Aku tahu kalau dia ingin tinggal bersamaku disini, tapi aku itu tak akan pernah terjadi. dia sudah menghianatiku dan sudah menghancurkan keluargaku. Aku tak mungkin tinggal bareng lagi sama dia. aku takut khilaf, akan melakukan hal yang tidak pernah aku lakukan terhadap Sinta. Lebih baik aku mempertegas Sinta agar dia tak terlalu berharap kepadaku.
"Bagus, kamu sudah menyadarinya. Tapi kakak juga tidak akan melanjutkan rumah tangga ini dengan Alvin," jawabku
"Jujur, Sinta sedih."
"Sedih kenapa? karena ternyata mimpimu untuk menikah dengan Alvin dan menjadikan aku sebagai madumu itu gagal? Itukan mau kamu?" Tanyaku sembari ketus.
"Bukan, kak. Sinta sedih karena kakak dan mas Alvin harus bercerai, dan sudah satu minggu mas Alvin terbaring koma, entah sampai kapan dia akan bangun.
"Terlambat kamu bilang seperti itu, Sinta. Sekarang baru menyesal. Seandainya kamu nggak rakus dan egois , semua ini nggak akan pernah terjadi. Kamu lihat sekarang akibatnya, Alvin koma, kamu hamil, dan kakak hampir depresi. Hubungan kita sudah sulit untuk dipersatukan lagi. Kakak tak akan pernah mau kembali dengan Alvin. Membayangkannya saja sudah jijik."
Ia diam.
Biar Ku tumpahkan saja semua amarahku padanya sekali ini saja, biar dia tahu bahwa aku kecewa dan marah. Bukannya aku dendam. Aku ingin dia membuka matanya atas semua kesalahan yang telah diperbuatnya. Bukannya ia tak pernah berbuat salah, sangat sering malah. Dari kecil hingga dewasa tak pernah tak ter maklumi, justru aku sebagai kakak selalu mengalah dengan semua yang dia inginkan dan aku selalu memakluminya.
Pernah dia ku pegangi sebuah kartu kredit, ia membuang-buang uang tersebut untuk mentraktir teman-temannya minum-minuman keras hingga berbotol-botol. Hilang uang seharga satu mobil pun, aku masih memakluminya.
Pernah dia menabrak lelaki paruh baya yang telah menjadi tulang punggung keluarga, yang pada akhirnya aku harus membiayai hidup keluarga mereka, karena kepala keluarga tersebut meninggal dunia. Aku masih bisa memaafkan dan memakluminya. Semua kemauan dan keinginan nya tak pernah tak terkabul.
Tapi yang ini sangat keterlaluan. Bagaimana mungkin dia meminta sesuatu yang tak masuk akal dengan meminta suamiku menjadi suaminya, dalam keadaan dia sudah hamil. Dia pikir aku juga akan dengan mudahnya mengiyakan permintaannya. Ini gila.
"Pergilah, kalau mau packing barang-barangmu. Saya capek, mau istirahat."
Akhirnya ia perlahan mundur dan keluar dari dalam kamar.
Kubiarkan Sinta membenahi barang-barangnya dengan dibantu dua orang ART. Aku memilih beristirahat dan tiduran dikamar. Sebaiknya aku nggak melihatnya mengemasi barang-barang tersebut. Aku takut yang ada aku malah merasa tak tega. Lebih baik aku diam dikamar.
Mungkin hari-hariku selanjutnya akan terasa sangat sepi. Tapi ini jalan satu-satunya untuk kebahagiaanku. mungkin dengan begitu ini lebih baik.
Kurebahkan diri kembali di atas kasur. Kelebatan-kelebatan masa lalu bermunculan di benakku. Seperti sebuah film yang sedang diputar. Aku mengingat semuanya kembali. Kenangan beberapa tahun yang lalu.
Tak lama terdengar pintu dibuka.
Kreet….! Suara pintu dibuka.
"Kak, aku ijin pulang…." Suara Sinta menyadarkanku kembali dari lamunan.
"Ya, pulanglah."
Ia diam. Lalu maju beberapa langkah ke arahku.
"Boleh aku memeluk, kakak?"
"Sudah nggak perlu. Pergilah,"
"Tapi kak, Janin dari perut ini ingin memelukmu." Ia mengelus perutnya
"Apa-apaan ini Sinta, aku mau seandainya itu cucuku. Bukan anak dari hasil perzinahan dengan suamiku."
Aku menarik nafas panjang dan membuang wajah ke samping. Ya, sebaiknya jangan lagi terlalu dekat dengannya. Ini adalah terakhir kalinya aku bicara padanya untuk jangka waktu yang lama. Agar hatiku menjadi lebih biasa ketika mengingat semua kenangan ini.
"Saya mau istirahat, pergilah." Ucapku seraya menuju ke arahnya dan langsung menutup kembali pintu tersebut.
Tapi sesaat sebelum aku menutup pintunya. Terlihat Sinta menatap mataku. Mencari-cari titik terdalam hatiku. Berharap aku masih mau menerimanya. Tapi aku tetap membuang muka dan fokus ke arah pintu untuk menutupnya. Memberi tanda bahwa aku benar-benar tak ingin di ganggu.
Terdengar pak supir dan satpam menggeser koper-koper dan kardus di yang sedang diangkutnya, yang kemudian akan dimasukkan kedalam mobil untuk mengantar Sinta.
Aku bangkit, dari lantai atas menatap keluar dari jendela. Hari mulai malam dan cuaca makin mendung, sepertinya akan turun hujan lebat. Awan di bagian selatan kota jakarta mulai gelap, memayungi bumi yang penat dengan aktivitas dan hiruk pikuknya tanpa jeda. Perlahan hujan mulai berjatuhan mengiringi mobil yang mengantar Sinta untuk pergi.
Pergilah Sinta, bersama kenangan pahit yang ada dalam jiwaku dan dengan janin dalam kandunganmu. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa ada kesalahan-kesalahan yang tak bisa menjadi berubah seperti tak kau kenal lagi, menjadi dingin, beku seperti batu.
Kulirih handphone di tangan yang berbunyi.
(Bu, pak Alvin sudah sasar.) Rany mengabariku.
Alvin sudah sadar, apa aku harus menjenguknya lagi? Tapi apakah ini tak akan menyakitiku dan semakin sulit untuk melupakannya? Jujur ini memang sulit, bagaimana tidak bersamanya bertahun-tahun dan tak pernah merasakan kekecewaan yang dalam kepadanya, saat ia sakit, aku yang mengurusnya selama ini.
Tapi, ah sudahlah. Sudah kuputuskan untuk pergi dari hidupnya. Sebaiknya aku memilih untuk menyiapkan diri untuk pergi umroh. Menghafal bacaan talbiyah dan doa-doa saat thawaf agar semua rangkain ibadahku menjadi mabrur.
(Tolong urus dia, Ran. Aku mau fokus menenangkan diri saat ini dan pastikan ada anak buahku yang mengurusnya. Soal biaya tolong semuanya bereskan, aku yang tanggung.) Balasku.
(Baik, Bu.) Ucap Rany. Mungkin dia sudah mengerti keadaanku.
Besoknya aku pergi kekantor, memastikan semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku sudah terhandel dengan baik. Aku pun masuk kedalam ruangan kerjaku dan duduk di kursi yang selama ini menjadi jabatanku menggantikan mas Alvin. Pak Ariya lebih memilih aku sebagai anaknya, dibanding anaknya Alvin sang pengecut, yang telah mengecewakan dan menghancurkan mimpinya untuk menjadikan Alvin anaknya seorang pejabat besar. Tapi itu telah tercoreng dan harus mengubur semua mimpi itu. Pak Ariya beserta keluarga sangatlah kecewa. Tetapi aku yang selama ini memotivasi beliau agar tidak terlalu larut memikirkan Alvin. Bukannya aku ingin menjauhkan anak dari orangtuanya, tapi aku ingin tidak ada pertengkaran lagi diantara mereka. Biar aku dan mas Alvin yang menyelesaikannya berdua. Tapi entah kenapa mereka malah sangat menyayangiku dan mencret Alvin dari keluarganya.
Selama ini aku dan keluarga mas Alvin seperti anak dan orang tua sendiri. Mereka menganggap aku adalah anak kandung mereka satu-satunya.
Waktu aku frustasi pun mereka datang ke rumah sakit, bukannya menjenguk Alvin, tapi mereka datang hanya untukku. Bapak dan ibu mertuaku Membawakanku bubur yang aku sangat sukai. Bu Diana ya, mama mertuaku. menyuapiku sampai meminum pun dua yang ngasih. Mereka selalu mengingatkanku untuk menjaga kesehatan dan tidak berlarut dalam kesedihan. Entah karena mereka terlalu sayang padaku atau gimana. Tapi yang jelas sekarang kami seperti sebuah keluarga.