Chereads / Cinta Noda Hitam / Chapter 19 - mendesak Alvin untuk menikahi Sinta

Chapter 19 - mendesak Alvin untuk menikahi Sinta

Kubelokan pandangan ke arah lain, tak sudi melihat dan mendengar perkataan yang ia lontarkan terhadapku. Tiba-tiba dia melakukan hal yang tak pernah kuduga-duga. dengan nekatnya ia menuju ke arahku memeluk erat tubuhku sampai nafasku terasa pengap. Dengan kasar aku memukuli badan Alvin, mendesah dan ingin mendorong lelaki yang setatusnya masih suamiku itu. Tapi kekuatan dan tenagaku tak kuat mengalahkan pelukan Alvin yang begitu erat. 

Ketika aku masih berusaha mengeluarkan diri dari kedua lingkaran tangan Alvin yang masih mengikat erat dalam tubuhku. Terdengar suara sepeda motor terparkir di depan kami.

Aku berusaha menengok ke arah suara  motor tersebut dan bermaksud ingin meminta tolong. Terlihat seorang gadis yang cantik bertubuh intens, kulitnya putih, yang keadaannya sedang hamil muda yang tidak lain adalah sosok Sinta yang sedang berjalan menuju ke arah kami. Seketika itu pun, aku terkejut dan sontak memanggil namanya. Dengan rasa kaget  Alvin melepaskankan pelukannya. ah, diriku ini menarik nafas panjang berkali-kali. terasa lebih lega dan nyaman untuk bernafas.

Terlihat Alvin sebegitu paniknya. wajahnya menjadi pucat kemerahan, sikap dan perilakunya pungak-pinguk seperti orang yang kebingungan. Mungkin dalam hatinya ia sedang mengolah sebuah perkataan yang bisa ia citak untuk dikatakan kepada Sinta.

Sinta memamdangi ku dengan sorot mata penuh dengan kebencian. Dia menyeroyot datang menghampiriku.

"Oh, ternyata begini. kelakuan orang yang katanya selama ini sudah mengikhlaskan dan meridhoi orang tersebut, untuk orang lain. Ternyata munafik, lain dimulut lain pula dihati,"  katanya. sembari mengangkat sebelah kanan tangannya untuk menampar wajahku.

Dengan sontak aku menepis dan menggenggam tangan Sinta. yang kemudian aku lempar ke samping wajahku. Hatiku terasa sangat kesal, dengan omongan nya yang tidak standar dan sesuai kriteria kejadian yang sebenarnya.  Dia tidak tahu menahu soal Alvin yang telah memelukku dengan paksa, sama sekali bukan kemauan dari diriku.  Setelah Kupikir kembali, rasanya aku tak mau berdebat lagi dengan Sinta. Kupikir maklum, mungkin dia tidak tahu kejadian yang sebenarnya. 

Aku diam, seraya membalik badan dengan kemudian masuk kedalam rumah. Biarlah, mereka selesaikan masalah mereka berdua. Setelah berjalan menuju kedalam, tiba-tiba langkahku terhenti. Terasa tanganku digenggam oleh seseorang, seakan dia menghentikan diriku. Ku tengok kebelakang karena terkejut. Ternyata Sinta menahanku untuk tidak pergi.

"Kakak mau, kemana? Jawab dulu pertanyaanku, aku belum selesai bicara sama kakak," ucapnya sambil melepas kembali pegangannya.

"Sudah lah Sinta, Kakak itu capek. nggak penting juga menjawab pertanyaan yang  seharusnya bukan aku yang jawab. Sebaiknya, kamu tanya Alvin. Dia yang semestinya menjawab semua pertanyaanmu," terangku.

Aku melihat ke arah Alvin. Mataku membelalak saking kesalnya, seakan memberi kode untuk menjawab semua pertanyaan Sinta. Memang, kalau selalu ada masalah yang ia ciptakan sendiri, selalu ia lempar pada orang lain yang tidak bersalah. Dia hanya diam menyaksikan perdebatan antara kami, seakan dia tidak berbuat salah sama sekali. Dasar laki-laki pengecut tak tahu diri. Ucapku dalam hatiku.

"Tapi, kak. Kakak harus jelasin dulu sama aku," eyelannya Sinta.

"Sinta, apa yang kamu lakukan? Kakak kamu itu nggak salah, ini semua salah aku. aku yang paksa dia untuk berpelukan. Lagian kenapa sih, ada yang salah. Toh dia masih istriku, kan?"  Jelasnya lantang.

"Tapi, mas. Kamu kan sudah janji sama aku, kalau kamu itu akan nikahi aku secepatnya. Lagian kak Rena juga sudah mengikhlaskannya. Tunggu apa lagi," jawabnya sembari menghampiri Alvin.

"Aku sudah hamil anak kamu, mas. Kamu harus tanggung jawab. Berani berbuat, berani tanggung jawab. Itukan kata kamu, mas. waktu kamu merayu aku untuk melayanimu, iya kan, mas?" Ujarnya Sinta kembali.

Alvin melirik ke arahku, tatapannya penuh dengan penyesalan. Terlihat bergelinang air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Ada sebuah penyesalan yang tertanam dalam hatinya. Hal itu membuatku sangat tak tega. Tapi mungkin ini adalah sebuah siasatnya untuk bisa mengambil hatiku kembali. Mulai sekarang aku sudah paham betul dengan sifat dan kelakuan Alvin, yang membuat semua orang terpedaya dan tidak menyadari akan keburukan dirinya.

Alvin kembali menghampiriku. 

"Ren, apakah benar kamu sudah merestui Sinta? Lalu kenapa kamu tak meminta persetujuanku terlebih dahulu? Apakah aku terima atau nggak, kenapa kamu putuskan semuanya sendirian, Rena. Soal pengajuan perceraian yang kamu ajukan sendiri dan sekarang soal pernikahan Sinta dengan aku. Apakah kamu nggak sadar, aku itu suami kamu. Mana mungkin aku menikahi Sinta, yang jelas-jelas wanita yang tidak aku cintai. Aku hanya cinta sama kamu, bukan yang lain," jelasnya panjang. Dengan nada sedikit menurun.

"Suami kamu bilang, suami dari mana. Mana ada seorang suami yang tega mengkhianati istrinya dari belakang. Mana ada seorang suami yang tega berselingkuh dengan adik iparnya sendiri dan mana mungkin seorang suami tega berselingkuh dengan salah satu staf di kantornya. Apakah ada suami yang seperti itu? Ya jelas ada, orang tersebut adalah kamu Alvin."  Dengan menata perasaan agar tidak terbawa emosi yang berkelanjutan.

"Apa… Ternyata selama ini mas Alvin mempunyai wanita lain, selain aku," tembal Sinta dan langsung menampar wajah  Alvin dengan kertas.

Plaaak!

Aku sedikit meringis melihatnya. Sebuah tamparan yang begitu keras mendarat di sebelah pipinya Alvin, yang diberikan oleh Sinta kekasih gelapnya juga. Andai aku bisa marah seperti Sinta. Mungkin amarahku akan lebih dari yang Sinta lakukan. Tapi kali ini aku berusaha menahan emosi, karena aku sudah tahu semua keburukan yang telah dia lakukan. Percuma rasanya harus berdebat dengan mereka, yang ujung-ujungnya sama saja tidak akan pernah mengembalikan keadaan seperti semula. 

"Tega kamu, mas. Aku ini lagi mengandung anak kamu. Dimana akal sehatmu. bisa-bisanya kamu mengkhianatiku juga, selain dengan kakak, ku. Aku benci kamu, mas. Aku benci," ucap Sinta menangis.

Kali ini aku hanya menyaksikan perdebatan antara mereka. Terlihat si mbok dan pak supir mengintip dari belakang pintu dapur. Mereka saling beradu mulut  satu sama lain. Tak sadar mereka diliatin ibu-ibu sekitar komplek,  yang saling bersahut-sahutan ngomongin kami. Yang membuatku semakin risih dan malu, harus diliatin warga sekitar.

"Sudah diam!" Bentakku.

"Kalian bukan anak kecil lagi, kalian  sudah sama-sama dewasa. Tidak sepantasnya kalian berdebat seperti ini. Selesaikanlah dengan baik dan tenang. Hal seperti ini hanya akan membuat keadaan semakin kacau dan tak terkendali." Ucapku kemudian.

Mereka seketika terdiam tidak melangsungkan perdebatannya lagi. Mereka berdua menengok ke arahku dan mendengarkan semua pembicaraanku. 

"Yang terpenting sekarang, kamu Alvin. Segera nikahi Sinta, supaya tidak ada aib di antara kalian berdua yang menjadi sorotan khalayak umum. Toh kalian sendiri yang akan menanggung malu, bukan aku. Disini aku hanyalah sebagai korban, otomatis orang-orang yang tahu soal ini, pasti akan mengasihiku bukan malah mencelaku. Menikahlah kalian berdua, aku ikhlas, aku ridho. Asalkan terlebih dahulu, kamu harus talak aku, Alvin,"  nada bicaraku dengan sedikit tegas dan menurun.