Chereads / Irama Romansa / Chapter 3 - IR3

Chapter 3 - IR3

Tidak langsung mengatakan apa yang terjadi, anak gadis itu justru langsung pingsan di dalam kelas. Seluruh anak yang sedang ada di dalam pun terkejut dan segera mengerubungi gadis itu. 

"Eh, kenapa anak ini?" 

"Nggak tahu, dia kenapa? Woy, Ir! kamu ngapain dia deh?"

Ira menggeleng. Ia sendiri sedang mencari tahu apa yang akan dikatakan oleh Niken, gadis yang sepertinya tidak sadarkan diri di depannya itu. "Aku nggak ngapa-ngapain dia, deh. suwer!"

"Bawa dia ke UKS sekarang! ayo cowok-cowok!" ketua kelas yang berusaha mengangkat Niken itu meminta bantuan teman-temannya yang lain. Tiga orang anak laki-laki yang sedang bermain game di dalam kelas itu langsung mengangkat Niken menuju ruang UKS yang tidak jauh dari kelas mereka. 

Ira hanya terdiam dan mempertanyakan apa yang akan dikatakan Niken kepadanya tentang Rama. Karena sangat penasaran, ia pun pergi meninggalkan kelas mencari Rama alih-alih mengunjungi Niken. 

Ia melihat kelas Rama yang ramai, tetapi tidak ada Rama di sana. "Ke mana dia?" 

Ia mencari ke lapangan yang berada di sisi paling belakang sekolah. Tetap saja, Ira tidak melihat Rama berada di sana. Namun, ia melihat dua orang sedang bertengkar di dalam parkiran sepeda motor yang berada di sebelah lapangan. 

"Ya ampun, siapa itu?" Ira bergegas menuju tempat parkir dan melihat dua anak laki-laki yang ada di depannya. 

"RAMA!" teriaknya, kemudian segera menarik anak lelaki yang hendak memukul anak lainnya yang sudah tidak berdaya. "Apa yang kamu lakuin!" 

Rama terengah-engah. Tatapan amarah yang sedang membara itu tak mampu redam begitu saja. "Ngapain sih? kamu ngapain?" tanya Ira sekali lagi. Untung saja mereka berdua tidak ada yang terluka parah, mungkin hanya lebam karena pukulan. 

"Ryan? kamu nggak apa-apa?" tanya Ira yang menatap iba anak laki-laki itu. Tidak ingin berbicara, Ryan langsung berdiri dan pergi meninggalkan mereka berdua. 

"Ram? kamu nggak apa-apa?" tanya Ira sekali lagi. Seperti apa yang dilakukan Ryan sebelumnya, Rama meninggalkan Ira yang kebingungan dengan apa yang terjadi di antara mereka. 

"Ram! tunggu!" kata Ira mengejar Rama yang berjalan lebih cepat. 

"Nggak usah ngejar aku!" kata Rama dengan sangat kasar tanpa membalikkan badan. 

"Aku nggak ngejar kamu, aku jalan di tempat yang sama. So, nggak usah ge-er!" 

"Terserah!" tukas Rama yang kini memelankan langkah. Entah apa yang sedang terjadi, mereka berdua tampak canggung sekarang. Untung saat ini, mereka sama-sama terdiam. 

"Ram, kamu nggak bisa menghindari aku kayak gini!" kata Ira dari belakang. Namun, Rama tetap diam saja. Ia berjalan dan masuk ke dalam lorong menuju entah ke mana.

"Ram, kamu mau ke mana? kamu nggak mau cerita apa yang terjadi di antara kamu sama Ryan?" tanya Ira. Tetap saja, Rama tidak menjawab. Ia berjalan dengan pelan kemudian berbelok ke lorong yang lain.

Mungkinkah?

Ira menelan ludah.

Apakah Rama sudah tahu hubungan Ryan dengan Rani?

Haduh, gimana mukaku di depan Rama? 

Ira menggeleng cepat, kemudian mengejar Rama dengan berlari kecil. "Ram, kamu kenapa?"

"Aku kenapa?" 

"Perasaan, tadi kamu senyum sama aku. Terus kenapa kamu manyun kayak gini ke aku?" Ira merasa ragu untuk bertanya, tetapi ia pun ingin memastikan. "Kamu marah sama aku?"

Rama tidak menjawab. Ia tetap berjalan dengan santai meskipun Ira juga berjalan di sebelahnya. 

"Ram, masa beberapa menit setelah kamu senyum sama aku tiba-tiba berubah gini? kamu kenapa sih?" Ira merasa tidak sabar. Sebuah jawaban harus ia dapatkan dari mulut Rama. Namun, sepertinya itu tidak akan terjadi. Rama masih bungkam meskipun ia masuk ke toilet laki-laki. 

Ira, tanpa sadar, ikut masuk karena ingin mencari jawaban. "Kamu mau masuk ke sini? yakin?" tanya Rama dengan alis terangkat sebelah. 

"Emang kenapa?" Ira sungguh tidak tahu di mana ia berada sampai beberapa anak laki-laki masuk di tempat yang sama. 

"Eh, kalian ngapain di sini?" sergah salah satu anak laki-laki yang datang itu. Ira mendelik, baru sadar bahwa ia masuk di tempat macam apa. 

"HISSSSH!" Ira menutup wajahnya dan keluar dari tempat itu. "Aku tunggu kamu di depan!" kata Ira sebelum melangkahkan kaki ke luar toilet laki-laki itu.

"Terserah."

Ira semakin kesal dengan jawaban dari Rama. "Dia kenapa? Nggak biasanya Rama kayak gini."

Ira menerka, tetapi mungkin masih meragu. Haruskah ia bertanya dengan memastikan langsung? tapi, ini pasti akan sangat aneh. Rasanya akan canggung langsung menanyakan apakah Rama marah karena hubungan Ryan dan Rani?

"Aku benci situasi seperti ini!" kata Ira. Karena merasa lelah menunggu meskipun hanya semenit, ia pun pergi meninggalkan Rama yang masih ada di dalam toilet. 

"Tumben laki-laki lama di toilet, coba kalau cewek, pasti dibuat sindiran di medsos!" 

Ira menekan rasa penasarannya saat ini. Telebih, ketika Ira menyadari tentang Niken yang mungkin masih ada di UKS. "Lebih baik aku nanya langsung ke Niken. Nungguin Rama malah kayak nungguin dia ngelamar aku!" keluhnya pelan, yang dapat dipastikan tidak ada yang mendengar perkataan itu. 

Rama keluar dari toilet dan melihat Ira yang berjalan pergi. Senyumannya mengembang. Namun, ia memilih tidak mengejar sahabatnya itu. Ia berjalan ke arah lain, ke kelasnya.

"Bro. Thanks, ya." Seorang anak laki-laki yang terlihat lebih tua itu memeluk Rama tiba-tiba. "Kalau kamu nggak ada pas itu, gimana adikku?" 

"Nggak masalah. Aku kebetulan lewat, kok. Niken gimana?" 

"Aku baru tahu dia pingsan di kelas. Aku langsung keluar dari kelas, terus lihat dia masih belum sadar di UKS." 

Rama mengangguk. "Kamu juga ngapain percaya sama Ryan? mukanya aja udah nggak enak dilihat."

"Niken dah suka duluan. Jadi, mau gimana lagi? tahu 'kan kalau anak lagi kasmaran gimana?" 

"Kenapa Niken mau aja disuruh ke parkiran?" 

Anak lelaki itu menaikkan bahu. "Dia sudah terlanjur kasmaran."

"Gas. Adikmu emang lagi kasmaran, tapi kamu juga jangan ambil pikir masalah seperti ini. Setahun lagi mau ujian masuk kampus, itu yang lebih penting!" 

"Sepakat!" Bagas menepuk pundak Rama, "aku balik ke kelas dulu."

"Oke, aku mau ke Niken dulu. Sambil lihat keadaannya gimana." 

"Thanks, Ram." Bagas melambaikan tangan kemudian meninggalkan Rama. 

Rama hanya tersenyum seraya membalas lambaian tangan yang tidak dilihat oleh Bagas. 

Ketika lorong di mana Rama berdiri sepi, ia terdiam sejenak. Keheningan membuatnya berpikir kembali. Ia teringat kembali sebuah momen beberapa malam ke belakang.

Suatu malam, di mana seluruh hidup Rama menjadi berubah. 

Suatu malam, di mana tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rama dan Ryan. 

"Seharusnya, kamu menampakkan wajahmu di depanku!" 

Rama mengepalkan tangan, bara amarah itu masih tersisa di mata cokelatnya.