Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Irama Romansa

geucalyptus
--
chs / week
--
NOT RATINGS
12.3k
Views
Synopsis
“Ran, tidak semestinya kamu seperti ini.”  Ira hanya ingin mengingatkan Rani, sahabatnya, untuk tidak mempermainkan lelaki mana pun. Namun, Rani masih bersikukuh untuk mendekati Ryan, seorang kapten basket, demi mendapatkan popularitas yang sempurna di SMA Royal Rose.  Ira melakukan hal itu bukan semata-mata karena sahabatnya, tetapi karena ingin membahagiakan Rama, cinta pertamanya, yang jatuh cinta pada Rani. Peristiwa  yang datang hanya membuat kehidupan Ira semakin sulit karena ternyata sang ibunda justru mendekatkan Ira pada Ryan dalam sebuah momen.  Mungkin, akan menjadi kebanggan bagi Ira untuk disukai oleh Ryan. Namun, bagaimana jika Rama memiliki kebenaran yang lain? yang mungkin dapat membuat Ira mempertimbangkan keputusannya? “Kupikir masa SMA adalah yang paling menyenangkan, justru membuatku merasa bingung tujuh keliling!” - Iraswara 
VIEW MORE

Chapter 1 - IR1

"Ran, nggak seharusnya kamu seperti ini." 

Ira merasa kesal, mungkin. Namun, sebenarnya, ia merasa kesal karena apa? 

apa yang menjadi alasannya berkata seperti itu juga bukan tentang dirinya sendiri.

"Apa? aku melakukan apa?" tukas Rani sambil meminum es teh manis yang terbungkus oleh plastik itu. "Lagian, apa yang salah kalau aku mendekati Ryan? dia yang mendekati aku duluan. Kamu tahu itu, 'kan?" 

Ira yang semakin kesal justru merasa bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Rani itu memantik amarahnya yang lain.

Dasar, cewek sombong!

Ira tidak mungkin mengatakan hal itu saat ini. Amarah yang mendekapnya justru akan membuat Rani besar kepala, bahkan menuduhnya yang bukan-bukan. 

"Tapi, kamu nggak suka 'kan sama Ryan? untuk apa kamu ikut memberikan perhatian seperti itu? Ngajak ngedate? oh, Gosh!" tanya Ira, dan tentu saja dengan menahan kekesalannya. 

"Aku tahu, aku memang nggak suka. Tapi, kalau aku dekat sama Ryan sekarang, kita bakalan jadi pasangan yang sangat sempurna. Ya, 'kan?" elak Rani dengan senyuman bibir yang merah merona. 

Ira menghela napas. "Tapi, kalau kamu seperti ini, kamu berarti mempermainkan Ryan!" 

Rani berdiri kemudian menoleh ke arah sekitarnya. Seakan-akan, ia memastikan sesuatu. Sesuatu atau seseorang yang mungkin akan mendengarkan perkataan Ira. "SSSTTT! kenapa kamu jadi ember gini sih?" kata Rani dengan pelan.

"Jadi, aku bener, dong? kamu mau mempermainkan--" suara Ira terhenti dengan tangan Rani yang menyekapnya. Rani menggiring Ira untuk pergi meninggalkan kantin sekolah yang memang belum terlalu ramai sekarang. Terlihat beberapa anak yang baru saja selesai pelajaran olahraga sedang makan bakso di sana. 

"SSSTT! kenapa kamu keras banget ngomongnya?" kata Rani dengan sedikit gelisah. "Kamu ngomong gitu kayak aku jahat banget!" 

"Iya, emang kamu jahat banget!" kata Ira sambil melipat tangannya. "Kemarin senior-senior, sekarang teman setingkat, kamu maunya apa? katanya kamu benci banget sama senior-senior yang suka sama kamu karena kecantikanmu. Lah, ini? maksudnya apa? atau … kamu suka sama Ryan?" 

Degup jantung Ira mendadak berlarian ketika mengatakan hal itu. Sebenarnya, ia tidak ingin terlalu ikut campur dengan apa yang dilakukan oleh Rani. Namun, karena sesuatu, ia tidak ingin Rani berpacaran dengan siapa pun saat ini.

Rani menjawab dengan senyuman, kemudian tertawa terbahak-bahak. "Apa maksudmu suka? ya nggak lah! apaan sih? gimana caranya aku suka sama Ryan yang dia aja nggak setampan Rama!" 

Ira menelan ludah. Nama itu, ya, nama yang selalu membuat hati Ira ingin copot tanpa izin terlebih dahulu. Nama yang terukir dengan tepat dan indah di dalam ruang hidupnya selama ini. "Terus, kenapa kamu malah sok ngedeketin Ryan?" 

Kali ini Ira ingin memastikan sesuatu, satu lagi. Mengingat pertanyaan yang ingin diajukan setelah ini  sudah membuatnya hampir gila beberapa waktu belakangan. "Kalau kamu tertarik sama Rama, kenapa nggak sama dia aja? katamu, Ryan kalah ganteng sama Rama?" 

Jawablah kalau kamu nggak suka sama Rama, please. 

Ira tidak berani menatap Rani sekarang. Gadis ini hanya menunduk, berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang meskipun itu tak mungkin terlihat dengan dengan sempurna. Untung saja, Rani bukanlah orang yang peka. Ia hanya sensitif dengan lelaki yang mendekatinya saja. 

Rani tersenyum, sekali lagi, ia tertawa dengan terbahak-bahak. "Masa, aku bilang ganteng terus aku mau sama dia? ya, nggak lah! aku lebih suka Ryan walaupun Rama lebih ganteng. Rama cuma ketua futsal. Kamu tahu, 'kan? mantanku bulan lalu mantan ketua basket di kampusnya. Aku mau yang setara dong!" tukas Rani dengan begitu percaya diri. 

"Makanya, kamu baru putus sebulan yang lalu. Terus, kamu mau cari pacar lagi? hanya karena Ryan mengantarmu pulang kemarin? terus, kamu malah ajak dia nonton nanti sepulang sekolah? pasti, alasannya kamu pingin berterima kasih, ya 'kan?" 

Rani menoleh ke segala arah, memeriksa bahwa tempat di belakang kantin ini memang aman seperti dugaannya. "Kamu memang teman terbaikku!" katanya sambil mencubit pipi Ira yang tembem. 

"Terus, dari situ, kamu bakalan mancing dia buat nembak kamu, 'kan?" Ira menghela napas setelah mengucapkan kalimat itu. 

Rani mengangguk. "Ya, seperti itu." 

"Kamu nggak merasa bersalah?" tanya Ira, entah ke berapa kali ia menanyakan hal ini. 

"Merasa bersalah untuk apa? kami akan bersenang-senang. Lagian, dengan aku pacaran sama Ryan, dia bakalan dapat popularitas 'kan? dia pacaran sama cewek tercantik di Royal Rose!" 

Ira menggelengkan kepala. "Kamu nggak merasa bersalah?"

"Ih! aku harus merasa bersalah kenapa? kalau jadi, Ryan bakalan jadi pacarku dan kita akan saling menguntungkan satu sama lain!" jelas Rani yang tak ingin ditanyakan apakah rasa bersalah itu ada. 

"Tapi, hubungan kalian? lagian, kamu yakin Ryan bakalan suka sama kamu?" Ira sedikit menurunkan harga diri sahabatnya itu. 

"APA?" Rani mendekati Ira perlahan, "kamu meragukan aku?" 

Ira semestinya lega. Jika Rani berpacaran dengan Ryan, pasti kesempatannya menjadi lebih banyak. Ia tidak perlu merasa rendah diri hanya karena merasa bersaing dengan gadis tercantik di sekolahnya untuk merebut hati seorang anak laki-laki. Namun, lama-lama, ia merasa risih dengan kelakuan Rani yang merasa dapat menaklukkan semua lelaki dengan kecantikannya. 

Hal ini bertolak belakang dengan keinginan Rani yang dicintai apa adanya. 

"Aku hanya memberikan kemungkinan. Walaupun lebih mungkin kamu menarik hati anak laki-laki, tapi masih ada kemungkinan kamu gagal menawan hati yang lainnya." Ira tidak ingin berdebat lebih jauh, walaupun sebenarnya ia hanya ingin merasa senang sendirian. 

Kesempatannya mulai terbuka dengan lebar. 

Kesempatannya mulai memiliki kemungkinan yang besar untuk berhasil. 

Ira berjalan meninggalkan Rani yang masih melongo setelah mendengar apa yang dikatakan olehnya. Ira tidak peduli. Toh, sahabatnya itu sudah sering mendapatkan kata-kata pedas darinya. Ini tidak seberapa, jadi Ira tidak merasa bersalah sedikit pun.

"Kamu mau ke mana?" tanya Rani dengan sedikit berteriak. 

"Perpus!" Ira terdiam, kemudian membalikkan badannya lagi. "Kamu mau ikut?"

"Pertanyaan macam apa itu? kamu tahu lah aku akan jawab gimana!" Rani pun berjalan mendahului Ira yang mengamati dirinya dengan diam. Lagipula, untuk apa Ira mengatakan sesuatu tentang pengamatannya terhadap Rani. Toh, Rani memang tidak suka dengan perpustakaan, Ira hanya berniat menggodanya saja. 

Rani dan Ira memang berteman sejak SMA. Namun, kedekatan mereka terlihat seperti hubungan yang tidak terlihat dekat. Mereka saling datang ketika membutuhkan, atau saat salah satu dari mereka sedang mengalami peristiwa yang menyenangkan. 

Mereka hanya punya prinsip satu: teman tetaplah teman meskipun tidak selalu bersama. 

Ira tahu, pasti setelah ini Rani akan pergi ke kelas atau aula untuk mencari teman-temannya yang lain. Walaupun Rani memiliki banyak teman, ia hanya menceritakan semua kisah hidupnya kepada Ira. 

Terkadang Ira merasa jengkel, tetapi di lubuk hatinya juga menyayangi Rani. Sahabatnya itu tidak akan tinggal diam jika dirinya sedang dirundung oleh kawan sekelasnya. 

Rani memang pemberani, sekaligus menawan. Namun, Ira memandang dirinya seorang gadis yang berusaha tanpa henti, selain tak menyerah untuk berharap. 

Ponsel Ira baru saja berbunyi, sebuah pesan telah masuk. Ia tiba-tiba membelalakkan mata. Degup jantungnya harus ditenangkan terlebih dahulu. 

[Rama: Iras, kamu di mana? aku ada di kelasmu, nih.]