Aku nggak akan tanya apa-apa. Lagian, buat apa? Rani, ya, bisa seperti ini? setelah apa yang baru saja dia katakan di kantin sewaktu istirahat? ngeselin! asli!
Ira menarik napas, tidak ingin membiarkan dirinya berada di dalam keheningan yang canggung seperti ini. Lebih baik ia melakukan sesuatu yang ekstrem. Melihat mereka berdua, sungguh, bukan keahlian Ira.
"Aku pulang naik angkot aja, Ram."
"Loh? kamu nggak inget sama apa yang aku bilang tadi?" Rama langsung menunjukkan ekspresi tidak terima.
"Apa yang kamu bilang tadi? emang, kamu bilang sesuatu?" Ira berusaha mengelak. Harusnya memang apa yang dikatakan oleh Rama benar-benar terjadi. Tapi, melihat Rani di sini, tentu membuat semuanya berantakan.
Daripada jadi obat nyamuk, mending ketiduran di angkot, 'kan?
"Kalian mau pergi?" tanya Rani setelah membaca keadaan. "Kamu mau pergi sama Rama, Ir?" Rani mengalihkan pandangan kepada Rani.
Ah, sial. Menurutmu gimana, Ran?
"Iya, kita mau pergi, Ran. Kamu mau ikut?" Rama tersenyum seraya mengatakan hal itu.
SIAL!
BENAR, 'KAN?
INI YANG AKAN TERJADI!
MENYEBALKAN!
Ira masih menahan diri dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sungguh, jiwanya benar-benar tenggelam dengan emosi yang telah ditahan sekian lama.
Apakah Rani tidak tahu kalau aku suka sama Rama?
Dia 'kan yang ngomong nggak mau sama Rama, kenapa malah dekat seperti ini? kenapa malah nunjukin kalau dia punya sesuatu dengan Rama?
Kenapa kamu egois banget, sih, Ran?
"Ir? kamu kenapa? kenapa ngelamun?" tanya Rani sekali lagi. "Ram, jaga sahabatku baik-baik. Kayaknya dia merasa bersalah habis bolos kelas tambahan."
SIALAN!
Rama tertawa mendengar Rani mengatakan hal itu. Namun bagi Ira, itu sangat tidak lucu. Apa maksudnya tertawa seperti itu? apakah mereka menjadikan Ira sebagai bahan bercanda?
Rani mengambil tasnya yang tergeletak di lapangan. Ia melambaikan tangan kepada Ira dan Rama.
"Kamu kenapa, Ir?"
"Nggak apa-apa. Aku mau naik angkot aja." Ira yang menahan rasa kesal meninggalkan Rama di pinggir lapangan.
"Ir? kamu kenapa? kok kamu malah begini?" Rama mengejar Ira yang memang berjalan perlahan. Menyenangkan sekali bisa dikejar oleh Rama. Ira tersenyum sendiri.
"Ir, woy! ayo!" Rama meraih tangan Ira dari belakang. "Ayo kita nonton. Kamu udah setuju 'kan, tadi?"
Ira mendelik. Bukan karena merasa marah, tapi sangat terkejut. Baru kali ini Rama memegang tangannya, sejak terakhir kali mereka masih berusia SD. Namun, tentu saja, genggaman tangan ini tidak bisa dianggap biasa saja oleh Ira. Dengan cepat, ia harus mengendalikan dirinya kembali.
Rama adalah kelemahan dari setiap logika yang telah terbentuk di kepala Ira.
"Ayo!" Rama menarik tangan Ira dan memintanya kembali menuju lapangan futsal. Banyak barang Rama yang masih tergeletak di sana. "Aku ambil tas dulu, kamu jangan ke mana-mana!"
Ira mengangguk.
"Beneran, jangan kabur!"
"IYA! BAWEL!" teriak Ira sambil menenggelamkan bunyi degup yang sangat keras terdengar.
"Good!" Ira menunggu di depan tempat parkir yang juga berdekatan dengan lapangan futsal. Rama buru-buru membereskan barangnya, tak lupa tempat minum yang selalu ia bawa.
"Kamu mau ajak aku nonton apa, deh?" tanya Ira ketika Rama telah sampai di hadapannya.
"Horror lah!"
"Serius? kamu mau ajakin aku nonton horror? kamu bilang mau ajak aku nonton sesuatu yang menyenangkan untuk kita berdua. Horror mah kesukaan kamu!" Ira tidak terima.
"Masa kamu nggak seneng? kamu 'kan bisa peluk aku?"
"Apa maksudmu? sumpah, kamu nggak jelas banget!" Ira menggelengkan kepala.
Rama hanya tersenyum, tidak ingin membalas apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. "Nggak horror banget, kok. Itu, semacam pembunuhan. Jadi, nggak ada yang namanya hantu."
Tetap saja, ferguso. Aku 'kan takut darah.
Rama selalu seperti ini. Membuat banyak hal di dalam hidup Ira menjadi lebih kacau. Awalnya memang terdengar menyenangkan mengetahui bahwa Rama akan menghabiskan waktu bersama sampai, setidaknya, orang tua Rama pulang. Namun, menonton film horror?
"Ram," kata Ira berhenti tepat di belakang motornya. "Aku mau pulang saja."
"Loh? kenapa?"
"Aku nggak mau lihat horor dan perdarahan. Aku nggak mau!"
Rama tertawa geli. "Sumpah? kamu beneran nggak tahu apa-apa, ya?"
"Apa maksudmu?" Ira berkenyit.
"Kamu nggak pernah tahu jadwal bioskop, ya? kamu nggak pernah nengok atau gimana gitu?"
"Ram, kamu tahu sendiri, aku nggak pernah main ke mall selain sama kamu."
Rama tertawa. "Makanya, sekarang nurut aja sama aku!"
Ira memeriksa sekitar, memastikan sesuatu. "Ram, Rani ikut?"
Rama membalikkan badan. "Ikut, tapi di sini." ia menunjukkan dadanya yang mungkin basah karena berkeringat.
Sial. Bisa, ya, dia mengatakan hal itu kepadaku?
Menjijikkan?
Kamu nggak tahu kalau dia suka sama Ryan?
Ya ampun, kamu menyedihkan sekali, Ram.
"Udah, ayo naik." Rama sudah menaiki sepeda motornya.
"Naik? aku nggak bawa helm!"
"Kamu nggak lihat aku bawa apa di tanganku?" Rama memberikan helm yang ada di tangannya. "Kenapa? kenapa kamu nggak fokus kayak gini?"
Aku nggak fokus? ya iyalah! gimana sih!
Ira menghela napasnya dengan berat. "Ya ampun, aku cuma sekali ngelamun gini aja, udah kamu omongin nggak enak!"
"Aku nanya, Ir. Kenapa kamus sewot?"
Ya iyalah sewot! gimana nggak sewot? aku kesel kalau kamu suka ngomong perasaanmu ke Rani. Apa perlu aku langsung ngomong ke kamu kalau dia nggak suka sama kamu? kamu nggak tahu 'kan pengorbananku?
Ira, lagi-lagi, hanya dapat mengatakan semua itu di dalam batinnya. "Iya, makasih. Kenapa kamu bawa dua helm? nggak berat?"
"Siapa tahu Rani minta dianter pulang." Rama tersenyum meski dibalas dengan ekspresi datar oleh Ira.
"Terserah."
"Loh, kok kamu kesel?" Rama mulai bertanya, "kamu cemburu?"
IYA, AKU CEMBURU! PUAS?!
Namun, Ira hanya diam sambil menaiki motor Rama yang besar itu. Ia menggelengkan kepala. "Ram, kamu ngapain minta tante Danti motor kayak begini? nggak enak dibuat boncengan tahu!"
"Ya, enakan motor inilah. Daripada kamu nggak punya motor?"
Ira tidak ingin berdebat hari ini. "Kalau kamu masih ngeyel kayak gini, aku pulang naik angkot aja."
"Eh, kenapa, deh? aku pingin nonton sama kamu ini!"
Ira menyipitkan mata. "Kenapa nggak ajak Rani aja?"
"Nggak bisa, aku nggak bisa ajak dia."
Ira mendekatkan diri bahkan terkesan memeluk Rama dari belakang. "Emang kenapa? ada sesuatu yang nggak pingin kamu kasih tahu ke Rani, ya?"
Rama terdiam. Ira mendengar dengan jelas bahwa Rama baru saja menelan ludah.
"Kalau kamu nggak cerita, aku tambah peluk erat kamu biar seluruh anak sekolah tahu. Ketua futsal jadian sama anak cupu yang ranking satu se-sekolah!"
"Oke."
"Apa maksudmu oke?"
Tidak ada jawaban dari Rama. Ia justru menyalakan mesin motor dan meninggalkan area parkir sekolah.