Ryan terdiam. Tepat di depan kelas, ia hanya termenung atas kejadian beberapa jam yang lalu. Kondisi guru yang sedang rapat itu memang menguntungkan. Tidak ada yang tahu dengan perkelahian yang menyebabkan lebam di kepala dan legannya. Tapi, apakah dia memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu?
Di saat yang sama, ia merasakan sesuatu yang tidak seharusnya ada di dalam benaknya.
Namun, apakah saat ini, semua itu penting?
Jika memiliki banyak pertanyaan, bersabarlah untuk mencari jawaban. Bukan malah memaksa situasi, atau bahkan menyalahkannya karena tak memberikan jawaban yang pasti.
Ryan tahu hal itu. Dengan demikian, ia hanya perlu memikirkan apa yang ingin dilakukannya sekarang.
"Ryan!" suara lembut dengan sedikit serak memanggilnya dari jauh. Suara yang asing, tetapi menarik hatinya. Namun, apakah mungkin dirinya saat ini berhak untuk merasa tertarik?
Sedangkan, dirinya berada dalam kebimbangan.
Sedangkan, dirinya mulai mempertimbangkan sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh orang lain.
"Kamu mau pulang?" tanya gadis itu, setelah berlari mendekatinya.
Ryan tersenyum, tidak ingin menjawab dengan ucapan. Melihat gadis yang ada di depannya itu, entah mengapa, justru tidak membuatnya bergetar seperti beberapa hari yang lalu.
"Kamu mau pulang, Ran?" tanya Ryan dengan senyuman manisnya.
Rani tersentak melihat lemparan senyuman itu. Bukan karena merasa tersakiti, atau sejenisnya, tetapi justru merasa berdebar karena senyuman itu sungguh menyejukkan hatinya.
Inilah senyuman yang aku cari.
Senyuman yang membuatku merasa aman.
"Ran?"
"Ya?"
"Kamu pulang juga?"
Rani mengangguk. "Bukannya rumahmu di perumahan armesta, ya?"
"Kok kamu tahu?"
"Iya, dong. Aku sering lihat kamu lewat depan rumahku." Rani memberikan kode, berharap dia bisa mendapatkan tumpangan meski hanya dengan sepeda motor.
"Wah, ternyata kita tetangga." Ryan mengatakan itu, lagi-lagi, dengan tersenyum.
Rani membalas senyuman itu, tetapi masih menunggu sesuatu dari Ryan.
"Kalau gitu, aku pulang dulu, ya." Ryan berbalik untuk pergi ke tempat parkir yang tidak jauh dari posisinya berdiri.
Apa? cuma gini aja?
Rani tidak terima, kemudian mengejar Ryan yang sedang berjalan.
"Yan, boleh nebeng, nggak?" Rani sudah tidak ingin kehilangan kesempatan lagi.
Ryan menoleh, kemudian mengangguk tanpa mempertimbangkan sesuatu. "Oke. Tapi, aku nggak ada helm. Gimana?"
"Nggak masalah. Kita cari jalan tikus aja biar bisa masuk ke perumahan."
"Kamu tahu?"
Rani mengangguk. "Aku sering lewat situ, kok."
"Sendirian? aku nggak pernah lihat kamu naik motor."
"Sama Ira lah!" kata Rani dengan tertawa. "Aku nggak bisa naik motor."
"Ya sudah, kamu tunggu di sini dulu. Biar aku ambil motor." Ryan tersenyum lagi hingga lesung pipinya terbentuk.
Dia memang manis. Ya, manis. Nggak ganteng-ganteng amat. Tapi, dia tetap aja menawan.
Rani memiliki penilaian sendiri terhadap Ryan. Dengan penilaian itu pula, ia merasa bahwa seharusnya dengan mudah rencana dalam kepalanya itu berhasil.
Aku harus berhasil, dong.
Rani memang tidak terlalu menyukai laki-laki saat ini. Sebagai salah satu anak yang hidup dengan ibunya saja, ia tak pernah tahu bagaimana rasanya terlindungi di dalam naungan seorang lelaki. Ia memandang bahwa ibunya sok kuat, padahal mungkin banyak sesuatu yang tidak diketahui olehnya.
Perasaan itu justru membuat Rani, tanpa sadar, ingin dekat dengan banyak anak lelaki. Baru setahun berada di SMA Royal Rose, dia sudah bisa menggaet banyak lelaki, khususnya para senior yang tidak bisa diremehkan popularitasnya.
Ryan mengendarai motornya dengan perlahan hingga keluar area parkir kemudian berhenti tepat di depan Rani.
"Ayo naik!"
Rani mengangguk kemudian naik ke atas motornya. Ryan pun mengemudikan motor itu dengan perlahan hingga keluar dari area sekolah.
Rani yang kini duduk di belakang merasa kikuk dan tidak tahu harus berbuat apa. Tidak biasanya ia melakukan hal ini, mendekati pria lebih dulu. Memang, beberapa kali ia melakukan hal ini hanya untuk memancing.
Namun, tdiak sampai harus dia yang lebih berusaha.
Apakah aku terlihat murahan?
Rani menjadi ragu. Ia memang sudah merencanakan ini beberapa jam yang lalu setelah mendapatkan amarah dari Ira.
Tahu apa sih, Ira? masa dia nyuruh aku buat nggak melakukan ini? dia nggak tahu aku butuh apa?
Rani menggelengkan kepala. Terkadang, sahabatnya itu memang cerewet luar biasa. Tapi, Ira adalah teman satu-satunya yang tulus. Rani sudah bertekad tidak ingin kehilangan teman karena dirinya memang hanya ingin berteman.
Ia kesepian. Ya, sangat kesepian. Sang ibu terkadang justru tidak pulang semalaman hanya untuk bekerja. Tapi, apa yang bisa diharapkan dari ibu tunggal selain berjuang menghidupi keluarganya?
Ayahnya? jangan ditanya. Seandainya ada dendam yang mengakar kuat, tentu saja Rani memilikinya. Melihat apa yang dilakukan oleh sang ayah saat dirinya masih duduk di bangku SD, sungguh membuatnya benci setengah mati dengan pernikahan.
"Ran, kamu mau makan dulu, nggak?" tanya Ryan secara tiba-tiba tetapi Rani tidak terlalu mendengarkannya.
"Ran?"
"Ya?" jawab Rani seusai turun dari lamunannya.
"Kamu mau makan dulu, nggak?"
"Makan di mana? di rumahmu?"
"Bukan. Di tempat bakso. Ada tempat bakso yang baru saja buka."
Serius? Ryan ngajak aku makan, nih? berarti usahaku nggak sia-sia dong?
"Ya. Nggak apa-apa. Aku bawa uang kok," jawab Rani.
"Nggak usah bayar juga nggak apa-apa. Mumpung ada teman, sekalian nemenin makan bakso. Nggak apa-apa, ya?" Suara
Ryan sebenarnya tidak terlalu terdengar oleh Rani. Tetapi, Rani merasa tidak masalah dan hanya menjawab 'ya-ya' saja.
Mereka berdua, lebih tepatnya Ryan yang mengemudi, menghentikan motornya tepat di depan sebuah tempat makan. Seperti apa yang diceritakan oleh Ryan, tempat bakso yang baru buka.
"Ini baru buka?" tanya Rani sambil mengamati bangunan yang memang terlihat sangat baru.
"Yup. Aku suka bakso. Makanya, aku nggak pingin melewatkan pembukaan tempat bakso ini," ujar Ryan sambil mengarahkan Rani untuk mengikutinya.
Oh, jadi Ryan suka bakso? catet!
Rani merasa selangkah lebih maju ketika mengetahui hal ini. Ia merasa perlu berusaha lagi untuk bisa mendapatkan Ryan yang entah mengapa sudah menjadi sasarannya.
Ia sendiri ragu dengan perasaannya, apakah ia benar-benar menyukai Ryan?
"Ayo duduk," tukas Ryan kemudian menarik sebuah kursi sebagai tempat untuk Rani.
Ya ampun, ini beneran? belum jadian aja aku diperlakukan seperti ini? gimana kalau kita sudah jadian?
"Oh, makasih," ujar Rani yang hampir saja membeku karena kagum.
"Sama-sama." Ryan kini mengambil kursi di depan Rani, sehingga mereka berhadapan.
Ryan sendiri tidak bisa menampik bahwa gadis yang di depannya ini sangat cantik.
Dengan rambut lurus dan wajah yang tirus, tak bisa dipungkiri bahwa banyak anak-anak basket yang jatuh hati setiap Rani melakukan aksi cheerleaders saat pertandingan basket.
Namun, Ryan masih meragukan sesuatu.