Rama membuka pintu UKS dan melihat beberapa anak sedang mengerubungi gadis yang baru saja membuka mata.
Rama menatap tajam, tetapi tidak pula terlihat sedang mengancam. Namun, sepertinya, dua orang itu tahu apa yang sedang terjadi. Ira melihatnya. Rama yang beberapa waktu yang lalu tersenyum kepadanya, kini bahkan tak menatap dirinya yang sedang menanti.
Menanti untuk diperhatikan.
Menanti untuk diketahui keberadaannya.
Ira masih tidak habis pikir. Apa yang terjadi dengan dua orang itu? lebih tepatnya, apa hubungan di antara Ryan dan Rama sehingga menimbulkan pertengkaran seperti itu?
Ira terdiam sesaat. Mungkin, kali ini ia terlalu gegabah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi, kenapa Rama mengunjungi Niken?
Apakah terdapat sesuatu yang tidak diketahui oleh Ira?
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Rama dengan nada tegas.
What? apa hubungannya Rama dengan Niken sekarang? apakah mereka jadian? mereka berpacaran? Astaga, ini akan menjadi bencana. Baru saja Ira merasa sedikit lega dengan kesempatan yang terbuka lebar untuknya. Tapi, sekarang? apa yang sebenarnya terjadi?
Niken menatap lesu Rama yang sedang berdiri di sampingnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan?" Rama, sekali lagi, memastikan.
Niken mengangguk seraya tersenyum. "Bagus, kalau begitu aku pergi dulu."
Ira yang sedari tadi ada di sana, tidak sama sekali mendapatkan perhatian dari Rama. Hei, di sini temanmu! sahabatmu! kenapa kamu bahkan tidak menoleh?
Ira melongo. Tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini. Bahkan sampai Rama bertolak dari ruangan itu, ia tidak menggeser rahangnya sedikit pun ke arah Ira.
"Nik, kamu sama Rama ada apa?" tanya Ira dengan harapan akan mendapatkan jawabans secepatnya. Rasa penasaran yang sudah membuncah itu tak mampu dibendungnya sekarang.
"Sudahlah, Ir. Aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu." Niken membalikkan badan sehingga dirinya memunggungi Ira.
Ira ingin memaksa, tetapi mungkin tidak sekarang. Haruskah mencari tahu ke orang lain? Ryan? ia berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepala. "Nggak mungkin. Aku nggak kenal Ryan. Dan, aku juga malas kalau harus mendekati dia."
Ira mendekati Niken lalu berkata, "Nik, aku ke kelas dulu. Nanti setelah pulang sekolah, aku jemput kamu sekalian bahwa tas kamu."
Niken mengangguk.
Tidak ada yang bisa dilakukan saat ini. Tidak ada pula hal yang membuat semuanya terlihat jelas. "Sebenarnya, mereka ada apa? aku nggak tahu kalau Niken bisa dekat sama Rama?"
Ira memakai sepatunya untuk kembali ke kelas. Jam kosong saat ini akan berakhir beberapa menit lagi. Ia tidak ingin terlambat, apalagi dicap sebagai anak malas yang tidak tahu diri.
Tidak tahu waktu, tidak tahu apapun dalam sekolah ini. Cap itu memang sering dilontarkan oleh seorang guru kimia yang akan mengajar di kelasnya. Entah mengapa, guru yang satu ini membuatnya lelah untuk belajar.
Membayangkan wajah guru yang suka menghina itu membuat Ira menghela napas berkali-kali. Tidak bisakah ia melewati jam pelajaran itu? tidak bisakah ditukar saja? menyebalkan, begitu pikir Ira. Terlebih rasa penasaran yang belum sirna, justru membuat Ira tak akan bisa memahami kimia untuk saat ini.
Ira berbelok ke lorong yang menuju kelasnya. Tidak disangka, seseorang menunggu dirinya di lorong tersebut.
"Jadi, nanti kamu langsung pulang atau ke mana?" tanya Rama, tatapannya masih menyeramkan. Walaupun sama-sama tajam, mengapa tatapan Rama kepada Ira kali ini lebih menakutkan daripada tatapannya kepada Niken.
"Apaan sih? kenapa kamu natep aku kayak gitu?" Ira berusaha mengendalikan diri, meskipun dirinya sedang gugup.
"Aku natep kayak gimnaa? emang, aku kudu natep kamu kayak gimana juga?" jawab Rama, lagi-lagi dengan ekspresi yang datar.
"Kayak gini, gini--" Ira menunjuk wajah Rama yang masih memasang raut tak terjadi apa-apa, "nggak sadar?"
"Aku harus natep kamu kayak gimana?"
Kayak tadi. Kayak kamu senyum sama aku sewaktu di perpus.
"Apa? kenapa diem? sekarang, jawab aku. Jadi, kamu nanti pulang atau tambahan kelas kayak biasanya?" Rama mengulangi pertanyaannya lagi.
"Aku--" Ira semakin gugup, "kenapa nanya ? kamu peduli?"
"Yee, kalau aku nggak peduli, ngapain aku nanya gini?" Rama berkelakar kesal.
"Apa sih? maksudnya apa?"
"Mama papamu tadi siang telepon mamaku buat jagain kamu." Rama menunduk, seperti enggan mengakui bahwa dirinya 'harus menjaga' seorang Ira.
"Apa? jagain aku? biasanya aku juga naik angkot!" kata Ira sambil memikirkan kemungkinan yang terjadi. Apakah ini alasan Rama untuk mendekatinya? apakah Rama sudah sadar bahwa mengejar Rani adalah kesia-siaan?
"Aku juga sudah ngomong gitu ke mamaku," ungkap Rama.
Sial. Dia tetap saja nyebelin. Berarti dia sempat menolak untuk menjagaku, dong? sialan!
"Terus?" pinta Rama untuk meneruskan.
"Masalahnya, mama papamu mendadak kudu ke luar kota."
"Kok kamu tahu kalau orang tuaku keluar kota?"
"Ya, karena mamamu telepon mamaku. Dan, mamaku juga pulang malam nanti. Makanya, mamaku nitipin kamu ke aku."
Ira mengedipkan mata berkali-kali.
What? jadi, aku akan bersama Rama sampai malam?
Binar mata Ira sungguh tidak bisa disembunyikan. "Kenapa? kok seneng? seneng deketan sama aku?"
Ira menarik napas. "Sialan! Terus maksudnya gimana jagain aku?" ya, walaupun Ira menampik perasaannya untuk terlihat biasa saja, tetapi dirinya benar-benar dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Beberapa jam berdua dengan Rama? astaga! mimpi apa aja aku semalam? pasti ketemu cupid yang menakdirkanku bareng Rama seharian!
"Kita kudu cari makan siang. Atau aku ke rumahmu, atau sebaliknya. Terserah kamu," kata Rama.
Ira mengangguk. "Jadi, tadi kamu mau ngomong ini sama aku?"
Rama mengangguk. "Lagian, kenapa deh HP-mu? mamamu sampai panik banget nyariin kamu lewat mamaku."
"HP-ku?" Ira menyadari bahwa ponselnya memang sedikit gangguan untuk menerima pesan atau telepon. Beberapa pesan masuk, tetapi yang lain tidak masuk ke dalam kotak penyimpanannya. "HP-ku emang agak rusak."
"Tapi kamu terima chat-ku, 'kan?"
Ira mengangguk. "Ya sudah. Nanti aku nggak kelas dulu aja. Aku langsung pulang."
"Pulang?" tanya Rama memastikan. "Kita langsung pulang? oh, ya, aku lupa memang kamu emang biasa kayak gitu. Sepu-sepu, sekolah pulang sekolah pulang. Tapi, bukannya kamu ada tambahan matematika? sama anak-anak aksel?"
Ira menghela napas. Rama memang terbaik untuk masalah ingatan yang tajam. "Oh, ya, aku lupa. Tapi--"
"Tapi, kamu pingin bolos?"
Ira menyipitkan mata. Rama pasti akan dengan senang hati mengajarinya membolos kelas tambahan. Tapi, apakah ini patut untuk diteruskan? kesempatan untuk bersama Rama tidaklah semudah ini. Entah, ada apa dengan takdir hari ini yang berpihak kepadanya.
"Oke, aku bantu. Aku tunggu kamu di lapangan futsal. Aku bakalan di sana sepanjang siang ini nungguin kamu."
"Kamu nggak kelas?" tanya Ira.
"Ada, kelas olahraga."
"Sesiang ini?"
Rama mengangguk. "Oke, bye!" katanya kemudian berjalan meninggalkan Ira.
"Ram," panggil Ira dengan sedikit ragu, "kita langsung pulang?" Ira merasa tidak dapat mengendalikan dirinya yang lain. Bagian dirinya yang sering tak terkendali jika berdekatan dengan Rama.
Rama berbalik, melihat Ira yang berdiri di posisi yang sama dengan wajah meminta jawaban itu membuatnya tersenyum.
Ia berjalan mendekati Ira, kemudian membisikkan sesuatu.