Ketika aku duduk di kursi kerja mengingat semua tentang hal yang telah terjadi padaku saat ini. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi, Bu. Boleh saya masuk?" Ucap orang tersebut.
"Siapa?" Tanyaku singkat.
"Saya Bu, Bagas." Ternyata pak bagas, salah satu staf kepercayaan Alvin di kantor ini.
"Oh, masuk pak," titah ku padanya untuk mempersilahkan dia masuk ke dalam.
"Maaf, Bu. Boleh minta waktunya sebentar?" Kata pak bagas padaku.
"Ya, silahkan, pak. Apa Kabar pak, Bagas?" Tanyaku seraya tersenyum padanya.
"Alhamdulillah baik, Bu. Semoga ibu juga sehat selalu, yah."
Aku mengangguk, menanti ia memulai pembicaraan. Tapi ada keraguan dari wajah pak Bagas.
"Gimana, pak. Apa yang akan kita bahas?" Tanyaku.
Ia terdiam sesaat, sambil menghela nafas panjang.
"Maaf ya, Bu. Jika saya disini, tapi sedang akan membicarakan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan kantor." Dia mengatakannya penuh ragu.
"Tak apa-apa, pak. Jika itu penting. Saya luangkan waktu." Pak Bagas menggaruk pelipisnya sesaat, tampak ia ragu lagi.
"Begini, Bu…. Maaf kalau sekarang saya baru jujur. Tadinya saya ingin menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Tapi saya nggak bisa, Bu. Perasaan bersalah dalam hati saya membuat saya tak tega dan ingin menyampaikannya kepada ibu. Saya pikir, setidaknya kalau saya sampaikan, ibu bisa lebih mempertimbangkan apapun ke depan yang akan ibu lakukan. Meskipun sebenarnya sekali lagi, ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.
"Langsung saja, pak. Ada apa sebenarnya?" Tanyaku semakin penasaran.
"Pak bagas akhirnya menceritakan, tentang suatu fakta, yang tidak pernah aku duga-duga sebelumnya. Bahwa dia lelaki yang saat ini baru sadar dari koma tersebut, telah menjalin hubungan terlarang dengan Fitri, salah satu karyawati kantor ini, yang sering ikut serta bersamanya dinas keluar daerah.
"Apa yang bapak katakan tersebut itu, benar?!" Aku bertanya sedikit keras, berusaha jika yang disampaikannya ini adalah candaan, maka sama sekali tak lucu.
Sayangnya itu adalah sebuah kebenaran. Pak Bagas memperlihatkan sebuah bukti dengan menunjukan foto-foto itu.
Pyarr!! Sekali lagi hatiku hancur.
Seorang Alvin suami yang teramat aku cintai dan aku sayangi itu, ternyata benar-benar seorang pengkhianat yang kejam. Ia tega melakukan hal sekotor itu. Kenapa dia bisa begitu mudahnya bermain dengan siapa saja yang diinginkan. Banyak sekali foto-foto candid yang pak Bagas tunjukan. Alvin dan Fitri sedang berada di pantai, di club, di lorong hotel, sofa hotel dan di kamar hotel berdua.
Gaya mereka tidak seperti atasan dan bawahan, mereka seperti layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Aku sampai jijik melihatnya.
Alvin, Alvin…. Selama ini, sepercayanya itu aku padanya. Tak ada yang berubah sedikitpun sikapnya terhadapku selama ini, sehingga tak dapat aku curigai. Sekali pun kedekatannya dengan Sinta, yang ternyata menyimpan bangakai dsn esk oernah terendus olehku.
Ia tetap terlihat seperti Alvin yang setia, baik, kalem dan sholeh. Ada sayat-sayat perih tiba-tiba mulai melukai sisi hatiku yang lain. Ah, luka yang kemarin saja belum kering, kenapa harus kembali menganga, lalu luka itu seperti dialiri air perasan jeruk yang segar.
"Bapak dari mana bisa mendapatkan semua foto-foto itu?" Tanyaku panik.
"Karena saya adalah orang yang dibayar untuk tutup mulut, Bu. Saya dapat bayaran uang dari pak Alvin walaupun saya tak memintanya. Kemanapun beliau pergi saat berdinas saya ikut, karena saya yang selalu mengantar pak Alvin untuk bepergian kemana-mana. Foto-foto itu asli dari kamera saya, saya terkadang selfie bersama dengan mereka. Pak Alvin tau jika dia tidak bisa menutupi kejelekannya dari saya. walaupun saya diam, tapi beliau selalu memberiku uang sebagai alat untuk tutup mulut. Saya sudah menolaknya, tapi beliau terus memaksa saya, katanya sebagai tanda terimakasih karena saya bisa di percaya." Jelasnya panjang.
Ada keseriusan dalam ucapannya. Pak Bagas memang orang kepercayaan Alvin. Sangat wajar kalau dia tahu banyak hal tentang Alvin.
"Tapi makin hari, bulan bahkan tahun, perasaan bersalah dalam hati saya semakin besar, Bu. Terlebih ketika melihat pak Alvin koma, dorongan untuk jujur itu makin besar. Saya pikir ini akan melapangkan jalan pak Alvin kedepannya. Itu keyakinan saya, Bu. Jadi saya minta maaf, Bu. Jika kejujuran saya ini sampai melukai hati ibu. Saya siap untuk dipecat dari kantor ini, Bu," ujarnya kembali.
"Tapi, Bu. Ada satu hal lagi yang saya khawatirkan atas kejujuran ini. Bagaimana dengan nasib Fitri. Saya khawatir ibu akan memecat dia. Sedangkan dia adalah tulang punggung keluarga."
Aku menarik nafas dalam dan kemudian menghembuskannya kembali.
"Biar semua itu saya selesaikan. Saya tidak akan semena-mena dalam bertindak."
Baik, Bu. Sata kembalikan semuanya pada ibu. Hanya itu saja yang saya khawatirkan atas kejujuran ini, tapi kalau saya jujur, saya malah kasihan sama ibu,"
"Saya paham. Terima kasih, pak aras kejujuran Bapak. Nanti saya akan telusuri sendiri semuanya jika Bapak perlu waktu lagi, Bapak bisa kontak saya atau WA saya. Sekarang saya akan menyelesaikan pekerjaan saya dulu."
Pak Bagas paham maksudku. Ia segera permisi meninggalkan ku sendiri.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku tanyakan pada pak Bagas, pasti ia memiliki banyak informasi tentang Alvin. Termasuk penggelapan uang yang telah ia lakukan. Hanya saja aku sudah tak tahan mendengar pengakuannya. Kepalaku sangat sakit terasa mau pecah. Mendengar semua berita dari pak Bagas dan melihat foto-foto intim Alvin bersama dengan Fitri yang vulgar. Seketika membuatku down lagi. Seterlambat ini ternyata aku mengetahuinya.
Alvin ... Bukannya kita menikah karena saling cinta? Bukannya aku tidak sekedar mencintaimu, tapi juga menyayangi keluargamu, yang sampai saat ini masih memihak terhadapku.
Kenapa tuhan, baru sekarang tunjukin semua ini, kenapa bukan dari kemarin-marin. Kenapa aku tak bisa mencegah perselingkuhan itu dan ada dalam keluargaku? Apakah aku terlalu abai terhadap mereka?
Apa alasanku yang begitu kuat yang mendasari mereka mau begitu mudahnya mau bermain api tanpa memikirkan aku yang seluruh hidupnya berjuang untuk mereka.
Tiba-tiba terdengar pintu telah dibuka. ternyata itu adalah pak Ariya, bapak mertuaku.
"Ren, kamu menangis? Ada apa?" Rupanya beliau belum mengetahuinya.
"Nggak, pak. Kepalaku hanya terasa sakit," jawabku.
"Apa kamu sakit, nak? Kalau begitu kita pergi ke dokter saja? Pak Ariya terlihat sedikit panik.
"Tidak perlu, pak. Aku baik-baik saja, bapak tidak perlu cemas," elakku.
Terdengar pintu diketuk lagi dari luar.
"Permisi, Bu," terdengar suara salah satu staf di kantor ini.
"Iya, masuk saja." Jawabku dengan sedikit tenang.
Dia pun masuk kedalam dan ternyata dia memanggil pak Ariya untuk meeting dengan klien yang baru saja datang dari luar kota.
"Ya sudah, bilang saja pada mereka, tolong tunggu sebentar lagi, yah,"
"Baik, pak," jawabnya sembari permisi dan beranjak pergi keluar.
Kemudian dia kembali mengkhawatirkan aku dan dia sedikit panik.
"Kamu benar-benar tidak papa, nak?" Tanyanya.
"Aku tidak papa, pak. Papa nggak usah khawatir, lagian papa 'kan ada meeting penting dengan klien. Pergilah, pak. Nanti mereka menunggu terlalu lama," ucapku sembari mengulas senyum, agar dia tak khawatir lagi.
"Ya sudah, kalau begitu. Kalau kamu memang benar baik-baik saja. Papa pergi dulu. kamu jaga kesehatan, yah." Jawabnya seraya pergi keluar dari dalam ruangan.