Tapi tak ku temukan apa-apa disini, hanyalah suara itu terdengar semakin begitu jelas, seperti mendekatiku. Kuirik ke sebelah samping rumahku. Ternyata…. Ada seseorang yang tertidur di kursi depan rumahku. Penasaran, ku dekati orang tersebut. Kenapa beliau tertidur disini. Hatiku mengatakan kalau itu adalah pak tarno. ya, dia supir pribadiku. Aku menghampiri dia bermaksud untuk membangunkan beliau agar tidak ketiduran di luar. Mungkin dia habis melakukan aktivitasnya disana hingga ketiduran." Kasihan pak tarno, mungkin ia kecapean." Ucapku dalam hati.
"Pak, pak tarno. Kenapa bapak tidur disini?" Ucapku sembari menepuk pelan pundaknya, karena posisi tidurnya menyamping.
Dia Pun terbangun dan melihat ke arahku. Terkejut bukan kepalang, ternyata yang ku bangunkan bukannya pak tarno, melainkan sesosok laki-laki yang sekarang ini masih berstatus sebagai suamiku. Ya, Alvin. Dia menatap lekat ke arahku dan berusaha bangun. Aku mundur sedikit demi sedikit dengan keadaan terpelongo saking kagetnya. kenapa dia sampai tidur di sini? dan apa yang dia lakukan? yang mana diluar sangatlah terasa dingin dan banyak nyamuk pula. Dia terlihat menggigil kedinginan, wajahnya sangat pucat, pakaiannya pun masih seperti tadi siang. Apakah dia tak mandi? tak makan? dan dia tak pulang? Oh astaga…. Aku baru ingat kalau sekarang dia tidak punya tempat tinggal. orang tuanya sudah mencoret dia dari keluarganya dan tidak ingin bertemu lagi dengannya. Belum lagi dia baru bangun dari sakit dan komanya, yang kondisinya belum fit seperti sedia kala lagi. Sebegitu kejamnya aku, kenapa aku tak memikirkan sampai kesana, kupikir dia akan ikut Sinta pulang ke rumahnya.
"Alvin…. Apakah itu, kamu?" tanyaku kasian.
Ia sangat terlihat kedinginan, badannya menggigil. kasihan sekali Alvin. Segera ku panggil mbok mimin. Ya, dia ART dirumah ini.
"Mbok ...! mbok ...! Teriakku kedalam.
Tak lama mbok mimin dan pak tarno datang menghampiriku.
"Iya, ada apa, non? Mbok mimin terlihat tergesa-gesa.
"Itu, mbok," Ku tunjuk Alvin.
Mbok mimin dan pak tarno melirik kemana arah yang saya tunjukan. Mereka terlihat sangat kebingungan. Saling lirik satu sama lain.
"Ada apa, mbok?" Tanyaku penasaran.
"Maaf, Bu. Kami sudah tahu. pak Alvin memang memaksa ingin bermalam disini dari tadi sore." Jawab mbok mimin.
"Iya, Bu. Tapi kami tidak berani memasukkan beliau kedalam rumah, karena takut ibu akan marah." Tembal pak tarno.
Aku memegang jidat, karena memang semua ini adalah salahku. Aku yang selama ini menyuruh mereka menjauhi Alvin. "Ini semua memang salahku." Ucapku dalam hati.
"Ya sudah, pak. Tolong bawa dia ke dalam rumah." Titahku pada beliau dengan dibantu mbok mimin.
Setelah sampai di kamar tamu, dia dibaringkan di atas kasur dengan kemudian dipakaikan selimut tebal. Rasanya ingin sekali aku merawatnya. Tapi itu hanya akan membuat Alvin semakin merasa kalau aku telah memberi harapan kepadanya. Keadaan Alvin sangatlah menyedihkan, segera ku suruh mbok mimin untuk merawatnya.
"Mbok, tolong kompres dia, yah? Sepertinya dia demam, dan tolong rawat dia sampai sembuh," ucapku sambil keluar dari dalam sana.
Si mbok mengangguk, sambil membawa air hangat dan handuk kecil untuk mengompres Alvin. Ia terlihat gercep mengurus Alvin, aku percaya sepenuhnya pada beliau dengan dibantu suaminya pak tarno. Aku kembali ke kamarku, dan memikirkan hal yang baru saja ku lihat.
Ya tuhan, apakah aku ini terlalu jahat pada Alvin? Haruskah aku merawatnya? Tapi bagaimana dengan hati ini, apakah aku tidak akan terluka bila aku sering bertemu dengannya, dikala aku mengingatnya? Tapi aku tak boleh membiarkan semua ini terjadi. Sebelum semuanya itu terjadi, aku harus segera melakukan sesuatu yang harus membuatku menjauh dari semua hal yang dapat membuatku menyesal pada akhirnya.
Semalaman aku tak tertidur, mata dan hatiku seakan membawaku kemasa-masa yang sudah terlewatkan bersama Alvin dan Sinta. Yang membuatku tak terasa ngantuk sedikitpun.
Pagi ini aku berencana untuk memberitahu Sinta soal keadaan Alvin. Ku suruh pak tarno untuk memberitahunya sekalian menjamputnya.
Setelah beberapa menit, terdengar suara Sinta dari teras rumah dengan tergesa-gesa. Menghampiriku yang saat itu sedang duduk di sofa.
"Kak, dimana mas Alvin, apakah dia baik-baik saja?" Tanyanya khawatir.
Terlihat Sinta sangat mengkhawatirkan Alvin. Aku berdiri dari sofa yang telah aku duduki dari sejak pagi. Dan mencoba menjawab semua pertanyaan Sinta. Walau bibir ini terasa berat untuk berbicara padanya. Tapi semua ini demi Alvin. supaya dia ada yang merawat dan memperhatikannya. Yang jelas bukan aku. sebagai manusia aku memang punya hati dan perasaan, tapi untuk diberikan kepada orang yang jelas bukan pengkhianat seperti Alvin. aku ingin bersama dengan orang yang baik dan tulus menyayangiku dari lubuk hati yang paling dalam, tapi bukan orang seperti Sinta.
"Dia dikamar, si mbok sudah merawatnya semalaman. kamu tenang saja, dia pasti akan baik-baik saja" jawabku singkat.
"Baik-baik gimana, orang sakit dibilang nggak papah. kakak ini gimana, sih. Apa jangan-jangan, kakak yang membuatnya sakit seperti itu? Tekannya padaku.
Aku memang marah, aku memang benci pada Sinta. Ingin rasanya menampar wajahnya yang polos itu. tapi kali ini mungkin Sinta memang benar, semua ini mungkin salahku. Tapi Sinta nggak seharusnya terus memojokkan aku dalam hal ini, dia juga harus bertanggung jawab. karena dia sendiri yang sudah menciptakan semua drama yang telah terjadi dengan keluarga ini.
"Kamu jangan asal ngomong ya, Sinta. Kamu sendiri yang bilang sama aku, kalau aku yang selalu deketin dia lagi. Lantas, dimana salahku?" Ucapanku sedikit menyentak Sinta.
"Salah kakak adalah, kenapa kakak harus membiarkan mas Alvin sakit seperti ini, diakan suami kakak?" Bentaknya lagi.
"Yang jelasnya, bukan suami, tapi calon mantan suami. Itu lebih cocok untuknya sekarang. lagian, kamu yang sudah ninggalin dia sendirian disini,"
"Kakak jangan nuduh aku seperti itu. Kemarin aku sudah ajak dia pulang bersamaku, tapi dia tetap ngeyel nggak mau, katanya dia ingin bersama kakak disini. Aku sudah memaksanya dan memberitahu dia, kalau kakak nggak akan ngijinin dia tinggal bersamanya lagi. Tapi dia terus membantah."
"Lagian, kenapa, sih. Kok kakak tega banget tak ngijinin mas Alvin masuk? Dimana hati nurani kakak," lanjutnya kemudian.
Nggak ngijinin dia masuk katanya, nggak peduli, nggak punya perasaan, nggak punya hati pula. Itu kata Sinta. Andai saja aku bisa membalikan semua perkataannya terhadapku. aku ingin sekali berkata "siapa yang tega, siapa yang tak peduli dan siapa pula yang tak punya hati dan perasaan, kamu Sinta, bukan aku. Kamu nggak pernah mikirin semua hal yang akan terjadi terhadapku, termasuk hati dan perasaanku. Di saat kamu melakukan semua pengkhianatanmu dan keliaranmu dengan Alvin, sama sekali tidak, Sinta." Ku Utarakan semuanya dalam hati. Sengaja ku pendam dalam-dalam, karena sekarang bukan waktunya untuk berdebat. Alvin sedang sakit, jadi dia perlu kasih sayang dari orang terdekatnya. Aku hanya diam dan menyuruh Sinta pergi untuk menemui Alvin.