Setelah beranjak pergi dari cafe tersebut. Aku memanggil pak supir untuk pulang kerumah.
Setelah sampai aku masuk kedalam kamar. Tanpa berpikir panjang, aku melemparkan tas kecil yang tadi kubawa, serta merebahkan bobotku diatas kasur. Tanpa memikirkan pakaian dan badanku yang terasa berkeringat setelah bepergian. Tak ingat harus mandi dan berganti pakaian terlebih dahulu.
Kepalaku terasa terombang-ambing. membuatku pusing tujuh keliling. Harus memikirkan semua yang telah terjadi. Aku sudah berusaha untuk tidak mengingat semua pengakuan Fitri di Cafe tadi. Tapi suara itu terus saja menggeming terdengar di telingaku. Bahkan berkali-kali aku berteriak sendiri Tanpa aku sadari.
Aku memukuli kasur yang berada di bawah badanku sambil menangis keras. Hingga terdengar oleh si mbok yang lagi menyapu di lantai bawah.
Beberapa detik kemudian terdengar suara si mbok mengetuk pintu dari luar.
Tok! Tok! Tok!
"Bu.... kenapa Bu...?" Teriakannya dari luar.
Aku masih belum bisa menjawab mengingat kondisiku yang masih belum stabil. Segera ku susut air mata yang telah membasahi pipiku ini, berusaha untuk bangkit menstabilkan diri dan merapikan kembali rambut dan pakaian yang terlihat kusut dengan menggunakan kedua tanganku.
Terdengar si mbok masih saja mengetuk pintu dan terus memanggilku berkali-kali.
Segera kubuka pintu tersebut dan berusaha menenangkan diri agar tidak terlihat sedih di depannya.
Kreeet!
"Ada apa mbok?" Tanyaku seraya mengulas senyum.
Si mbok melihat-lihat seluruh badanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Serta meraba pelan tangan dan kakiku.
"Ibu nggak, papa?" Tanyanya panik.
Aku mengangkat kedua tanganku berusaha terlihat baik-baik saja di depan beliau. Aku nggak mau dianggap sebagai wanita yang cengeng. aku harus terlihat tegar dan biasa-biasa saja, agar mereka semua yang menyayangiku tidak ikut bersedih karena melihatku bersedih.
"Aku baik-baik saja mbok. memangnya, ada apa?" Ucapku masih berusaha tegar.
"Tadi si mbok mendengar suara teriakan dari kamar ibu. si mbok khawatir, dan langsung berlari menuju kesini," jawabnya sambil membawa pel di tangannya.
"Si mbok tenang saja. saya nggak papa, kok." Sambil memegang pundaknya pelan.
"Ya sudah, sekarang si mbok lanjut kerja lagi. Aku mau mandi dulu," lanjutku kemudian.
"Kalau begitu si mbok permisi dulu yah, Bu." Ucapnya sembari memutar badannya dan beranjak pergi dari sini.
Aku mengangguk dan tersenyum kala melihat beliau pergi. Aku segera menutup pintu dan kembali ke dalam. Suara si mbok telah menyadarkanku dan mengingatkanku kalau diri ini belum sempat membersihkan diri dari kotoran dan debu yang telah menempel di badan serta bajuku. Kemudian diri ini segera pergi ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi dan baru saja memakai pakaian serta menyisir rambutku. Terdengar suara orang yang berteriak memanggil-manggil namaku. Suara tersebut berasal dari depan pintu utama rumahku.
Ku coba keluar dari kamar. penasaran siapa orang yang menggedor-gedor pintu dan memanggil namaku. Terlihat si mbok berlari menuju lantai atas dengan wajah panik dan tergesa-gesa.
"Ada apa, mbok. Kenapa si mbok ngos-ngosan seperti itu?" Tanyaku penasaran seraya mendekatinya.
"Anu Bu, Pak Alvin. Sekarang beliau ada di depan dan berteriak memanggil ibu, tapi si mbok nggak berani membuka pintu. Tanpa persetujuan dari ibu." Ucapnya panik.
"Si mbok tenang saja. nanti aku yang ngadepin sendiri. Sekarang si mbok pergi kedapur saja dan siapkan makan siang untuk saya nanti," suruhku agar dia lebih tenang.
Kemudian aku bergegas turun menuju pintu depan utama. Dimana suara Alvin berteriak dan menggedor pintu memanggil namaku. Ku tata perasaan terlebih dahulu agar tak meledak-ledak saat bertemu dengan Alvin. Meskipun hati dan jiwaku tak ingin bertemu dengannya, tetapi aku harus menemuinya. Karena suara Alvin begitu bising dan terdengar oleh warga sekitar, takutnya mengganggu aktivitas mereka.
Kudekati pintu tersebut dan berhenti sejenak, menghela nafas panjang berusaha menurunkan emosi dalam jiwaku. pelan-pelan tanganku membuka pintunya.
Tiba-tiba Alvin langsung memelukku dan berteriak menangis kencang. Sehingga ibu-ibu komplek melihat dan mendengarnya dengan masing-masing wajah penasaran. Aku sedikit risih dengan sikap Alvin yang berlebihan, sedangkan hubungan kita sedang dalam ambang perceraian. tak baik seperti dulu, yang masih punya hubungan baik-baik saja. Segera kulepas peluknya dan mendorongnya ke belakang.
Melihat wajah Alvin sangatlah menyedihkan. dia terlihat kucel, kurus seperti tak terurus. Hatiku terangkat ingin menyapa dan memeluknya. Tapi mengingat semua pengkhianatannya terhadap ku yang membuatku tak akan pernah bisa untuk memaafkannya kembali. Hal tersebut benar-benar menyakiti perasaanku.
"Kamu ngapain kesini, Alvin?" Tanyaku simple dan ketus.
Ia diam dan menatapku penuh keseriusan.
"Maafkan mas, Ren. Mas telah banyak menyakiti perasaan batinmu. Mas sungguh menyesal, sekali lagi maafkan mas," ungkapnya seraya menangis dan berlutut di hadapanku.
Aku segera menghindar dan mencaci maki lelaki pendosa tersebut. Kali ini aku tidak akan melihat semua perilakunya yang mendorong rasa kasihan terhadapnya. Meski sisi lain hatiku mengatakan kalau diri ini sungguh tak tega melihatnya. Tetapi sisi lain hatiku menaruh kekecewaan yang besar, tak menerima keberadaan Alvin disini. Mau nggak mau kali ini aku harus mengatakannya sekali lagi tentang perpisahan antara kami berdua.
"Apakah kamu lupa Alvin, bahwa beberapa minggu yang lalu aku telah membuat kesepakatan terhadapmu. Bahwa aku ingin cepat berpisah denganmu dan menunggumu untuk menandatangani surat perceraian tersebut. Mungkin kali ini kamu lolos Alvin, karena pengacaraku sedang berada di luar negri. Namun, setelah dia kembali kesini, aku akan cepat-cepat mengurus perceraian itu." Jawabku seraya menunjuk-nunjuk wajahnya.
"Tapi kamu tidak akan bisa melakukannya, Rena. tanpa ada persetujuan dariku. Kamu tidak bisa memutuskan sebelah pihak seperti ini, kalaupun ingin bercerai, harusnya aku yang memutuskan terhadapmu, bukannya kamu yang putuskan terhadapku," ucapnya lantang.
"Kata siapa begitu Alvin, seorang istri berhak mengajukan perceraian terhadap pengadilan agama, toh ada alasannya yang kuat untuk bisa berpisah denganmu. Sebagai wanita yang tersakiti oleh suaminya, berhak untuk meminta dan mengajukan perceraian tanpa meminta izin dari suaminya." Jawabku dengan nada sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
"sudah lah, Alvin. Kamu itu jangan banyak alasan. Mendingan kamu pergi, susul Sinta ke kampung dan cepat nikahi dia," lanjutku kembali.
Ia hanya berdiam diri dan tak mengucap sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Seperti ada beban yang sedang merasuki hati dan pikirannya. Tapi aku bersikap seolah tak memperdulikannya. berusaha menjauh dari hati dan perasaan yang telah dihancurkannya.
"Tidak, Rena. Aku nggak mau sama Sinta. Aku hanya cinta sama kamu dan hanya kamu," ujarnya seraya menghampiriku.
Kubelokan pandangan ke arah lain, tak sudi melihat dan mendengar semua sikap dan perkataan yang ia lontarkan terhadapku. Hingga akhirnya dia melakukan hal yang tidak kuduga-duga. Dia….