Chereads / Cinta Noda Hitam / Chapter 14 - memulai kehidupan yang baru

Chapter 14 - memulai kehidupan yang baru

Memang benar kata Rany, aku harus segera bangkit dalam kepedihan ini, tidak baik terus-terusan berlarut dalam kehancuran. 

Ya, aku harus melepaskan semuanya dan menerima kenyataan ini seikhlas-ikhlasnya. Agar lebih mudah melangkah ke depannya. Anggap ini sebuah ujian dari yang maha kuasa, yang membuatku harus lebih kuat lagi.

Ah, kenapa aku yang selama ini terkesan dewasa, sering memotivasi dan menasehati banyak orang, justru seperti anak kecil ketika menghadapi masalahnya sendiri.

Dari sini aku belajar, bahwa kehidupan sebaik apapun, sehebat apapun rencana manusia. Bisa dalam sekejap berubah seratus delapan puluh derajat. Siapa yang bisa menduga bahwa kehidupan rumah tanggaku yang baik-baik saja, seketika itu hancur berantakkan.

Bahkan Brian, seketika bisa kehilangan keluarga yang teramat dia cintai. hanya dalam hitungan detik. Seketika itu aku tersadar dan mengerti arti tawakal yang sebenarnya.

Alhamdulillah, sore ini aku sudah keluar dari rumah sakit, meninggalkan Alvin yang masih dalam keadaan koma. Sementara Sinta sudah diantarkan ke rumahnya oleh pak supir.

Benar aku harus memulai mementingkan diri sendiri. Membebaskan diri dari segala hal yang menjadi beban. Jangan sampai aku frustasi atau malah gila, ini nggak lucu.

Mungkin aku akan tetap menjaga hubungan baik dengan mereka, membantu jika memang perlu dibantu. Tapi harus dengan hati yang baru, tak ada rasa sakit lagi. menerima ini sebagai ketetapan yang maha kuasa. Kita sebagai umatnya hanya bisa menerima dan harus menjalankannya.

Mungkin sudah waktunya aku berbenah diri kembali. Selama ini aku terlalu memikirkan dunia. Seketika itu aku teringat untuk pergi umroh ke tanah suci. Ku ambil ponsel di atas nakas.

"Hallo, Ran. Seminggu lagi aku akan pergi umroh. Tolong kamu bantu siapkan semuanya, ya. Atur jadwal ku agar tidak ada meeting dengan siapapun sampai satu bulan kedepan. Nanti akan digantikan oleh pak salman."   Pak salman adalah seorang direktur perusahaanku.

Aku berbalik menaruh ponsel tiba-tiba di depanku ada Sinta.

"Kakak," panggilnya.

"Kamu?" Kamu bukannya sudah diantar pulang?" Jawabku kaget.

"Aku minta pak supir untuk mengantarku kemari, kak. Aku masih boleh kesini kan, kak?" Ucapnya ragu.

"Tentu saja, kamu boleh kesini, tapi rumah ini sudah bukan tempat tinggal kamu lagi."  

Ia diam beberapa saat.

"Iya, Sinta tahu, kak. Sinta hanya ingin mengambil beberapa barang yang tertinggal."

"Oh, ya ambil saja. Semua milikmu boleh kamu ambil dan bawa pulang. Bila perlu kamu panggil simbok, untuk memaketkan semua barang-barang yang masih tertinggal atau meminta pak supir untuk mengantarkannya ke rumahmu." 

Ia hanya terdiam, tapi seperti ingin menanyakan sesuatu atau memberitahu sesuatu.

"Kakak, sekali lagi aku minta maaf, ya. atas semua yang terjadi. Aku sadar aku lancang, aku sadar sudah kurang ajar,  dan aku juga sadar telah menyakiti dan mengkhianati kakak, seperti ini."

Aku diam.

"Tapi itu karena kemarin aku takut, kak. Aku stres ketika melihat alat tes kehamilan hasilnya positif. Aku ketakutan ketika dokter bilang usia kandungan sepuluh minggu. Aku nggak berani ngadu sama kakak. Yang terpikirkan waktu itu, hanya menikah dengan mas Alvin. Lelaki yang harus bertanggung jawab atas kehamilanku ini," jelasnya panjang.

"Lelaki yang harus bertanggung jawab atas kehamilanmu? Apa kamu nggak mikir ketika pertama kali melakukan hubungan terlarang itu? Saat kamu melakukan hubungan itu dengan Alvin apa kamu tidak ingat kalau dia  kakak iparmu? Meski dia hanya seorang kakak iparmu, yang seharusnya kamu hargai sebagai kakak kamu sendiri. Tapi kenapa, kamu rela berbuat zina dengan dia, kenapa? Jawab aku Sin, kenapa?

"Apa kamu nggak mikir kasihan sama aku? Dimana hati nuranimu Sinta? Kamu itu kan nggak bodoh, saya tahu itu."

"Ya, maafin Sinta, kak. Sinta memang bodoh, Sinta khilaf. Mas Alvin yang sudah setua itu saja bisa khilaf dan bodoh, apalagi aku, aku berada di bawah tekanan mas Alvin, kak."

"Kenapa waktu itu kamu nggak bilang ke saya? Kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu membiarkannya terjadi? Kamu juga menikmatinya, kan? Kamu itu bukan tipikal perempuan yang diam saja untuk disakiti. Itulah kenapa ingin mendaftar kuliah jurusan hukum. Kamu yang vokal dan tidak lembek, seharusnya nggak membiarkan ini berlarut-larut." Bentakku dengan nada bicara yang cukup tegas.

"Karena aku dilarang mas Alvin untuk mengadu, kak. Mas Alvin bilang akan menikahiku, dan akan mencari cara untuk membujuk kakak agar mengijinkan kamu menikah. Tapi nyatanya dia hanya diam saja. Terpaksa aku yang harus maju untuk berbicara sama kakak. Sinta takut kehamilan ini semakin membesar, maafin Sinta kalau itu menyakitkan hati kakak."

Aku memicingkan mata mendengarkan kata-kata terakhirnya.

"Apa yang kamu bilang soal Alvin itu benarkah? Bahwa ia akan menikahimu, bertanggung jawab dan akan mencari cara untuk bisa bicara dengan sata?"

"Iya, kak."

"Demi apa?"

"Demi tuhan, kak."

Alvin.... Jika itu benar, berarti selama bertahun-tahun pernikahan ini, aku benar-benar tak mengenalnya, seketika rasa ibaku padanya yang saat ini sedang terbaring koma, luntur.

Apakah dia kurang puas denganku? Apakah aku sudah tak menarik lagi baginya?  Seburuk itukah aku dimatanya? Atau hanya dasarnya saja dia yang liar tanpa aku ketahui watak aslinya.

"Untuk itu kak, atas kebodohan Sinta, Sinta minta maaf. Sinta memang bodoh. Tapi kak, tolong ngertiin Sinta. Sinta disini  juga korban. Bagaimana Sinta bisa menolak kalau mas Alvin terus memaksa aku untuk melayaninya." Pekiknya.

"Kamu jangan cari pembenaran, Sinta. Bahkan malam itu Aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri, dengan liarnya kamu. Membalas dan menimpal semta cumbuan Alvin. Aku melihat jelas dalam rentang waktu yang lama. Kamu sama saja Sinta. Kalian sama-sama biadab." Entah ada kekuatan dari mana aku bisa berbicara seperti itu pada Sinta.

Meski aku teramat sakit saat mendengarnya, keperawanan adikku telah direnggut oleh suamiku sendiri dan saat ini telah mengandung anaknya.

Seketika itu juga aku harus menghilangkan kesucian cintaku yang kujaga untuk Alvin. Cinta putih yang ternodai oleh cinta yang tak seharusnya. Serumit inikah rumah tanggaku?  

"Jika sudah siuman, menikahlah dengannya, seperti maumu, seperti yang kamu perjuangkan, dan mintalah kepada kakak iparmu untuk menjadi suamimu. Kakak ikhlas. Kakak akan meminta Alvin untuk menalak kakak. Kamu masih terlalu kecil untuk menghadapi dunia sendirian, apalagi dalam kondisi kamu yang sekarang ini  sedang hamil."

"Kak, tapi saat ini aku sudah terima, sudah pasrah, tak apa-apa aku tak menikah dengan mas Alvin, tak apa. Sekarang Sinta akan menanggung semuanya. Toh sekarang Sinta sudah tinggal di kampung. Tak ada yang tahu siapa Sinta. yang mereka tahu sinta hamil nganggur. Tapi Sinta nggak masalah dengan sebutan itu, anggap saja ini sebagai hukuman untuk Sinta yang telah liar selama ini.

Mungkin dia sudah menyadari semua kesalahannya. tapi mungkin ini adalah siasat dia untuk bisa meluluhkan hatiku, agar aku menerimanya kembali di rumah ini.