Ira membereskan seluruh barang yang ada di atas mejanya. Satu mata pelajaran terakhir dengan durasi empat puluh lima menit itu pun telah berakhir. Ia tidak berniat untuk tetap diam dan menunggu kelas tambahan selanjutnya.
"Ir, kamu kok udah beberes?" tanya seorang anak perempuan yang duduk di belakangnya.
"Nggg," gumam Ira, bingung harus menjelaskan seperti apa. "Aku nggak ikut kelas dulu."
"Apa? sumpah? ini nggak mungkin terjadi!" sergah yang lain, ketika mendengar Ira memilih untuk tidak ikut kelas tambahan.
"Iya, aku nggak kelas dulu. Nggak ikut kelas, hehe." Ira menunduk. Semakin lama ia berada di kelas, semakin banyak orang pula yang akan menanyakan tentang mengapa dirinya tidak ikut kelas tambahan.
"Ir, kamu nggak apa-apa 'kan?" tanya seorang lain, "kamu mau ke Niken?"
Ira menggeleng kemudian membalas dengan cepat, "Nggak, aku nggak ke Niken. Kayaknya, dia bakalan ditungguin sama kakaknya, 'kan?"
"Bagas? bukannya anak kelas dua belas pada kelas tambahan sekarang?"
Semakin lama ia berada di sini, semakin banyak pertanyaan yang harus dijawab. Ira segera menutup resleting tasnya kemudian melambaikan tangan kepada teman-temannya. "Dah, guys! besok aku ikut kelas tambahan, kok. Tenang." ia berusaha untuk terlihat biasa saja, tetapi mungkin teman-temannya tidak menangkap demikian.
"Ira kenapa? kok kayaknya dia menyembunyikan sesuatu?"
"Aku nggak tahu. Eh, kita lihat Niken nggak nih? sambil nungguin gurunya datang?"
"Niken? di UKS? nggak deh, nggak ada Bagas!"
"Yah, jangan gitu dong. Niken 'kan baik, kok kamu mikirnya Bagas mulu."
"Yah, sekalian gitu."
Tawa anak-anak yang masih ada di dalam kelas terdengar oleh Ira yang sudah ada di depan kelas. Ia menggelengkan kepala. "Ya ampun, anak-anak itu."
Ira sudah tidak fokus dengan jam pelajaran terakhir, lebih tepatnya sejak Rama mengatakan hal itu.
Mengatakan bahwa Rama akan menjaga Ira semalam ini.
Sebelum berjalan mendekati lapangan futsal, Ira memeriksa kotak masuk di dalam ponselnya. Bukan main, banyak pesan yang masuk dan itu semua dari mamanya.
"Pantesan, kenapa malah baru masuk? kenapa pesannya Rama yang masuk? ah, mungkin emang takdir tahu apa yang aku mau!" gumamnya sambil tersenyum.
Ira pun dengan penuh kegembiraan dan kepercayaan diri berjalan menuju lapangan futsal. Dalam otaknya sudah banyak bayangan-bayangan apa yang terjadi dengannya beberapa jam ke depan.
"Sampai besok pun dijaga oleh Rama juga nggak masalah." Ira masih belum ingin keluar dari zona kebahagiaan yang sudah lama diidamkannya selama ini.
Selama ini, tentu saja ia tidak berani memimpikan itu. Mengingat kembali bagaimana Rama memohon kepadanya untuk didekatkan kepada Rani saja sudah membuat mood-nya menjadi buruk.
"Apa mending aku ngomong sekalian, ya, sama Rama? mungkin, dengan mood yang seperti ini, dia bisa ngerti kalau Rani bukan yang terbaik buat dia."
Ide itu terdengar bagus dan masuk akal. Beberapa hari terakhir, ia memang tidak banyak membicarakan Rani dengan Rama. Mungkinkah Rama telah melupakan Rani? atau merelakan Rani yang gemar mendekati banyak anak lelaki?
Ira masih menyimpan pemikiran itu untuk sementara waktu. Walaupun Rani adalah anak yang menyebalkan, senang didekati banyak anak lelaki, tetapi dia adalah orang yang baik. Hanya itu yang bisa dipegang oleh Ira. Selain itu, tidak ada yang ingin dituntut meski mereka memiliki sifat bak langit dan bumi.
Rani memang anak yang baik dan cantik, tetapi ia malas untuk mengusahakan yang terbaik dalam masalah akademik. Ia merasa bahwa, toh, nanti semuanya hanya masalah bagaimana untuk bernego. Memang, Rani adalah anak yang cukup lihai dalam berkomunikasi.
Bahkan, yang membuat Ira kagum, Rani dapat mengubah banyak dalam tata bicaranya dengan dua lelaki yang berbeda. Mungkinkah ini yang membuat banyak anak lelaki jatuh hati kepadanya?
Ira melangkah mendekati lapangan futsal yang terletak di belakang sekolah mereka. Namun, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di pinggir lapangan tersebut. Ia bersorak dan tersenyum dengan gigi putihnya.
"Rani?" Ira menghela napas. Kebahagiaan yang sedari tadi dipikirkannya mendadak hilang bak api yang terguyur oleh air, tinggal asapnya saja yang berterbangan dan hilang.
"Seharusnya aku memang tidak berharap." Ira merasa sangat kecewa. Bagaimana pun, ia tetap berjalan menuju lapangan futsal. Meskipun harus berhadapan dengan Rani, itu adalah sesuatu yang harus dihadapi.
Langkahnya yang semula begitu cepat dan ceria, kini beralih menjadi pelan dan malas. Ia malas untuk melihat Rani yang melihat Rama sedang bermain futsal.
Astaga, apa mereka berdua memang berjodoh? bisa-bisanya mereka membolos di jam terakhir. Nggak, nggak, bukan Rama yang membolos. Dia memang pelajaran olahraga di jam terakhir ini. Tapi, Rani?
Ira menghela napas. "Apa aku harus meneruskan? ya ampun, ini ngeselin, sih. Asli!"
Rani melihat Ira yang terdiam di dekat lapangan futsal. ia melambaikan tangan dengan senyum cantiknya yang selalu membuat anak satu sekolah terpesona. "Ir!"
Yah, ketahuan. Seharusnya aku nungguin Rama di tempat yang lain.
Ira, mau tak mau, tersenyum. Ia mengharapkan momen yang menyenangkan dengan Rama. Namun, jika ada Rani di sini, mungkinkah itu terjadi? atau malah, Rama juga mengajak Rani untuk ke rumah bersamanya?
Ini, bener-bener, nyebelin!
Keluhan Ira hanya sampai pada dadanya, tidak lebih. Pikirannya yang lain sudah berangsur sirna. Saatnya menghadapi realita. Rama suka dan mungkin mencintai Rani dari kelas sepuluh. Pasti akan sangat menyenangkan bisa menghabiskan waktu dengan anak perempuan yang dia sukai, bukan?
Ira menenangkan diri. Entah, berhasil atau tidak, dirinya tidak boleh terlihat menyedihkan di depan Rani. Maharani Kalista ini sungguh membuatnya semakin merasa tidak aman.
Haruskah aku mengatakan kepada Rani bahwa ia ingin berduaan saja dengan Rama?
"Ir! kenapa diem? sini!" sapa Rama dari lapangan dengan senyuman yang manis itu. Hah, tentu saja dia tersenyum bahagia. Ada Rani di sana. Ira tersenyum seraya berjalan perlahan. Walaupun ia melangkahkan kaki, ada harapan agar kakinya tidak sampai menginjak lapangan tersebut.
Rani terlihat duduk tanpa alas di sana. Ia tersenyum seperti biasa. Bahkan ketika berkeringat seperti itu, Rani terlihat sangat cantik.
Sudahlah, Ir. Jangan bermimpi untuk mendapatkan Rama.
Kalimat itu mendadak menyihir Irma yang kikuk berubah menjadi lebih logis.
Ya, aku memang tidak secantik Rani. Dan, Rama memang menyukai Rani. Aku harus sadar diri!
Lagian, aku juga ogah mau jadi Rani kalau hanya untuk disukai Rama!
Ira telah mendapatkan kendali dirinya. Namun, ia masih tak sanggup rasa cemburu yang mungkin mulai membara seiring langkah kakinya mendekat.
"Ran, kamu bolos?" tanya Rani yang masih duduk di tempat yang sama.
"Aku--aku malas aja. Capek," jawab Ira dengan senyuman kecut.
"Ira aku suruh bolos, Ran." Rama mengatakan hal itu seraya membereskan peralatan futsal yang ada di sana. "Tolong taruh di tempat biasa, ya. Makasih." Rama meminta tolong kepada temannya untuk meletakkan barang-barang itu di tempat penyimpanan alat olahraga.
Rama dan Rani saling menatap sambil tersenyum. Ira merasa ada yang aneh.
Sebentar, apa yang terjadi?
Baru saja beberapa jam yang lalu, Rani bilang nggak mau sama Rama?