Tapi mengingat lagi sama yang di atas, mengenai semua hal yang telah terjadi, itu sudah tercantum. Dibalik semua rencananya, sudah pasti ada hikmahnya.
Setelah beberapa menit kami berjalan, akhirnya kami pun sampai. Hingga bu Diana lututnya sampai kesakitan, mungkin karena perjalan yang rada jauh dan keadaan jalan yang cukup rusak. Bu Diana memang tidak pernah pergi ke tempat kumuh seperti ini.
Mereka terpaksa pergi kesini, karena mengingat kalau Alvin adalah anaknya. Walau mereka berat untuk melihat semua kenyataan pahit ini, kalau bukan hanya ingin melihat anaknya paling tidak untuk yang terakhir kalinya. Itu ucap pak Ariya tadi waktu ketemu di jalan.
Terlihat Sinta menyambutku, dengan mengenakan kebaya lengkap dengan hiasannya, beliau terlihat sangat cantik dan anggun. Sangat terlihat pangling. Dia datang menghampiriku, sembari tersenyum ke arahku.
"Kak, kakak baru sampai," sapanya, seraya memeluk ku.
Aku hanya tersenyum dan membalas pelukannya. Terlihat wajah pak Ariya dan Bu Diana, begitu cuek dan tak merespon,
mereka terus saja berjalan kedepan untuk mencari Alvin.
Mereka bertemu dengan Alvin, saat salah seorang memanggil Alvin, mungkin ia adalah tetangganya. Mereka Pun bertemu, terlihat mereka saling berpelukan dan Bu Diana menangis terharu setelah sekian lamanya, tak bertemu dengan anaknya. Mereka terlihat sangat bahagia bisa bertemu dan kembali menjalin hubungan sebagai keluarga. Walaupun sekarang dia masih harus terpisah dengan orang tuanya, karena mereka masih belum bisa terima sinta sebagai menantunya. Mungkin hubungan mereka tak akan seperti dulu lagi. Yang mereka lakukan hanyalah untuk bersilaturahmi saja kepada Alvin.
Tak lama terdengar teriakan dari seorang ibu-ibu berpakaian kebaya. Sepertinya itu adalah ibunya Sinta. Beliau menghampiri kami. Seperti biasa mereka menyambut dan menyapa kamu dengan ramah. Mereka dipanggil untuk segera melaksanakan ijab kabul, karena pak penghulu sudah menunggu dari tadi. Katanya Sinta tak mau melakukan ijab Qobul, sebelum aku datang kemari.
Sinta menggandengku masuk kedalam rumah yang terlihat sederhana itu, kulihat dengan sisi mataku, terlihat perut Sinta semakin membesar mungkin kehamilannya sudah menginjak hampir lima bulan. Ku Teringat ketika ia merengek minta dinikahkan dengan Alvin, karena takut kandungannya semakin hari semakin membesar. Dia takut akan ada banyak gunjingan mengenai dirinya dari warga sekitar. Andaikan saja dia dan Alvin tidak punya siasat buruk terhadapku, mungkin waktu itu aku akan mengizinkan mereka menikah terlebih dahulu. Tapi mungkin iya, takdir memang berkata lain. Kita serahkan semua hanya kepada yang maha kuasa.
Ijab Qobul mereka pun dilaksanakan, aku sendiri telah menyaksikan pernikahan mantan suami dan mantan adikku itu. Memang dalam hati kecilku, aku sedikit merasa risih. Diliatin banyak orang, mungkin mereka sedang membicarakan kami semua. Tapi itu semua kutepis dengan senyuman. Biarlah mereka ngomong apa saja tentang kami, toh mereka tak pernah merasakan jadi hidup seperti kami dulu. Wajar saja kalau mereka sedang gosipin kami.
****
Beberapa bulan setelah hari itu, aku merasakan kebahagiaan, walau tanpa ada mereka disisiku. Masih ada banyak yang mensupport aku untuk hidup lebih berbahagia lagi, dengan bersyukur kepada allah. Minggu depan aku berencana untuk pergi umroh, yang sempat tertunda karena kasus persidangan yang cukup lama, hanya untuk perpisahanku dengan Alvin.
Setelah semua persiapan untuk pergi umroh sudah selesai, akhirnya aku pun berangkat juga ke tempat dimana nabi melakukan tugasnya sebagai nabi allah. Kupijakan kakiku untuk yang sekian kalinya aku kesini bersama Alvin. Dimana tanah yang bercampur teras itu memenuhi seluruh bagian telapak kakiku. Aku bersujud memohon di hadapan ka'bah, untuk semua ujian dan kebahagiaan yang telah engkau berikan kepadaku dan bersyukur telah dipertemukan kembali disini, di tempat ini, yang sama sekali belum pernah berubah, masih seperti yang kemarin.
Ku Pergi untuk mengambil wudhu. yang berada di samping masjidil haram. Setelah selesai, aku masuk kedalam untuk berdoa dan mendoakan semua orang yang aku sayangi, termasuk ayah dan ibuku yang telah meninggal dan pergi untuk selamanya. Ku Ciumi hajar aswad yang terletak di dalam masjidil haram tersebut. Bermaksud untuk rasa syukur atas kebesaran Allah yang telah dia berikan kepada umatnya selama ini dan tidak ada tandingannya selain dia yang maha pencipta.
Ku adukan semua keluh-kesah yang selama ini menimpa diriku dan keluargaku. Dan memohon agar hidup ini lebih baik lagi untuk semuanya. Baik didunia, maupun diakhirat.
Aku mengelilingi ka'bah yang menjulang tinggi dan besar di hadapanku sekarang ini. Untuk melakukan thawaf dengan Melakukan tujuh putaran diiringi dengan sholawat, labbaik allahumma labbaik, labbaik laa syariika laka labbaik, innal hamda wanni'mata laka wal mulk, laa syarika laka labbaik. Yang artinya: kudatang ya allah, aku penuhi panggilanmu. Kusambut panggilan-mu, dan tiada sekutu bagi-mu.
Selama aku disana hatiku semakin tentram lagi, tak ada ganjalan apapun dihati, yang membuatku bingung dan sebagainya. Aku melakukan berbagai aktivitas yang harus dilakukan saat umroh. Melakukan shalat dua rakaat di depan makam nabi ibrahim bersama dengan rombongan. Kemudian berjalan menuju air zam-zam sembari beristirahat disana. Keesokan harinya kami pergi untuk melakukan sa'i sebanyak tujuh kali dan yang terakhir kami bertahlull bersama sampai dengan selesai.
Selama sembilan hari itu kami melakukan satu persatu kegiatan tersebut. Hingga pada akhirnya selesailah, semua kegiatan saat umroh yang aku jalani. Bersyukur sekali bisa bertemu lagi di tempat yang indah, bersih dan suci ini. Mudah-mudahan tahun-tahun depannya lagi, aku masih bisa berkunjung dan dipertemukan kembali ditempat ini.
Sebelum aku pulang ke tanah airku indonesia, aku menyempatkan diri untuk berbelanja makanan dan berbagai barang yang antik khas arab saudi untuk diberikan kepada orang-orang di rumah sebagai kenang-kenangan.
Aku beserta rombongan yang melaksanakan umroh disana. Kembali bersama-sama ke bandara, untuk kembali pulang bersama ke tanah air.
Pada pukul sebelas siang kami pun sampai di bandara internasional halim perdana kusuma. Bergegas aku menghubungi pak tarno untuk segera menjemputku disini. Sembari menunggu pak tarno datang, aku memainkan handphone yang sedang ku pegang.
Tiba-tiba ada kontak masuk ke gawaiku, ternyata Rany.
"Hallo, Ran?" Ku angkat panggilan dari Rany.
"Hallo juga, Bu. Saya mau tanya, Apa benar ibu sekarang sudah di bandara?" Tanyanya.
"Iya, Ran. Saya lagi di bandara," ucapku santai.
"Yaudah. Sekarang aku jemput, yah," pintanya, terdengar tergesa-gesa.
"Nggak usah, Ran. Saya sudah suruh pak tarno untuk jemput saya, mungkin dia sekarang lagi dijalan menuju kesini, kamu nggak usah khawatir," jelasku padanya.
"Tapi, Bu. Kenapa ibu nggak ngabarin saya terlebih dahulu? Sayakan bisa jemput, ibu," tanyanya, dengan nada suara sangat rendah.
"Udah, nggak papa, kok. Lagian kamu juga sibuk, kan?" Elakku.
Kasihan dia terlalu kecapean, aku nggak mau ngerepotin dia terus, terlebih dia sudah mengurus semua kebutuhan ku disana dan mengurus perjalananku untuk pergi umroh. Ditambah lagi dia harus memegang bagian tugasku selama aku nggak ada.
"Sesibuk apapun disini, saya pasti akan mendahulukan ibu terlebih dahulu. ibu itu lebih penting dari yang lainnya," eyelannya, kekeh.
"Sudah nggak papa,Ran. Tuh, pak tarno, dia sudah sampai," terlihat pak tarno berjalan menuju ke arahku.
"Beneran,Bu,"
"Iya, beneran. Ya sudah, kalau gitu aku tutup dulu teleponnya, yah. Pak tarno sudah datang," ucapku seraya memutus teleponnya.