Tapi waktu aku telepon pak parto, sepertinya dia lagi dalam keadaan shock dan ketakutan. Kenapa dia, apakah ada masalah?
Tak lama pak tarno datang, dan masuk kedalam. Kusuruh dia membawa kardus tersebut dan menanyakan, kenapa dia seperti kebingungan.
"Tadi kenapa, pak. Kok kaya ketakutan gitu? Tanyaku penasaran.
"Oh itu, non. Tadi Bapak hampir keserempet motor yang lewat, yang jalannya kenceng amat, jadi bapak kaget dan shock. Soalnya bapak baru keluar dari dalam mobil, terus motor itu lewat begitu saja, dekat pintu mobil pula," terangnya masih agak grogi.
"Tapi pak tarno nggak papa, kan. Nggak ada yang luka?" Aku dan Rany panik ketika mendengar nya, takut beliau kenapa-napa.
"Nggak papa kok, non. Cuman kaget saja," jaabnya.
"Yasudah, kalau begitu. tolong bawakan ini, ke dalam bagasi," titahku pada padanya.
Dia Pun mengambil barang tersebut dan kemudian kembali keluar dan tak lupa dia permisi terlebih dulu.
Setelah selesai Rany pun juga pergi keluar ruangan, untuk kembali bekerja. Di dalam ruangan tinggalah aku sendiri. Aku kembali merenung memikirkan seseorang yang mirip dengan Alvin, yang tadi pagi batu saja kulihat. Penasaran, kalau iyu memsng benar Alhin, kenapa dia bersama dengan wanita lain, bukan Sinta istrinya. Apakah mataku yang sudah buram, atau itu bukan benar-benar bukan Sinta. Tapi aku melihat dengan jelas kalau laki-laki tersebut memang Alvin. Mau sampai kapan pun, aku tetap akan mengenali dia, maklum lelaki yang pernah singgah dalam hatiku dan menikahiku selama bertahun-tahun. Pasti akan selalu teringat dan mengenalinya, walau sudah lama tak pernah bertemu.
Apakah ini semua ada sangkutannya dengan wanita yang kulihat di cafe beberapa hari yang lalu? Ya tuhan, kalau memang benar, kenapa dia harus bekerja. Sedangkan Alvin, dia malah senang-senang dengan perempuan yang lain. Oh, astaga, jangan-jangan Alvin telah…. Tidak, itu tidak mungkin. mereka 'kan, sudah menikah dan kemungkinan sekarang Sinta sudah melahirkan dan punya anak. Tapi kenapa keadaannya sangat berbeda dengan kenyataannya.
Tapi aku mencoba berpikir positif, tak mau terlalu memikirkan hidup mereka. Nanti dibilang sebagai pengusik rumah tangganya, lagi. Sedangkan aku tahu sendiri sifat Sinta kaya gimana. Lebih baik aku selidiki ini dengan cara yang tenang, tak seperti sudah tahu sedikit kejanggalannya. Biar bagaimanapun dia itu pernah menjadi adikku, walaupun dengan status hanya sebagai adik pungut. Tapi rasa sayangku kepadanya telah mengalahkan rasa sakit yang telah dia berikan kepadaku. Selama ini aku tak pernah mengingatnya, bahkan menanyakan kabarnya, bertemu saja aku tak pernah.
Setahun lebih kami kehilangan kontak, tak pernah saling bicara. Aku ingin sekali bertemu dengannya, bukan untuk mengganggu rumah tangganya, tapi aku kangen sekali padanya, apalagi dengan anaknya, mungkin dia sudah lucu-lucunya. Memang dulu kami pernah bertikai soal Alvin, tapi kali ini aku benar-benar tak pernah ada rasa lagi dengannya. Ketika dia menikah pun kami masih menjalin hubungan yang baik-baik saja. Aku melihat dan merasakannya sendiri, bagaimana dua mengundang dan menyambutku waktu itu.
Aku berencana akan bersilaturahmi ke rumahnya di kampung, setelah hari libur di kantor sudah tiba. daripada aku temui dia di cafe itu lagi, nanti salah orang lagi. Jadi malu kan aku. Lebih baik aku temui dia langsung ke rumahnya saja di kampung.
Tak lama waktu sudah menujukan pukull sebelas siang. seperti biasanya aku harus pergi ke butik, untuk memeriksa sekalian bekerja dengan para karyawan ku disana dan itu semua sudah ada izin dari pak Ariya, sejak dari saya merilis dan membangun butik itu hingga sampai sekarang ini.
"Hai, Bu. Selamat siang," Cindy menyapaku dengan ramah.
"Siang," kujawab sembari duduk di kursi.
Disana pelanggan mulai berkurang, mungkin karena waktu sudah mulai sore.
Tak lama terdengar seorang pelanggan memanggil Cindy.
"Hai, mbak. Bantuin saya cairkan pakaian yang elegan dan bagus, buat ibu hamil seperti saya. Buat dipakai ke sebuah pesta," terdengar obrolan mereka dengan jelas.
"Baik, Bu. Mari Bu saya antar," terdengar dengan sopan dia menyapa pelanggan.
Aku hanya diam di kursi sambil bersantai.
"Mas, Sini dong… bantuin aku," teriaknya terdengar manja.
"Ia sayang, ada apa?" Suara itu terdengar tidak asing di telingaku, sepertinya aku pernah mendengar suara tersebut. Tapi dimana dan siapa pula?
Rasa penasaranku mulai muncul. suara itu terdengar kembali dengan jelas, ya, aku benar-benar yakin kalau itu adalah suara Alvin. Ku berdiri dan berjalan menuju suara itu berada. Tapi suara itu terdengar semakin jelas, ternyata mereka berjalan menuju ke arahku. Dengan seketika aku berbalik arah ketempat yang lain berjalan sambil mengendap-ngendap. Ku intip pembicaraan mereka diantara pakaian-pakaian yang menggantung disana. Ternyata benar kalau memang Alvin.
Ya tuhan, apa Sinta dikhianati?" Aku berprasangka terhadap Alvin.
Tapi aku tak boleh bersangka buruk terlebih dahulu, nanti aku akan menimbulkan fitnah terhadap mereka. Setelah ku selidiki, terlihat Alvin, memeluk, mencium keningnya, serta menggandeng mesra wanita itu. Terlihat dengan jelas sekali, wanita itu sedang hamil tua dan berperilaku layaknya pasangan bermanja-manja mesra. Aku yakin, kalau laki-laki itu adalah Alvin. Dasar lelaki hidung belang, bisanya mainin perasaan perempuan saja.
Kasihan Sinta, pasti beliau belum tahu suaminya seperti itu, atau mungkin ini adalah karma buat dirinya, karena apa yang dia lakukan dulu dengan suamiku sungguh keterlaluan, hingga dia hamil.
Tapi aku tak pernah mengutuk atau mendoakan mereka menjadi seperti itu. Aku sendiri sungguh tak mengerti dengan semua yang kulihat beberapa hari terakhir ini.
Hari libur kantor telah tiba, setelah menunggu beberapa hari sebelumnya. Hari minggu ini aku bermaksud akan mengunjungi kediaman Sinta di kampung, dengan di temani pak parto sebagai sopir sekaligus pengawal pribadiku.
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun lebih awal, untuk mempersiapkan diri pergi kesana. Aku keluar dari kamar dan bergegas menuruni anak tangga, untuk membangunkan pak tarno. Karena beliau belum tahu, kalau saya akan bepergian. Sore kemarin aku belum sempat memberitahunya, karena badanku terasa sangat lelah. Bukannya nggak sopan membangunkannya dini hari seperti ini, tapi aku takut kalau perginya agak siang, pasti akan kesiangan kesorean. Mengingat perjalanan yang jauh dari sini.
Ku berjalan menuju kamar beliau, walau dengan sedikit ragu, tapi aku harus tetap membangunkannya.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu yang telah ku ketuk.
"Pak, pak tarno,"
"Pak tarno ...," Ucapku kedua kalinya, meski agak ragu.
Tak lama pintu pun dibuka sama mbok inah. Terlihat dia masih ngantuk, dia menggisik kedua matanya pelan sambil sesekali menguap. Sebenarnya saya tak tega melihatnya, tapi harus bagaimana lagi.
Akupun segera memberitahu mbok inah, soal rencanaku sedari kemarin-kemarin Dan menyuruhnya untuk membangunkan pak tarno serta memberi tahu semuanya. Ia pun mengangguk, tanda dia telah mengerti semua maksud dan tujuananku.