Ira masih membayangkan, apa yang akan terjadi selanjutnya?
Terlalu banyak kemungkinan, tetapi mungkin Ira hanya sedang tidak bersabar jika ingin mengetahuinya.
"Ram, kita sebenarnya mau ngapain?" tanya Ira setelah merasa tak sanggup untuk menahan diri.
Dia tidak akan melakukan hal aneh, 'kan?
Atau mungkin dia merencanakan sesuatu?
Apa maksudnya bahwa kita akan bersenang-senang?
Ira melihat dadanya, kemudian menutup dengan kedua tangan. "Ram, jawab! kita mau ngapain?" Ira semakin tidak sabar untuk memastikan bahwa apa yang ada di dalam kepalanya adalah kesalahan.
"Ir, bisa diem nggak? aku lagi nyetir. Mau kalau kita nyium aspa? lihat nggak, sih? jalanan di sini rame! banyak yang jatuh di jalan ini!" Rama bersikeras untuk tidak menjawab sekarang. Lebih tepatnya, ia ingin fokus untuk menyetir.
Ira melihat sekitar. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rama. Jalanan di sini sungguh ramai. Jika diukur dengan besar mobil SUV, jalan raya ini sanggup untuk menampung lima buah mobil dengan bodi sebesar itu.
"Tapi, kita ke mall, 'kan?"
"Iya, ke mall. Emang mau ke mana?" jawab Rama dengan setengah berteriak. "Aku 'kan udah ngomong, kalau kita mau ke sana."
Ke Mall?
Ke mana?
Dia bilang mau nonton.
Tapi, sebentar, apakah dia mau ngelakuin sesuatu di dalam studio bioskop?
Apa yang mau Rama lakukan?
Lebih tepatnya, apa yang mau dia lakukan bersamaku?
Ira tak henti-hentinya membuat prasangka yang lebih masuk akal. Walaupun ia mengenal Rama sudah cukup lama, tetap saja pandangannya terhadap Rama adalah anak laki-laki tidak berbeda.
Rama adalah anak laki-laki, lelaki yang menjelang dewasa beberapa tahun ke depan. Dan, semua lelaki sama saja. Maka, Rama juga akan sama dengan laki-laki lain.
Bejat.
Bukan, bukan bejat yang mirip dengan mesin yang rusak.
Tapi, mereka adalah makhluk visual yang mementingkan pemanjaan mata. Dan, Ira mungkin sedang memikirkan sesuatu yang tidak ingin terjadi saat ini.
Sebentar, apa yang akan dilakukan Rama bersamaku di sana?
Ira menggelengkan kepala, berharap bahwa prasangka yang ada di dalam benak itu segera hilang. Masa, dia harus berpikir macam-macam dengan sahabatnya sendiri? rasanya, ini membuat persahabatan yang telah terjalin bertahun-tahun terasa sia-sia.
Tenang, Rama tidak akan melakukan apa-apa.
Aku merasa tidak siap.
Sebenarnya, dia mau ngelakuin apa sih?
Sumpah, ini bener-bener bikin aku galau.
Namun, Ira harus menahan diri. Ia pun tidak ingin melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya. Terlebih, ia sudah dua kali jatuh bersama Rama saat masih SMP.
Jika mengingat hal itu, sungguh, Ira akan bersabar untuk tidak mengganggu Rama. Ia sangat tahu bahwa Rama sangat mudah terdistraksi. Itulah mengapa, ia sering menggunakan earphone agar tenang ketika menyetir. Meskipun, bagi Ira, itu sama saja.
Rama mengarahkan motornya menuju area parkir sebuah mall yang cukup besar. Tidak biasanya dia mengajaknya ke mall yang besar ini. Apalagi, setahu Ira, tidak boleh ada anak yang menggunakan seragam sekolah di mall ini.
Ira menjadi semakin cemas. Apa yang ingin dilakukan Rama sebenarnya? mengapa ia tidak segera menceritakan rencananya? akan lebih menyenangkan, bukan, jika Ira tahu apa yang akan dilakukan ke depan?
Sedari tadi, Ira sudah berpikir macam-macam dan semakin tidak mampu untuk mengendalikan. Setelah memarkir motornya, Rama membuka helm dan terdengar menarik napas.
"Ayo turun!" perintah Rama.
"Nggak mau!"
"Ya sudah. Kamu nggak bisa turun, lo, dari motor ini. Motor ini 'kan tinggi. Kamu nggak bisa turun kalau aku nggak tolongin."
Sialan. Selalu, deh. Rama ngomongin masalah tinggi badan. Ngeselin!
"AYO!"
Ira menggeleng. "Kamu kasih tahu dulu, kamu mau ngapain di mall?"
"Nonton lah. Kan udah aku kasih tahu."
"Nonton aja?"
"Ya … sama sekalian makan."
"Itu aja?"
Rama mendekati wajah Ira yang semakin memerah. "Kamu maunya apa?"
Ira menelan ludah. "Apa sih? nggak usah deket-deket! bau!"
"Emang, kamu nggak bau?" Rama merasa tidak terima dengan perkataan Ira, tetapi memilih untuk tidak tersinggung.
"Aku nggak bau lah! masih wangi, nih." Ira cukup percaya diri, terlebih dirinya yang tidak terlalu berkeringat hari ini. Mungkin ceritanya akan berbeda ketika ia ada pelajaran olahraga beberapa jam sebelumnya.
"Kamu juga bau! bau buku!" kata Rama sambil tertawa, "ayo buruan turun. Daritadi tanganku nganggur nih!"
"Iya, ya. bawel!"
"Kamu nggak sadar kalau kamu lebih bawel daripada aku?"
"Kamu cowok terbawel yang pernah aku temui!" ucap Ira memberikan pembenaran atas pernyataan sebelumnya.
"Emang, papamu nggak lebih bawel?" Rama sedikit tertawa.
ah, ya, benar. Papa lebih bawel lebih dari siapapun.
"Aku masih ingat, kemarin kamu marah-marah gara-gara nggak boleh pakai baju tanpa lengan sama papamu. Jadi, siapa yang paling bawel?" Rama merasa kemenangan telah ada di tangannya. "Hahaha, kalah 'kan kamu!"
Iya, papaku terbawel, dah. Kamu menang!
Ira tidak menjawab apapun, selain memberikan ekspresi cemberut. Rama pun tidak meneruskan olokan yang jelas semakin menguatkan kemenangannya. Setelah Ira turun, Rama melepaskan tangannya dan membiarkan Ira mengikuti dari belakang.
"Jadi, kita mau ke mana?" tanya Ira, entah keberapa kali.
"Ke bioskop."
"Kamu yang traktir?"
Rama mengangguk.
"Beneran? kamu ada duit?'
"Iya, aku ada duit. Nanti pas makan, kamu yang traktir." Rama tersenyum kecil setelah mengatakan hal itu. Tentu saja ia tidak akan melakukan hal itu. Namun, demi menghidupkan suasana yang aneh, Rama melakukan hal itu.
"Iya, deh. Aku yang traktir. Tapi yang murah, ya." Ira dengan berat hati mengatakan hal itu. "Kenapa kita nggak nonton di mall semanggi aja sih? kan makanan di sana lebih murah."
"Udah, di sini aja. Aku pingin makan enak."
Rama memang teman yang nggak tahu diri. Mentang-mentang aku yang traktir, dia minta yang mahal itu? Dia nggak inget kalau aku sering memahami keuangan dia dengan meminta traktir makanan yang murah. Dasar, nggak tahu diri!
"Kenapa? kamu keberatan?" tanya Rama dengan sedikit mengejek.
"Iya, aku keberatan. Sudahlah, aku mau pulang aja. Daripada akhir bulan merana gara-gara traktir kamu. Kan kamu tahu, orang tuaku pelit!" Ira membalikkan badan, tetapi Rama mencegah dengan meraih tangan mungil Ira.
"Aku yang traktir, udah." Rama tersenyum dengan ekspresi yang berbeda sekarang. Ekspresi yang membuat Ira tertegun sekaligus terpesona.
Rama selalu tidak tepat dalam memberikan pesonanya. Kondisiku lagi kucel begini, dia malah senyum ganteng kayak gitu. Gimana orang lain ngeliat? berasa kayak handsome and the beast!
"Ayo, udah di depan bioskop nih."
Ira menurut untuk mengikuti Rama yang masuk ke dalam ruang bioskop.
Ya sudah, apapun yang terjadi, aku percaya pada Rama.
"Nih, lihat kita nonton apa."
Ira melihat tiket yang telah dibeli oleh Rama. Dua tiket kini ada di hadapannya. Matanya mendelik. "Jadi, kamu mau nonton ini?"
Rama mengangguk. "Kenapa? kaget?"