Rama berjalan keluar dari studio bioskop dan diikuti oleh Ira dari belakang. Mengetahui bahwa Ira berjalan lebih lambat, Rama berhenti sejenak.
"Ir, ayo! lelet banget, sih!" tukas Rama dengan alis yang menukik.
"Sabar, dong. Aku kan barusan beberes bajuku yang kotor gara-gara popcorn ini!" jawab Ira membela diri. "Kalau kamu nggak mau nungguin, tinggal aja, deh! aku bisa pulang sendiri!"
"Mesti, 'kan. Aku cuma bilang cepet aja udah ngambek."
"Kamu pake bilang lelet, sih. Ngeselin tahu!"
"Itu kenyataan dari dulu. Masa udah segede ini kamu nggak mau terima kenyataan? kalau kamu nggak bisa berubah, ya terima dong!" Rama menggelengkan kepala setelah mengatakan hal itu.
Menerima? kamu pikir aku nggak menerima tentang diriku sendiri?
Aku lebih tahu tentang diriku daripada kamu, Ram! dasar, menyebalkan!
Ira memendam kesal hanya karena perkataan itu. Lelet. Rama sering kali mengatakan hal itu, bahkan tidak jarang memanggil dirinya dengan sebutan yang berarti bergerak lambat itu.
Ira sudah mengatakan bahwa dirinya tidak suka disebut seperti itu. Tapi, Rama masih tetap menyebutnya demikian.
"Bisa nggak sih, Ram, kamu nggak usah nyebut aku lelet kayak gitu? aku nggak suka!" Ira memulai pembicaraan dengan sedikit menekan amarahnya.
"Kalau kamu belum bisa menerima dirimu sendiri, ya, kamu bakalan tersinggung kalau aku bilang begitu." Rama mengatakan itu tanpa melihat sorot mata Ira yang sakit hati.
"Tahu begini, aku menolak ajakanmu buat nemenin nonton Wonderful Iceland. Apaan, cowok kok suka film kartun!" Ira membalas dengan apa yang bisa dilakukannya saat ini. "Gimana kalau Rani tahu? huh, malah masuk black list! mana mau dia pacaran sama cowok yang suka nonton kartun?"
"Kok kamu jadi sewot sih? kok kamu ngomong gitu sih?" Rama akhirnya memberikan perhatian penuh kepada Ira yang ada di sampingnya. "Seharusnya kamu nggak ngomong kayak gitu. Aku memang berniat mau mengajak Rani nonton kok. Tapi sebelum itu, aku mau nonton yang aku suka dulu."
Ira menghela napas. sebenarnya, ia tidak ingin mendengarkan rencana Rama dengan Rani. Ia lebih ingin tidak tahu daripada merasa menyedihkan karena terbakar cemburu seperti ini.
"Jadi, kamu seneng nih? nonton?" kata Ira tanpa memandang Rama.
"Yup. Aku nonton Wonderful Iceland ini seneng banget! hahaha!"
"Kenapa nggak nonton sendiri aja?" tanya Ira, tanpa mengharapkan jawaban yang dapat menyenangkan hatinya. Toh, hati Rama sudah terpatri pada Rani. Ia tidak ingin mengusahakan lebih.
"Males, lah. Aku pingin nonton sama kamu!" kata Rama, di mana pandangan matanya berkeliling mencari sesuatu di dalam food court ini. "Kamu mau makan apa, Ir?"
"Entah, aku kenyang popcorn."
"Sumpah?"
"Ram, kamu beli popcorn tiga macem dengan banyak rasa. Terus, kamu cuma suka yang asin, yang lain aku yang habisin! kamu nggak ingat?"
Rama tertawa. "Yes, aku ingat. Itulah kenapa aku ajak kamu nonton. Kalau aku nggak bisa habisin popcorn, bisa kubuang ke kamu."
Apa?
Jadi, kamu anggep aku apa?
Tempat sampah?
Sialan banget, Ram. Ya ampun!
"Udahlah. Lebih baik kita putus aja," kata Ira dengan tatapan yang sangat kesal. "KITA PUTUS DARI PERTEMANAN!"
"Beneran? kamu yakin mau putus sama aku? aku mau aja traktir kamu kopi yang mahal itu lo, kopi yang satu cangkirnya bisa buat jajan kamu seminggu!" tawar Rama dengan penuh keyakinan. "Kamu nggak akan bisa menolaknya, ya 'kan?"
Ira mulai sedikit tergoda. Setiap kali Ira dan orang tuanya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, ia selalu ingin mencoba kopi yang harganya puluhan ribu itu. Seenak apa sih kopi itu? sampai diberi harga semahal itu?
"Gimana?" tanya Rama dengan senyuman yang menggoda. Senyuman itu adalah sesuatu yang paling disukai oleh Ira. Namun, sesuatu sedang membuat hatinya resah.
Kalau kamu tidak bisa menerima dirimu sendiri..
Entah, mengapa kalimat itu kini bernaung di kepalanya sekarang. Apa yang salah dengan kalimat itu? Ira sendiri juga tidak mengerti. Yang ia inginkan saat ini, secara tiba-tiba, berada di kamar dan berdiam diri.
"Ram, aku beneran pingin pulang." Ira menatap sendu Rama yang tak percaya dengan sikap Ira sekarang.
"Kamu beneran mau pulang?" Rama memastikan kembali kemauan Ira yang dianggap mendadak dan aneh ini. Tapi, melihat bagaimana Ira berkata, sepertinya ini tidak main-main. "Kamu beneran?"
"Iya, aku beneran. Aku … nggak tahu kenapa pingin di kamar sekarang." Ira memandang Rama dengan ekspresi datar.
Rama merasa bersalah. "Aku salah omong, Ir?"
"Nggak juga. Aku cuma pingin pulang."
"Kita makan dulu, yuk?"
"Makan? aku makan mie instan aja di rumah." Ira masih berusaha untuk tetap pada rencananya, pulang ke rumah.
"Aku udah dipesenin sama mamaku buat ajak kamu makan, please. Makan di pinggir jalan deh kalau kamu nggak mau makan di sini," pinta Rama dengan nada yang lembut.
Ira tersenyum kecut.
Apakah aku harus bersikap seperti ini denganmu, Ram? supaya aku bisa diperlakukan sebaik ini?
"Ih, senyummu ngece banget. Jadi gimana? mau makan di mana?" tanya Rama yang telah siap. "Ayo, kita harus makan dulu," imbuhnya.
"Iya. Aku makan burger aja, gimana? aku beneran masih kenyang." Ira memang tiba-tiba merasakan keanehan dalam hatinya. Namun, ia juga masih kenyang karena terlalu banyak makan berondong jagung yang dipesan oleh Rama terlalu banyak. "Aku nggak bohong," tambah Ira.
Rama mengangguk. "Ya sudah, aku temenin kamu di rumah, ya? paling mama papamu nggak masalah aku di rumah. Lagian, nggak ada orang di rumahku."
Ira mengangguk sepakat. "Kita beli burgernya buat di rumah aja, ya?"
"Oke," kata Rama.
Ira tetap diam, bahkan tidak terlalu berekspresi seperti sebagaimana biasanya. Rama menjadi cemas. Apakah sesuatu terjadi pada Ira? rasanya, itu tidak mungkin. Terlebih, Rama tahu bagaimana Ira dan permasalahannya.
Ira sangat sering menceritakan kekesalannya terhadap banyak hal, orang tua hingga pelajaran yang sulit. Ira tidak pernah menceritakan orang lain, bahkan hubungannya dengan Rani yang sebenarnya juga memiliki kedekatan yang sama.
Setelah burger mereka telah berada di tangan, mereka langsung pergi meninggalkan pusat perbelanjaan itu. Hanya ada keheningan di antara mereka.
"Ir? kamu marah sama aku? biasanya kalau kamu diem gini, kamu marah." Rama sedikit merasa tidak enak.
"Aku nggak apa-apa," ujar Ira setelah turn dari motor Rama. "Ngomong-ngomong, makasih, ya. Salam buat mamamu." Ira memberikan helm yang dipakainya. Sesaat setelah ia berbalik dan akan membuka pagarnya, ia melihat seseorang.
Seseorang yang tidak asing. Rama pun melihatnya. Tiba-tiba, ia turun dari motor dan mendekati orang itu.
"Ngapain ke sini? mau gangguin Ira juga?" tanya Rama dengan pandangan yang menyala-nyala.
"Aku? gangguin dia? aku baru tahu kalau dia adalah Iraswara, anak dari temannya mamaku."
Ira yang beberapa detik mematung berhasil keluar kemudian mendekati dua anak lelaki itu. "Ryan? kamu tahu dari mana rumahku?"