Chereads / Cinta Noda Hitam / Chapter 22 - rencana Alvin untuk menikahi Sinta

Chapter 22 - rencana Alvin untuk menikahi Sinta

Sengaja ku pendam dalam-dalam. Karena saat ini bukan waktunya untuk berdebat. Sekarang Alvin lagi sakit, dia butuh kasih sayang orang terdekatnya. Aku diam saja dan kusuruh Sinta pergi untuk menjenguk Alvin.

"Sudah lah, Sin. mending sekarang kamu pergi temui Alvin, dia sangat membutuhkanmu."  Suruhku pada Sinta.

Sinta langsung pergi untuk menemui Alvin, tetapi kulihat dia pergi menuju kamarku, bukan kamar Alvin.Tapi aku berpikir jernih, tak mau banyak pertikaian lagi, rasanya sudah capek. Mungkin dia belum tahu kalau Alvin Sekarang berada di kamar tamu.

"Sinta, Alvin tidak ada disitu. dia berada di kamar tamu," teriakku takut tak terdengar, karena posisi kami sudah berjauhan.

Sinta pun melihat ke arahku dan berbelok menuju kamar tamu. Dia melangkah begitu tergesa-gesanya. Kubiarkan mereka berdua disana. Sangatlah malas jika aku harus menonton drama yang akan di lakukan dua insan tersebut.

Kali ini aku benar-benar ingin melupakan dan memulai hidup yang baru, tapi keberadaan Alvin di rumah ini, membuatku menjadi plin-plan. Semua rencana yang sudah kutata dari kemarin-kemarin dengan baik, harus terhenti seketika dan menjadi berantakan. Hanya karena ada Alvin dirumah ini.

Setelah beberapa jam mereka berada di dalam. Terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Terlihat Sinta sama Alvin bergandengan, mungkin kondisi Alvin sudah membaik dari sebelumnya. Mereka datang menghampiriku dan duduk di sofa, tepat disampingku.

Aku membuang muka ke arah yang lain dan akan menghindar dari mereka berdua. 

"Mau kemana, kak?" Terdengar suara Sinta memanggilku, yang seketika menghentikan langkahku.

"Iya, mau kemana, Ren. Apa aku mengganggu kamu? " Sahut Alvin kemudian.

"Saya mau istirahat, capek," jawabku ketus. Sembari kembali berjalan.

"Tunggu Ren, mas mau bicara. Sebentar, saja," ujarnya sembari berdiri menatap ke arahku.

"Ada apa lagi sih, Alvin. Semuanya kan sudah jelas. Tinggal kamu yang harus memutuskan semuanya. Bereskan," ucapku tegas.

"Iya, mas tau. Kalau kamu pergi, gimana mas bisa ngejelasinnya," Alvin menolakku untuk pergi.

Aku duduk kembali ke sofa tersebut. Berharap Alvin akan memberi keputusannya sekarang. Terlihat Alvin melepas tangan Sinta dari dirinya. Dia menghela nafas panjang, sembari menundukan kepalanya ke bawah.  Kondisinya seperti belum pulih kembali, ia terlihat lemas, sorot matanya begitu celong saat menatap kearahku.

"Apa kamu sudah baikan, Alvin?" Tanyaku penasaran.

"Dia baik-baik saja kok, kak. Makanya aku bawa kesini," sahutnya Sinta.

"Kalau kamu belum mendingan, kenapa kamu bangun?" Kasihan ketika melihat dia lemas seperti itu.

Ya, namanya juga hati manusia, kadang lemah, kadang juga kuat. Kali ini hatiku sedang dalam keadaan dilema. Menunggu keputusan Alvin sekarang. Biar bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dalam hidupku, yang selalu melengkapi keseharianku. Hati manusia memang susah untuk di tebak. Tak tahu hati yang sebenarnya jujur atau tidaknya. Terkadang aku bimbang, harus berpisah atau nggaknya dengan Alvin. Hatiku mengatakan kalau keputusanku ini sudah benar, tapi hati yang lain mengatakan begitu berat untuk melepasnya.

Ya tuhan, kuatkanlah hatiku ini, jangan biarkan perasaan ini menjadi bimbang seperti ini. Aku harus tetap dengan keputusanku yang kemarin, tak boleh berubah-ubah lagi. Berusaha untuk tak peduli lagi dan memikirkan hal lebih baik lagi, untuk masa depanku nanti.

"Mas nggak papa, kok. Mas udah mendingan," ucapnya seraya mengulas senyum ke arahku.

Aku sedikit mengangguk, dalam hati aku merasa lega ketika mendengarnya. Tapi tak ku tunjukan di depannya.

"Jadi, gimana, Ren. Dengan keputusanmu itu, apakah kamu sudah yakin, kalau kamu ingin berpisah denganku?" Dengan sedikit terbata-bata dia berbicara.

Mungkin Alvin sekarang sudah punya keputusan yang tepat untuk semua ini.

Deg! Deg! Deg! 

Detak jantungku berdebar kencang, saat akan mendengarkan keputusannya Alvin.

"Kamu tahu sendiri kan, Alvin. keputusanku itu kaya gimana," sahutku walau dalam hati berkecamuk ketegangan.

Dengan rasa perasaan yang begitu gelisah. Perasaan khawatir dalam jiwaku, antara takut kehilangan, sedih, tapi ada juga perasaan lega yang sudah membebaskan semua belenggu dalam jiwaku.

Mungkin dengan Alvin yang sudah memutuskan semua keputusanku. Aku hanya harus bersiap-siap untuk menata hidupku untuk kedepannya agar lebih baik lagi. Besar kemungkinan ini adalah saat terakhirku melihat Alvin dan Sinta. Dua orang yang sangat aku sayangi. 

"Iya, Ren. Maafin mas sebelumnya, yah. Mas terlalu banyak salah sama kamu dan maafin mas, sudah banyak menghianatimu selama ini. Mas menyesal, mas minta maaf," suara yang begitu mengkhawatirkan menyentuh kedalam hati sanubariku.

Aku diam tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun. Diam, bukan berarti aku tidak menghargai perkataan Alvin. Tapi hanya untuk membuat Alvin lebih peka, seakan menyuruh Alvin untuk segera mengambil keputusan.

"Ayo dong, mas. Kamu tinggal bilang aja ke pokoknya, jangan bertele-tele lagi, aku sudah gerah." Sinta menyahut kemudian.

Berarti mereka berdua sudah berbincang dan memutuskannya tadi didalam. 

"Iya, mas. Sinta benar, mendingan kamu cepat putusin keputusanmu. jangan buang-buang waktuku, karena aku akan segera pergi ke kantor, karena sudah kesiangan," ucapku. tak sabar dengan keputusannya.

Walau dengan hati yang sedikit gelisah, akan mendengar keputusan Alvin. Antara ikhlas dan tidak ikhlas untuk berpisah dengannya. tapi aku harus tetap mengikhlaskannya, karena ada yang lebih jauh membutuhkannya di banding aku. Tidak mudah memang melepas seseorang yang teramat kita sayangi dan kita cintai. Tapi ku serahkan kembali kepada tuhan yang maha adil dan bijaksana. Mungkin dia sudah mempersiapkan kebahagiaan sebagai gantinya nanti untukku.

"Ren, mas mau tanya sekali lagi sama kamu. Apakah keputusanmu ini sudah bulat, ingin berpisah denganku? Apakah sudah benar-benar kamu pikirkan dengan matang, atau hanya karena ambisimu saja?" Tanya Alvin menatap lekat kearahku.

"Tidak Alvin, aku sudah memikirkannya  lama dari sebelum kau putuskan, aku sudah berniat untuk segera bercerai denganku," menata perasaan lebih kuat lagi, agar lebih bisa menghadapi semua keputusannya. 

"Kalau begitu, mas akan menerima keputusanmu, untuk berpisah denganmu. Tapi dengan satu syarat!"  Dia memberi sebuah syarat kepadaku.

Aku sedikit ragu akan keputusannya. sebenarnya apa yang mereka berdua rencanakan, tadi waktu di dalam. 

"Syarat! Syarat apa Alvin?" Penasaran.

"Iya, syarat untuk bercerai denganmu," ucapnya.

Kenapa Alvin mengajukan sebuah syarat?  sebenarnya, apa yang dia inginkan dariku sekarang? Aku mulai mulai sedikit curiga padanya.

"Ya sudah, apa syaratnya!" Kuterima dengan sedikit labil persyaratannya.

Terlihat Alvin dan Sinta mereka berdua saling melirik satu sama lain. Seperti asa sebuah siasat yang mereka rencanakkan.

"Baik, mas akan segera menceraikan mu. tapi terlebih dahulu mas akan menikahi Sinta, sebelum kita resmi untuk bercerai," dari yang tadi terlihat lemas, mendadak dia menjadi lebih bugar seperti biasanya.

"Tapi, mas. Aku ingin kamu ceraikan aku lebih dulu, baru setelah itu kamu nikahi Sinta," ucapku keras.

"Kakak memang nggak punya hati. Apakah kakak nggak lihat, perut Sinta makin hari makin tambah besar. Belum lagi harus nungguin kalian berdua bercerai, yang proses nya cukup lama. Apakah kakak nggak, kasihan sama aku," tembal Sinta dengan tegas dan keras.

Aku berpikir kalau yang dikatakan Sinta itu memang benar, pasti dia akan dihina banyak orang, dicaci, dimaki dan banyak lagi omongan-omongan yang buruk terhadapnya. Kasihan dia, aku tak boleh egois dan memikirkan diriku sendiri.