"Aku harus segera pulang, Bri," ucapku tiba-tiba pada Brian yang baru saja menyelesaikan hidangan penutupnya.
Dia tampak berpikir sejenak.
"Ya, aku paham. Semoga sekarang kamu sudah jauh lebih tenang, ya. Semoga ini cukup untuk menghiburmu," ucapnya.
"Ya, terima kasih, Bri. Sudah membawaku ke sini," Mata sendu itu, menatapku dalam aku sulit mengendalikannya. Hanya saja, aku selalu tak pernah mampu membalas tatapannya.
"Kamu baik-baik saja, Bri. Semoga aku bisa ke paris lagi segera. Ingin berziarah ke makam istri dan anakmu, ya." Ucapku.
"Aku sangat bahagia mendengarnya, Ren. Jika aku pulang ke indonesia, aku akan ngabarin kamu terlebih dahulu, ya," pesannya.
"Wah, dengan senang hati, Bri. " ucapku senang.
***
Aku sudah di dalam kamar nyaman ini lagi, kamar penuh kenangan. Ah, lagi-lagi bayangan Alvin yang terlihat di benakku.
Satu jam lagi aku akan dijemput pak supir. Setelah dia sampai, aku pun bergegas masuk ke dalam mobil tersebut. menuju rumah sakit BINTARO. Masih lelah, tapi aku harus secepatnya melihat keadaannya Alvin.
Menurut Rany, Sinta sama sekali tak datang untuk menjenguk Alvin.
Bergegas aku menuju premiere room. Baru beberapa langkah menaiki anak tangga. Terdengar suara seseorang memanggil namaku.
"Kak, Rena!"
Aku pun menengok ke arah suara tersebut. Sinta! Entah kenapa, sepertinya lututku lemas. Ia terlihat sedikit kurus, dan outfitnya tak tertata rapi, tak senada seperti biasanya. Entah karena ia mulai sadar diri untuk tak hidup glamour, atau apa. Hatiku terenyuh.
Sinta ..., Adikku yang kurawat dan kujaga sepenuh jiwaku. Seketika ada rindu di antara kebencian yang masih tertanam dalam hati ini. Kutahan langkahku, aku terdiam membuang muka ke depan.
"Kakak, masih bolehkah aku memanggilmu?" Suaranya memelas.
Ya tuhan, jangan sampai rasa ibaku mengalahkan kemarahanku padanya. Meski dalam hati aku terguncang menyadari kehadirannya.
"Terserah kamu saja!"
"Aku ingin berbicara dengan kakak, ka ... Boleh minta waktunya ...?"
Please, jangan tatap matanya, Ren. Kamu akan luluh dan kalah jangan lagi pandang dia sebagai adikmu. Dia hanya seorang pelakor, ya, dia pelakor. Kamu harus marah padanya. Jika kamu kalah, kamu harus memarahi dirimu sendiri! Ucap sisi hatiku yang lain.
"Kamu sudah jenguk, Alvin?" Tanyaku keras. Ingin aku berteriak mengatakan 'kamu jenguk pasangan zina mu!'
"Belum ...?" Jawabnya.
"Kenapa belum?!"
"Aku tak sanggup ...?
"Kenapa!?" Tanyaku masih dalam nada tegas, dan terap membuang muka. Ku nanti jawabannya, namun ia hanya diam.
Aku melangkah pergi meninggalkannya.
"Aku hamil, kak ...!"
Suara itu kecil. Tapi aku mendengarnya!
Apa? Sinta HAMIL????
Segera ku tatap wajahnya dari atas tangga. Aku tak sanggup. Aku terisak, menatap wajahnya yang pucat dan matanya yang celong.
"SIAPA???" Aku membentaknya dalam isak yang berusaha kutahan sesak.
"Mas Alvin, kak ...," jawabnya lemas. Ia lunglai, luruh ke lantai dan seketika itu pingsan.
Oh adikku, aku berlari membangunkannya dan memeluknya. Ternyata aku tak bisa membenci seutuhnya. Kenapa naluriku mengalahkan amarahku. Aku benci pada diri sendiri.
"Susterrrrr tolooonnngg!" Teriakku. sembari memeluk. Menciumnya, aku rindu kamu Sinta," bisikku diantara tangisan.
Dua orang yang telah memporak porandakan hidupku, kini kutatap dalam kondisi terbaring tak berdaya. Sinta masih belum siuman. Sementara Alvin masih koma dan belum bangun.
Ya tuhan dalam keadaan mereka seperti ini, siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan aku. Aku istrinya dan aku adalah kakaknya Sinta, meski kenyataannya aku dihancurkan dua orang lemah tak berdaya itu saat ini.
Dokter bertanya, "mana istri bapak Alvin?"
"Saya, dok."
Lalu semua saran dokter, nasehat masukan, obat-obatan, perawatan selanjutnya dan sop lainnya, semua disampaikan padaku.
Dokter teramat yakin menitipkan proses kesembuhan mereka padaku. Padahal saja, aku justru berharap mereka berdua mati saat ini.
Entah bagaimana rasa hati ini. Seandainya saja mereka tak pernah melakukan pengkhianatan itu. Saat ini pasti aku adalah orang yang paling bersedih sedunia. Menyaksikan dua orang yang paling aku sayangi berada dalam kondisi paling lemah dalam hidupnya.
Aku sendiri saat ini tidak tahu dengan hatiku, benci atau iba, semua campur aduk jadi satu, menyisakan sesak dalam jiwaku.
Siapa yang tak benci melihat dua orang yang disayang menusuk dengan belati dari belakang. Namun siapa pula yang tak menyaksikan orang-orang sesungguhnya paling kita sayangi, terkapar lemah tanpa daya.
Aku puas menangis di ruangan ini. Ruangan yang aku bayar khusus untuk pasien istimewa ini. Agar aku bebas melihat mereka, tak ada yang menertawakan karena rindu pada orang yang berkhianat. Agar aku bebas juga jika sewaktu-waktu ingin membunuhnya.
Tanpa sadar aku menjerit-jerit berkali-kali, apa yang harus aku lakukan kedepan? Siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan Sinta, Alvin?
Siap-siap saja aku ditertawakan dunia. Jika aku menyuruh Sinta untuk membunuh janin itu, setan-setan yang akan puas menertawakanku.
Sementara Alvin koma dan tak tahu sampai kapan ia terbangun. Bagaimana jika kolegaku tahu bahwa Sinta hamil. Sementara lagi aku adalah kakaknya. Apakah harus jujur pada mereka, bahwa yang menghamili Sinta adalah Alvin?
Ya tuhan .... kenapa beban dan hukuman ini engkau beri untuk ku. Mereka yang berbuat, aku yang sakit, mereka sakit, aku yang harus berbuat. untuk sementara ini mereka berzina, aku yang menanggung malu, tidak nanra saat ini, tapi seumur hidup.
Bagaimana mungkin aku tak bisa menjaga suamiku dan adikku, mungkin itu penilaian dunia terhadapku.
Arrrggghhh!! Kepalaku sakit sekali, aku berteriak berkali-kali.
Tak bisa ku kendalikan dan kutahan emosi yang memuncak. Tak mampu pula menghiraukan goncangan-goncangan Rany yang berusaha menyadarkanku.
"Istighfar, Bu. Istighfar. As- tagh- fi- rullah- hal- adziiiimmm ..." Ejanya menuntunku.
Aku mencoba mengikuti perkataan Rany, "Astaghfirullahal adzim," ku ulangi berkali-kali tapi kemudian terus menangis keras.
Rany berlari memanggil suster.
"Suster, dokter, tolong ...!" Teriaknya.
Kemudian tidak berlangsung lama, suster dan dokter pun masuk kedalam san berusaha menenangkanku.
"Depresi ...? Ucap Rany sembari melihat dan mendengar arahan dari dokter.
Ku tepis pikiran negatif dalam hati, ku halau frustasi yang merajai jiwaku, bukankah itu kata Rany dan suara tersebut berasal dari seberang sana, bersama dokter yang menanganiku.
"Ran ambilkan mukena, aku ingin segera shalat sunnah dan berdzikir," ucapku.
Sekuat tenaga aku mencoba kembali menetralkan perasaan menghadapnya. Tapi tak bisa, sedetik kemudian aku menjerit menangis dan tertawa berbarengan.
Tuhan, kenapa aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri? Suster-suster memegangi tanganku yang meronta.
"Kita bawa Bu Rena kedalam ruang perawatan khusus dulu, sus," ucap dokter tersebut.
Suster menaikkanku ke kursi roda. Membawa ke satu ruangan di sudut rumah sakit.
"Ibu istirahat dulu di sini, yah," ucap suster.
Ah, akhirnya aku mendapat perlakuan sebagai pasien. Di infus juga disuntik obat penenang.
Setelah beberapa jam aku pun kembali stabil. Rany seorang asisten yang sangat baik terhadap aku. Dia duduk disampingku, menemaniku dan berusaha menenangkanku, serta menasehatiku dalam segala hal yang baik dilakukan dan tidak baik untuk dilakukan. Sepanjang terbaring lemas, dia memijat bobotku yang terasa sangat lelah. Sembari memijat dia selalu berusaha untuk membuka hatiku agar selalu melangkah kedepan dan meninggalkan semua kepahitan yang terjadi saat ini.