Ira tertawa terbahak-bahak.
Ia tak menyangkan bahwa sedari tadi, kecurigaannya, benar-benar tidak masuk akal.
"Jadi, kamu mau ngajak aku nonton ini? dari tadi? kenapa nggak jujur aja?" Ira masih tidak ingin menghentikan tawanya yang cukup lepas, hingga Rama tersenyum melihatnya.
"Kan aku sudah bilang, kita akan bersenang-senang. Kamu seneng 'kan?"
Ira memandang Rama dengan tatapan yang berbeda saat ini. Tawanya terhenti, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kepada Rama bahwa dirinya sedang memperhatikan.
Kamu tahu, Ram, menghabiskan hari bersamamu saja sudah membuatku senang. Entah, bagaimana dengan dirimu? apakah kau juga bersenang-senang bersamaku?
"Kenapa ngeliat aku kayak gitu? masih kayak anak kecil, ya? kamu juga, kamu suka 'kan aku traktir nonton ini?" Rama terlihat gelisah. Ia, sepertinya, tidak ingin mendapatkan penilaian yang buruk hanya karena tertangkap menonton film ini.
"Iya, kamu masih kayak anak kecil!" ledek Ira dengan penuh semangat. "Kamu emang masih kecil, sih!"
"Kamu yang kecil! bagaimanapun, aku yang lebih gede daripada kamu, tahu!" kata Rama, tanpa memberikan ampun.
"Apanya yang gede? dari dulu juga aku yang melindungi kamu. Kok kamu jadi sewot? nggak ingat bagaimana jasaku sewaktu kita SD? nggak ingat kalau aku bahkan membelikan celana di koperasi karena kamu mengompol dan ketakutan?" Ira selalu mampu menunjukkan kekuatannya.
Ia tidak menginginkan kekalahan, selalu.
Rama membelalakkan mata. "Bisa nggak sih, ngomongnya diatur?"
Ira menggeleng. "Nggak, tentu saja nggak! TENTU SAJA NGGAK!" katanya, dengan suara yang memiliki penekanan berbeda di kalimat terakhir.
"Udah deh. Aku jadi nggak mood gara-gara kamu ngomong gitu. Sudah, kita pulang aja!" Rama yang sudah lama tidak ingin membahas tentang masa lalunya, kini merasa kesal karena perkataan Ira yang menyebalkan seperti itu.
Ira menyadari bahwa telah melakukan kesalahan. Ia pikir, dengan membahas apa yang memalukan, dapat membuat suasana menjadi lebih cair.
Ah, selalu saja seperti ini, kesalahan yang sama.
"Ram, ayo kita nonton," ucap Ira perlahan. "Maafin aku, aku nggak bermaksud melukaimu, oke?"
"Kamu sering ngomong gini, Ir. Nggak enak dengernya. Aku nggak mau bahas masalah ngompol sewaktu kita SD. ya?"
Ira mengangguk. Hampir saja momen berdua yang seharusnya menyenangkan berakhir karena dirinya.
Duh, Ir! betapa cerobohnya kamu!
Ira menata hatinya sekarang. Takut, sesampainya di studio, debaran jantungnya semakin membabi buta. Ira harus melakukan sesuatu. Jika tidak, ia bisa melakukan kesalahan lagi.
"Ram, boleh pinjem duit, nggak?" tanya Ira sedikit gugup.
"Mau beli apa?" Rama tanpa basa-basi langsung menanyakan inti dari permintaan tersebut.
"Kopi. Nanti, pas papah udah balik, aku ganti."
"Aku beliin aja. Beli di tempat bioskop kan ada kopi."
Ira menggeleng. "Kopinya nggak enak!"
"Masa? Perasaan semua kopi ya gitu-gitu aja."
Ira menggeleng untuk memberikan penegasan. "Nggak, Ram. Mahal dan nggak enak!"
"Serius? tapi dua puluh menit lagi film-nya mau mulai."
Ira mulai merasa cemas. "Tapi di bioskop, kopinya mahal."
"Nggak apa-apa, aku ada duit."
"Seberapa banyak duitmu?"
"Cukup buat beli paket maksimal di pizza sebelah."
Ira tak percaya dengan perkataan Rama. "Sumpah?"
Rama mengangguk. "Ya, mamaku lagi di luar kota juga, 'kan? makanya uang makan juga dikasih. Katanya, sekalian buat traktir kamu."
Ira melongo. "Aku nggak nyangka. Kita di sini pakai seragam sekolah dan tidak ada yang melarang. Terus, kita mau beli pizza yang harganya cuma bisa dibeli sama orang-orang kantoran? aku sangat terkejut!"
"Kamu ngomong apa sih? dah, ayo beli kopi di sana!" Rama mengantar Ira untuk membeli kopi di tempat bioskop. Mereka sedang menunggu untuk jadwal penayangan film, yang sebenarnya mereka berdua tunggu-tunggu.
Sebuah film animasi binatang, mereka berdua menyukai film dengan tema itu. Mereka, entah apa yang terjadi di antara mereka di masa lalu, sama-sama tidak menyukai film animasi berbentuk manusia.
Ira masih penasaran, mengapa Rama tidak mengajak Rani untuk bergabung. Namun, ia tidak ingin momen berdua antara mereka berdua terganggu hanya karena rasa penasaran yang menggebu.
Nikmati saja sekarang, Ir. Toh, kamu nggak selalu bisa seperti ini.
"Aku malu kalau Rani tahu aku suka film kayak gini," ungkap Rama sambil memegang sekantong berondong jagung.
Ya, aku tahu. Itulah sebabnya kamu hanya mengajakku melakukan hal ini. Tentu saja. Rani suka film romansa antara orang kaya dan miskin. Dia memang seperti itu, kamu aja yang nggak tahu, Ram.
"Masa, dia ngomong kalau males sama cowok yang suka film animasi hewan. Apa salahnya?" kata Rama.
"Sumpah?" Ira tidak percaya, dan enggan untuk percaya. Apa ini? apakah Rani ingin memberikan tanda penolakan telak kepada Rama?
"Iya. Makanya aku nggak ajak Rani. Kayaknya bakalan seru kalau Rani mau ikutan."
Ira tak menjawab, hatinya mendadak sendu.
"Mungkin, ini film terakhir yang akan kutonton. Makanya aku pingin bersenang-senang yang bisa ikut senang juga."
"Maksudmu aku?" ucap Ira, entah ingin memastikan atau hanya menunjukkan tidak ada yang terluka di antara mereka.
Ira sudah sering merasakan hal ini, sesak yang tidak tahu ujungnya di mana. Bagaimana bisa ia bertahan selama setahun terakhir mendengarkan ocehan Rama tentang perasaannya terhadap Rani?
Apakah aku harus meminta pengertian kepada Rama? bahwa aku tidak senang dengan ceritanya yang belum menemukan titik akhir?
"Iyalah, kamu 'kan temanku. Sahabatku! haha," geliat Rama yang memancarkan kebahagiaan.
Sahabat?
Ayolah, Ir, kamu sudah biasa bukan? mendengar bahwa kau dikatakan sahabat?
"Ayo masuk, pintu studio sudah buka!" Rama menggandeng tangan Ira agar cepat masuk ke dalam ruangan itu.
Sedangkan Ira, ia masih bergelayut dengan perasaan yang belum selesai dicerna olehnya.
Apa ini?
Kecewa?
Cemburu?
Marah?
Atau apapun, tolong sebutkan kamu perasaan apa?
Ira memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri. Di dalam hatinya, tak ada yang tahu apa yang terjadi. Namun, ia tidak ingin menyerah. Ia juga tidak ingin merasa kalah hanya karena Rama yang tak tahu bagaimana perasaannya.
Mereka duduk tepat di barisan tengah studio. Pandangan Ira yang datar tak membuat Rama merasa ada sesuatu yang terjadi. Ira pun juga tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya tengah dirasakan olehnya. Namun, beberapa kali perasaan ini hadir, justru membuatnya merasa sangat kalah.
Cemburu?
Apakah ini cemburu?
Aku rasa, aku hanya sedang tidak ingin berdekatan dengan Rama. Tapi, apa yang harus aku lakukan? pergi meninggalkannya sendirian di studio ini?
"Ram, aku ke toilet dulu." Tanpa meminta persetujuan dari Rama, Ira langsung berdiri dan berjalan meninggalkan Rama.
Seorang penjaja makanan ringan masuk, Ira yang menunduk tak sadar menabrak penjaja makanan itu.
Lantai karpet ternyata tak membuat Ira berjalan seimbang, ia terjatuh ke belakang. Namun, punggungnya mendarat di atas dua tangan yang berhasil menangkapnya.