Selama satu jam aku termenung di dalam ruangan. Banyak yang harus aku pikirkan.
Aku pergi keluar kantor dan berjalan menuju cafe yang berada di sebelah kantor ini.
Mengambil sebuah ruangan privat. Memesan beberapa makanan dan minuman hangat dan segera masuk kedalam ruangan yang telah aku pesan tadi. Aku ingin menangis selepas-lepasnya tanpa ada yang bisa mendengar di ruangan itu.
Kelebatan demi kelebatan masa laluku mulai bermunculan dalam benakku. Suami yang tadinya sangat aku hormati dan aku sayangi sepenuh jiwa ragaku, tanpa ada kata lelah untuk selalu setia menjaga hati dan perasaannya. Setelah aku kasih dia air susu, sekarang dia membalasnya dengan air tuba yang terasa pahit dan nyeri seperti sebuah belati menghujam jantungku.
Kutekan voice note di WA untuk sekretaris kantor.
"Salsa, tolong suruh Fitri, untuk datang ke cafe yang di sebelah kantor. Dan suruh dia untuk masuk ke dalam ruangan exclusive room - two," pintaku pada salsa.
"Baik, Bu."
Tak lama, Fitri datang dan menghadap kepadaku. Didalam ruangan kedap suara ini akan ku tunjukan bagaimana seorang wanita penggoda harus dihargai.
"Iya, Bu. Apa ibu memanggil saya?" Tanyanya setelah menutup pintu ruangan.
Mataku menatap nya lekat. Mencari gurat-gurat wajah cantik tapi liar.
"Bagus….!" Ucapku lembut tetapi terlihat sinis.
Fitri yang salah seorang staf di kantor itu, terlihat gemetaran. Tak terlihat ada benih-benih seorang pelakor dari raut wajahya. Ya, memang bukan wajah ataupun kecantikannya yang menjadi seorang pelakor, tapi hati dan perasaannyalah yang telah membawa dia untuk menjadi pelakor.
Terkadang saya sedih kala melihatnya karena ia adalah seorang wanita muda yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Tapi dalam hati saya pun juga marah dan jijik melihatnya, karena ia adalah sosok wanita yang cantik telah menggoda dan memeras suamiku.
Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan. Harus mulai dari manakah aku berbicara. Apakah aku langsung saja menanyakan semuanya, agar keadaan semua semakin jelas dan terbukti kebenarannya.
"Ma - maaf, Bu. Bagus apa, yah?" Jawabnya dengan suara terbata-bata.
"Ada hubungan apa kamu dengan Alvin, selain urusan pekerjaan?" Tanyaku sembari duduk kembali di atas kursi.
Sorot mata gadis bertubuh sexy itu seketika membulat saking terkejutnya.
"Jawab, Fitri? Aku itu lagi nanya sama kamu, kenapa kamu diam saja," bentakku.
Ia terkejut sampai sedikit terlonjak, mundur ke belakang. Wajahnya menunduk kebawah sembari menarik nafas berkali kali dengan cepat, seperti menetralisir debar jantungnya yang menyesakkan dadanya.
"Maafin saya, Bu. Saya khilaf. Saya nggak bisa menolak semua ajakan pak Alvin. Beliau terus merayu saya, sampai akhirnya saya pun pasrah," elaknya mencoba menjelaskan.
"Dengarkan saya Fitri, saya tahu kamu adalah tulang punggung keluarga dan saya tahu kamu butuh uang. Saya sangat mengerti keadaanmu. Saya juga tahu bahwa alasanmu mendekati Alvin. Tapi kenapa kamu harus menggoda seorang pria yang sudah beristri, kenapa? Apakah tidak ada pria lain yang lebih layak kamu kencani, heeh?" Ucapku sambil menunjuk-nunjuk wajahnya.
"Sekali lagi maafin saya, Bu. Saya menyesal," dia menangis dan bersujud dikakiku.
Aku segera menghindar dari rengkuhan dia yang akan memohon pengampunan terhadapku. Aku bukan seseorang yang harus disembah-sembah seperti raja. Aku hanyalah seorang wanita yang yang tersakiti oleh perlakuan orang-orang terdekatnya. Aku tidak memerlukan pengampunan ataupun penyesalannya, yang aku butuhkan sekarang hanyalah sebuah kebenaran yang keluar dari mulutnya.
"Saya tidak akan pecat kamu. Hanya saja aku minta sama kamu, tolong jawab jujur pertanyaanku ini, itu sudah cukup," tanyaku seraya membangunkannya.
Dia mengusap air mata yang keluar dari netra matanya dan menghela nafas panjang. Dan perlahan dia mulai mengakui semua kesalahanya dan menceritakan semua yang telah diperbuatnya bersama mas Alvin selama satu tahun silam ini.
Aku terpelongo saking tidak percayanya mendengar ucapan demi ucapannya yang semakin menyayat hati. Ku telan ludah yang terasa pahit bagaikan racun yang menjalar ke seluruh tubuh. Jiwaku lelah, hatiku hancur berkeping-keping. Tak menyangka lelaki yang telah menikahi ku selama ini, ternyata seorang lelaki hidung belang.
"Saya benci dengan wanita-wanita yang begitu bodohnya tak mau menolak ajakan-ajakan seorang laki-laki untuk berselingkuh dan melakukan hubungan gelap bersama dengannya. Kamu punya otak, kamu punya nalar, kamu bisa memilih untuk menghindar. Jangan beralaskan kalau kamu itu dipaksa, dan tak bisa menolak dan sebagainya. Yang mengakibatkan perselingkuhan itu terjadi. Semua itu tak akan terjadi jika kamu tegas dan berusaha akan melaporkannya kepada yang lain ataupun gimana caranya, semua itu tidak akan terjadi," berulai sudah air mata yang mengalir deras dari kelopak mataku.
"Sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan Alvin? Berapa Lama? Apakah selama ini kamu benar-benar dipaksa atau malah menikmatinya? Sehingga sama sekali pun kamu tak pernah menolaknya? Atau mungkin kamu sudah meminta Alvin untuk menjadi istri keduanya? Tolong jawab dengan jujur Fitri, jangan takut!" Bentakku.
Ia terdiam seribu bahasa. Hanya ada getar ketakutan dari wajahnya yang berkeringat.
"Jika memang alasannya kamu butuh uang dan takut dipecat. Kamu bisa dengan suka rela datang kepada istrinya. Berkata jujur dan meminta perlindungan. Meminta bantuan apapun dan itu pasti akan diberi. Justru dengan kamu bermain dibelakangku, ini hanya akan menyengsarakan hidupmu sendiri." Kembali ku bicara padanya.
Mendengar ucapan demi ucapan dia menangis kejer. Biar ia merasakan dimana letak kesalahannya. Kuambil gepokan uang dari tas ku, dan ku lempar uang tersebut ke hadapannya.
"Ambil !! uang itu, kamu gunakan untuk keperluan sehari-hari keluargamu. Tapi penuhi dulu permintaan saya. Jangan pernah lagi kamu menjalin kasih dengan laki-laki yang sudah beristri manapun lagi, kamu mengertikan. Dan satu lagi. saya tidak akan memecat kamu, asalkan kamu bisa berubah menjadi wanita yang baik-baik." Ucapku tegas.sembari beranjak pergi dari ruangan tersebut dan berjalan keluar meninggalkannya.
Setelah keluar dari cafe tersebut, tiba-tiba pak Bagas sudah ada di depan pintu. Beliau menungguku dari tadi di sini. Hanya saja dia tak berani menghampiri ku di dalam sana, karena dia tahu kalau aku sedang bersama Fitri.
"Ada apa, pak?" Tanyaku heran.
"Anu, Bu,"
"Anu apa, pak?"
Ia sedikit kebingungan.
"Pak Alvin, Bu. Beliau sudah sadarkan diri dan beliau ingin bertemu dengan ibu. Dia menjerit menangis memanggil nama ibu," ucapnya terlihat sangat gugup.
"Biarkan saja, pak. Saya sudah tahu mengenai Alvin dari Rany kemarin, hanya saja saya membiarkannya. Tak sudi rasanya bertemu dengan pengkhianat seperti dia, mendengar namanya saja sudah nyeri apalagi harus bertemu muka dengannya. Itu tidak mungkin," jawabku ketus.
"Maaf ya, Bu. Saya hanya menyampaikan pesan dari Rany. Katanya handphone ibu nggak aktif. Makanya dia menghubungi saya dan menyuruhku menyampaikannya pada ibu," ucapnya sambil menunduk.
"Ya sudah, pak. Kalau begitu saya permisi dulu," sambil melangkah pergi dari cafe tersebut. berjalan menuju kantor, tiba-tiba ...!