Terlihat wajah Alvin mendadak semakin menegang. Tak terima dengan semua ucapanku terhadapnya.
"Tidak, Rena. Aku tidak akan menikahi dirinya. Aku tidak mencintainya," jawab Alvin penuh kekesalan.
"Maksud kamu apa sih, Mas. Dulu ajah kamu bilang cinta sama aku, sekarang malah menaklidnya. Mau kamu apa sih, mas?" Tembal sinta menyengak.
Ia tidak terima dengan kejujuran Alvin, yang telah menyakiti hatinya. Mana ada seorang laki-laki hidung belang yang melakukan kemauannya, dengan didasari rasa cinta. semua itu hanyalah karena nafsu bejatnya saja.
Mau memohon sampai nangis darah pun, aku akan tetap dengan pendirianku. Kalau memaafkan pasti ada, tapi untuk kembali hidup bersamanya, itu tidak mungkin. Tidak mudah untukku melupakan semua yang telah terjadi. Terlalu banyak hal yang menyakitkan hati dan perasaanku.
"Alvin ... Alvin ... Kamu itu memang seperti anjing liar, mampu bermain dengan banyak wanita. Setelah bosan kau tinggalkan begitu saja. Sama halnya dengan Sinta. setelah dia hamil, kamu tak mau bertanggung jawab. Dimana hati nuranimu Alvin." Ucapku.
"Rena, maafin mas. Mas janji tidak akan mengulanginya lagi. Mas sangat sayang sama kamu, mas nggak mau kehilangan kamu, Ren." Suara alvin terdengar merintih.
"Andai saja kamu tidak melakukan semua ini, Alvin. Mungkin semuanya tidak akan terjadi seperti ini. rumah tangga kita pasti akan terlihat baik-baik saja, damai dan tentram, seperti kebanyakan orang. Tapi semua ini sudah terlambat Alvin. Nasi sudah hancur menjadi bubur. tidak bisa berubah kembali menjadi seperti semula." Ujar bibirku penuh dengan kehancuran yang teramat mendalam.
Ku tata perasaan agar tak terlalu emosi dan berlebihan. Semua ini memang sudah terjadi. Mungkin gurat takdirku sudah dijabarkan seperti ini. Tapi aku yakin suatu saat aku pasti akan mendapat balasan yang setimpal dengan hidup lebih bahagia lagi. Tuhan telah membukakan mataku hatiku, untuk mengenal sosok Alvin yang telah menjadi suamiku selama ini. Aku tidak boleh memikirkan kebahagiaanku sendiri, disini ada seorang gadis yang telah menjadi adik pungutku selama ini menjadi korban kebejatan Alvin suamiku.
Aku harus bisa melepaskan Alvin, untuk Sinta. Biar bagaimanapun, dia adalah ayah dari janin yang dikandung Sinta. Ia harus mau tanggung jawab. Kasihan Sinta dia masih kecil, belum bisa menghadapi hidup sendirian apalagi dengan kondisinya yang sekarang ini sedang mengandung. Kutatap Sinta si kecil mungil yang yang aku jaga sedari kecil yang selalu aku lindungi dari temannya ketika bertengkar. Kini telah berubah menjadi gadis cantik yang sempurna di mataku. hidupnya telah berubah drastis, tidak seperti anak lainnya yang masih sekolah dan bermain layaknya seorang gadis remaja yang sedang dalam tahap pertumbuhan hormon akan percintaannya. Kini ia harus menanggung semua akibat perbuatannya yang liar. Dia harus dikekang dalam beberapa bulan kedepan, dengan membesarkan janin dalam kandungannya dan harus mengurus bayi yang telah ia lahirkan nanti. Sungguh malang nasibmu, dek." Gumamku dalam hati.
Sedih memang, tapi harus bagaimana lagi. Aku harus tetap terlihat tegas di mata mereka berdua.
"Ren, bisakah kamu memaafkan mas, sekali ini saja. Mas janji sama kamu, apapun yang kamu mau pasti akan kukabulkan," paksanya. seraya menyodorkan tangannya berusaha untuk menggapai tanganku.
Kutepis kedua tangan Alvin. tak sudi rasanya disentuh laki-laki yang pengecut seperti anak kecil itu.
"Tidak Alvin, sekarang aku tidak membutuhkanmu lagi. yang aku butuhkan sekarang hanyalah sikap adil sebagai lelaki yang bijaksana. ceraikan aku, dan cepat nikahi Sinta. Dia lebih membutuhkanmu sekarang ini, bukan aku," ucapkku masih bisa menahan emosi.
"Tapi, Ren ..." teriaknya.
"Tapi apa, Alvin. Sudah mulai sekarang tidak ada tapi-tapian. Aku capek, aku bosan, aku tidak mau lagi berdebat dengan kalian. Sekarang saya mohon sama kalian, tolong pergi tinggalkan tempat ini, kurasa sudah cukup sampai disini."
"Dan satu lagi, Alvin. Setelah pengacaraku nanti pulang, kita akan secepatnya urus perceraian kita." Lanjutku kembali seraya membalikkan badan berjalan menuju dalam rumahku. Dan menutup serta mengunci pintu tersebut.
Terdengar dari dalam mereka berdua masih ribut, tapi aku memilih tak menghiraukan mereka. Aku masuk kedalam kamar dan menenangkan diri di dalam.
Tak terasa angin yang begitu dingin seketika menyentuh tubuhku. Kubuka mataku, ternyata hari sudah larut malam, kusibak hordeng kamar menatap keluar melihat bintang-bintang yang berkedip-kedip menyapaku. Ku diam sejenak menatap bintang-bintang yang begitu indah. Tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam perutku, ternyata seharian aku belum makan. Makanan yang kupesan di cafe tadi siang, belum sempatku makan. Pantesan saja perutku terasa lapar.
Segera ku pergi keluar menuju dapur, untuk mengambil makanan yang telah si mbok siapkan dari tadi siang. Ku ambil nasi beserta lauknya dan langsung memakannya dengan lahap.
Ketika aku makan, keheningan malam mulai menyelimutiku. Rasa dingin menerpa sekujur tubuh, dan pundakku. Si mbok dan pak supir mungkin sudah tertidur pulas. Suasana sepi rumah sebesar ini, mulai membuatku tak nyam. Ketika aku menyantap makanannya. Tiba-tiba terdengar suara aneh dari luar rumah. Aku tak menghiraukannya, biarkan saja mungkin itu suara kucing.
Setelah selesai makan, seperti biasa aku membawa air di dalam gelas kecil. Ku Berjalan Menuju anak tangga yang ada di depanku. Terdengar lagi suara yang serupa, ketika aku sedang di dapur tadi. Ku Tengok kebelakang, sebenarnya aku agak ragu. Aku berusaha terus untuk tak menghiraukan suara tersebut. Tapi tetap saja suara itu terus saja terdengar di telingaku, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk memastikan suara apa yang ada di luar tersebut.
Ku berjalan pelan menuju pintu depan utama. Walau dengan sedikit perasan takut, tapi aku penasaran dengan suara tersebut, yang jelas-jelas berasal dari depan rumah. Ku tempelkan daun telingaku dan mendengarkan suara tersebut. Suara tersebut tidak begitu aneh di telingaku, tapi aku tetap harus memastikan asal muasal suara tersebut. Kulihat dari belakang dinding kaca melihat keluar, mengawasi setiap sudut di luar. Tapi tidak ada siapa-siapa.
Ah, mungkin itu hanyalah suara kucing atau kelelawar yang sering mampir di rumah ini. Aku memutar balik badan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ketika baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba suara itu terdengar lagi. Sebenarnya aku agak takut, sih. Tapi sekali lagi aku memberanikan diri untuk membuktikan suara tersebut. Ku Pegang gagang pintu itu, dan langsung membukanya.
Dinginnya angin malam menghampiriku, gelap gulita di sekitar pojokan rumah membuat malam terasa semakin sepi. Diiringi dengan suara-suara itu, yang membuat bulu kuduk semakin merinding. Ku berjalan pelan ke depan mencoba melihat-lihat sekeliling teras depan. Tapi tak ku temukan apa-apa disini, hanyalah suara itu semakin terdengar begitu jelas, seperti mendekatiku. Detak jantungku semakin tidak karuan, kulirik ke sebelah samping rumahku. ternyata ....