku, karena beliau tak tahu menahu soal keberadaan Sinta.
Ternyata dugaanku selama ini memang benar, bahwa Alvin sudah mengkhianati Sinta, sama seperti dulu dia mengkhianatiku dengan Sinta. Apakah ini yang dinamakan dengan karma? Atau hanyalah Alvin memang lelaki hidung belang! walaupun ini adalah balasan untuknya, tapi tuhan tak adil dengan ketiadaan anak yang tak berdosa yang telah dilahirkan Sinta satu tahun yang lalu. Beliau tak tahu apapun, soal kesalahan ayah dan ibunya semasa ia belum di kandung.
Terasa air mata menetes perlahan di pipi, tak tahan membendung semua emosi yang sengaja ku kurung dalam jiwaku agar semua orang tak tahu, kalau aku sangat menyayangi Sinta, walaupun dia hanya berstatus bukan adik kandungku.
Tapi hidup dan mati ku hanyalah bersama dia, yang sedari dulu selalu bersama. Apalagi setelah orang tuaku meninggal dunia, mereka menitipkan Sinta untuk selalu ku jaga dan selalu ku sayangi. Betapa mulianya hati mereka semasa hidupnya. Bagaimana tidak! dengan mengambil dan mengurus seorang anak dari keluarga yang tak mampu, untuk dijadikannya seperti anak kandungnya sendiri, sama halnya seperti ku.
Sembilan belas tahun sudah usia Sinta sekarang ini, yang seharusnya dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan berbahagia layaknya sebagai anak remaja. Tapi takdir berkata lain, mungkin ini sudah seharusnya terjadi pada Sinta. Sebagai manusia kita hanyalah bisa merencanakan bukan berencana. Semua kehidupan ini diberikan dari tuhan dan akan kembali pula kepada tuhan, bila ia sudah menghendakinya.
Setelah hampir setengah jam kami mengobrol, tiba-tiba Rany menghampiriku yang seketika membuat Fitri terpaksa menghentikan obrolannya.
" Maaf, Bu. Pak Ariya sudah menunggu ibu di ruangannya," panggil Rany untuk segera menemui pak Ariya.
"Oh iya, Nanti secepatnya aku segera menyusul," ucapku sembari mengangguk seolah mengiyakan.
Rany pun segera pergi dan kembali menuju kearah mejanya tempat ia bekerja.
"Oh iya, Fit. Lain waktu kita ngobrol lagi, ya. Sekarang saya harus mempersiapkan presentasi untuk meeting nanti," ku pegang tangannya pelan dan segera berjalan menuju ruangan pak Ariya.
Setelah seharian ku berada di kantor dan sudah selesai melakukan meeting bersama klien tadi siang, sore ini aku berencana untuk pergi ke kontrakkan Sinta lagi. Saat di perjalanan menuju kediaman Sinta, terlihat seseorang dengan memakai penutup muka datang menghampiriku serata menodongkan senjata tajam ke arahku. Yang seketika membuat ku seketika terhenti berkemudi.
Hati ku terasa dag dig dug antara kaget dan ketakutan. Apakah mereka perampok? Ketir ku dalam jiwa. Saat mereka melakukan misinya, tak hanya seorang diri, melainkan berjumlah tiga orang. Saat orang tersebut menyuruhku untuk keluar, tiba-tiba dia menoleh kearah samping seperti memberi kode pada teman-temannya. Ternyata benar, dua orang dengan menggunakan penutup muka keluar dari semak-semak sembari membawa benda tajam di tangannya.
Seseorang dari mereka menyuruhku untuk keluar dari dalam dan harus membuka pintu mobil tersebut. Tapi aku diam tak berkutik, hanya rasa takut yang seketika datang menghampiriku. Ku berteriak sekencang mungkin, meminta pertolongan pada warga sekitar. Tapi keadaan di sana sangatlah sepi, dengan berada di sebuah perempatan jalan bertikung, yang rimbun dengan pepohonan bambu yang menjurus ke jalan. Hal tersebut sangatlah baik bagi mereka untuk menjalankan misinya.
Walau mereka semakin mengancam dengan senjata yang mereka bawa ke arah ku, tapi aku seolah tak menghiraukannya. Hingga tiba-tiba terlihat beberapa orang berjalan dari pojok jalan, sepertinya mereka baru pulang dari ladang. Mereka meneriaki para perampok tersebut, dan berlari menuju ke arahnya untuk menolongku.
Tiga perampok tersebut seketika berlari terbirit-terbirit saking ketakutan, karena jumlah para petani lebih banyak dari mereka yang masing-masing membawa peralatan bertani seperti cangkul dan parang. Yang membuat mereka segan dan secepatnya kabur dari tempat tersebut.
Hingga salah seorang dari petani tersebut mengetuk pintu mobil.
Tok! Tok! Tok!
Dengan segera ku membukanya dan keluar menemui mereka. Wajah mereka begitu panik saat melihatku menggigil ketakutan.
"Neng nggak papa?" Ucap salah satu perempuan paruh baya dengan berpakain tudung sawah di kepalanya.
"Saya tak papa, Bu. Sata cuman kaget dan sedikit ketakutan," ku berucap dengan sedikit terbata-bata.
"Hati-hati neng, di jalan sini memang sering terjadi kejadian seperti ini. Makanya kami semua kalau akan pergi ke ladang selalu bersama-sama untuk mencegah perampokan dan hal yang tidak baik lainnya," sahut petani lain yang telah menolongku.
"Iya pak, Saya tak tahu. Kalau tempat ini rawan sekali penjahat!" Ku mengangguk serata berterimakasih.
"Sebenarnya neng dari mana dan mau kemana? Tanya ibu tersebut sambil sesekali memperhatikan penampilanku seolah aku terlihat aneh.
Ada apa dengan orang-orang ini, mengapa mereka memandangku seperti itu?