Akupun mengatakan ini kepada mbok inah, tentang semua rencanaku sedari kemarin-kemarin dan menyuruhnya untuk membangunkan pak tarno serta memberitahunya soal semuanya. Ia pun mengangguk, tanda beliau sudah mengerti maksud dan tujuanku.
Kira-kira pagi pukul tujuh, kami sudah berangkat. Diperjalanan membuat mood ku terasa kesal. masih pagi begini sudah macet seperti ini, biasanya juga kalau agak siang baru kena macet. Kami harus menunggu cukup lama. Kulirik jam tangan yang kukenakan, ternyata waktu sudah siang.
Setelah hampir satu jam kami menunggu, akhirnya kamu terbebas dari kemacetan di jalan.
"Pak, agak cepat sedikit, yah," suruhku padanya.
"Baik, non." Balasnya melempar senyum.
Ketika diperjalanan, aku melihat keluar dari jendela mobil. Terbayang akan sosok Sinta yang menjalani hidup kesederhanaan nya bersama dengan keluarganya. dia masih kecil, belum bisa bekerja dan mencari uang. Apalagi dia harus menambah bebannya dengan kehadiran buah hatinya.
Kalau yang kulihat kemarin benar-benar Alvin bersama wanita hamil itu, ya tuhan…. Bagaimana dengan Sinta? Gemuruh hatiku mengkhawatirkannya.
Setelah hampir tiga jam kami menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai. Pak tarno memarkirkan mobil terlebih dahulu dekat warung di pinggir jalan.
"Bu, titip mobilnya sebentar, yah," titah pak tarno kepada pemilik warung, yang berada dekat parkiran mobil tersebut.
"Oh,iya pak. Nggak papa, nanti ata jaga," balas wanita paruh baya berbadan gemuk tersebut.
"Terima kasih, Bu,"sahutku dari belakangnya pak tarno.
Kami pun berjalan menuju gang kecil. masih seperti dulu harus melewati jalan satu-satunya untuk bisa sampai ke rumah Sinta.
Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai. Tapi mengapa halaman rumahnya dipenuhi dengan rerumputan liar, rumahnya pun terlihat sepi dan kosong. Tapi aku masih penasaran kulihat sekeliling rumah itu, ternyata benar, rumah itu sudah dikosongkan. Tak lama terlihat seorang bapak-bapak menggendong sebuah keranjang besar berisikan rumput-rumput hijau, mungkin ia seorang penggembala hewan.
Dia melihat kami dari kejauhan dan perlahan berjalan mendekati kami.
"Maaf, Bu. Cari siapa yah?" beliau menundukan kepalanya dengan sopan.
"Oh, ini pak. Saya mencari pemilik rumah ini, kemana yah," sapa ku ramah.
"Oh, iya. Pemilik rumah ini telah meninggalkan rumah ini satu tahun yang lalu. maaf kalau saya boleh tahu, ibu ini siapa, yah?" Tanya si bapak tersebut.
"Oh, gitu."
"Saya keluarganya mereka pak, dari kota," jawabku kemudian bertanya lagi pada beliau.
"Kalau boleh saya tahu, mereka pindah kemana yah, pak?" Tanyaku penasaran.
"Kalau itu sih, saya nggak tahu Bu. mereka tak sempat memberitahunya, karena mereka terlihat seperti buru-buru," berlaku juga tak tahu Sinta pindah kemana.
"Ya sudah, terimakasih yah, pak," ku menunduk, sebagai tanda terima kasih, karena beliau sudah memberikan info terhadap saya. Walaupun belum lengkap semua.
"Sama-sama, Bu." Jawabnya sambil meninggalkan tempat tersebut.
Sembari berjalan menuju jalan raya, aku kepikiran sama Sinta. Kemana dia pergi? Gumam hatiku penasaran.
Apakah ada sangkutan nya dengan orang yang mirip Sinta di cafe waktu itu? Tapi kalau itu memang Sinta, apakah dia tak melihatku serta mengenaliku lagi?
Ya tuhan, apakah dugaanku selama ini memang benar? Nggak, itu nggak mungkin. Sebelum aku mempercayainya, aku akan mencari buktinya terlebih dahulu.
Seharian penuh kami bepergian, rasa lelah dan kantuk mulai terasa. Mbok inah yang memanggilku untuk makan saja, sampai tak kedengeran. Saking capeknya badan ini.
Keesokan harinya, badanku terasa lebih bugar. Mungkin Karena istirahat yang cukup. Kulihat dunia dari jendela, menatap kota besar yang ramai, apalagi di pagi seperti ini, udaranya sangatlah sejuk. Kupandangi rumah-rumah yang begitu banyak dan terlihat menumpuk dari kejauhan. Ku teringat Sinta, apakah rumahnya ada di sekitaran jakarta ini? Seketika ku teringat Sinta, setelah ku melihat rumah-rumah yang begitu berserakan saking banyaknya di jakarta ini.
Sejenak ku termenung memikirkannya, ku ambil handphone yang berada di atas nakas kamar, karena berbunyi ada panggilan.
"Hallo, Bu. Ini saya, Cindy,"
"Iya, Cindy ada apa?" Tanyaku kebingungan.
"Ini, Bu. Hari ini dan dua hari kedepannya, saya tidak bisa masuk kerja, karena ibu saya sakit, maafin saya ya, Bu," dia berbicara penuh gelisah, karena ibunya yang sedang sakit keras.
"Ya ampun, iya Cin. Kamu boleh bolos. Yang penting sekarang, kamu urusin dulu ibu kamu sampai sembuh. Biar urusan butik, aku yang akan bertanggung jawab. Kamu tenang saja jangan khawatir,"
"Terima kasih,ya Bu. Ibu memang orang yang sangat bijak dan perhatian," naa bicaranya memelas.
"Sudah lah Cin, kamu jangan memuji saya seperti itu, itu sangat berlebihan," pekikku karena ku benar-benar dari dasar hati, apalagi mendengar kata sakit, semuanya bukan kamuflase.
"Ia, Bu. Saya minta maaf, sekali lagi terimakasih banyak ya, Bu,"
"Sama-sama Cin. Semoga ibumu lekas sembuh dan kamu bisa cepat masuk kerja lagi," ku berjalan menuju kamar mandi dan menutup teleponnya.
Sebelum membersihkan diri aku sempat menekan voice di WA untuk kemudian dikirim ke Rany di kantor. Bahwa hari ini, aku tak bisa masuk kantor, karena harus mengurus butikku. Setelah beberapa detik dia pun membalasnya, tak papa katanya semuanya skan baik-baik saja. Baru setelah itu aku pergi dan mandi.
"Selamat siang, Bu," panggil para karyawan menyapaku ramah dan sopan.
"Siang juga." Jawabku seraya masuk kedalam.
Pukul delapan tiga puluh, para pelanggan mulai berdatangan dan para karyawan pun dengan sigap menyambut dan membantu pelanggannya untuk memilih pakaian yang ada di sini. Sebenarnya dalam hatiku masih tak tenang, karena kepikiran Sinta terus. Bagaimana nasibnya sekarang, belum lagi dia harus mengurus anaknya yang masih kecil. Setelah ada kesempatan, nanti aku akan sempet-sempetin mencari dan menanyakan dia di cafe minggu lalu.
Setelah beberapa hari Cindy pun masuk kerja lagi, begitu dengan aku, aku beraktivitas seperti biasa setiap hari dengan Pergi ke kantor. Sepulang dari kantor, aku pergi ke cafe yang waktu itu dipakai meeting bersama klien.
Hari ini aku datang sendiri, tanpa ditemani pak tarno. Dengan sengaja aku tak memberi tahu beliau, karena memang aku harus pergi sendiri. Mudah-mudahan hari ini aku bertemu dengan Sinta.
Ku bergegas masuk setelah sampai disana, berjalan menuju ruangan manajer cafe tersebut. Aku tak mau kesana- kemari untuk mencarinya, yang ada malah nihil, seperti yang kemaren-maren. Maka dari itu, aku langsung saja temui manajernya.
Aku datang menghampiri salah seorang pegawai wanita untuk menanyakan dimana ruangan manajer cafe ini. Dia pun menunjukkan arah dimana ruangan itu berada.
Setelah ku berjalan menuju ruangan tersebut, tiba-tiba seorang perempuan cantik, muda dan berpenampilan elegan, keluar dari dalam ruangan tersebut.
Dia tersenyum ketika melihat kearahku. Saat itu juga aku menghampirinya.
"Maaf, mbak," panggilku yang membuat langkahnya seketika terhenti.
Ia membalik wajahnya yang cantik dan menatap ke arahku.
"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Perempuan cantik itu menyapaku dengan sopan.
"Iya, mbak. Saya ada perlu sebentar, apakah mbak ada waktu?" Tanyaku kembali, takut beliau sedang sibuk.
"Oh, iya Bu. Saya santai kok, nggak ada pekerjaan. Kalau begitu kita ngobrolnya di dalam, yuk," ia mengajakku mengobrol di dalam, supaya lebih santai dan tak berdiri seperti ini. Ia memang perempuan cantik, baik dan mengerti sopan santun. Itu yang aku lihat dari dirinya. Aku langsung menanyakan kepada manajer muda tersebut. Tapi beliau tidak mengijinkan aku bertemu dengannya, kenapa? Apakah Sinta sudah tahu, kalau aku akan mencarinya? Tapi mengapa dia tak mau bertemu denganku?