Kalau kamu sudah subscribe & rate, jangan lupa like dan komentar di setiap Partnya, ya, teman-teman!
Selamat membaca, Pembaca setiaku.
****
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Umi ketika kami berkumpul di ruang keluarga.
"Dinda, baik-baik saja, Mi," jawabku sambil mencoba tersenyum semanis mungkin di depan Umi, wanita terhebatku.
"Maaf, Umi tak bisa berlama-lama di sini, kasihan Abi di rumah sendirian. Mungkin Disha, sementara waktu akan tinggal di sini, untuk menemani kamu dan Alif." Sambil mengusap punggungku Umi berkata dengan lembut.
"Iya, Umi."
"Tenang, Kak. Disha akan jagain Kak Dinda dari orang-orang jahat!" sahut Disha sambil cengengesan.
"Jagain Kakak kamu dan Alif dengan baik, ya, Dis!" ucap Umi lagi.
'Sekhawatir itukan Umi padaku? Berasa masih di perlakukan seperti anak kecil, nyatanya sekarang usiaku sudah masuk di angka 37. Ah, Umi I Love You!'
****
Sepeninggalnya Umi, aku masih duduk di ruang keluarga. Menyandarkan kepalaku di sebuah kursi, tatapanku menatap kosong ke luar jendela. video berdurasi beberapa menit itu menyisakan luka dan kehampaan dalam jiwaku.
Suara bel pintu menyadarkan lamunanku, Mbak Sri sepertinya masih sibuk di belakang, Disha dan Alif tengah bermain di dalam kamar. Aku terpaksa beranjak, mengayunkan langkah kakiku ke depan, melihat siapa tamu yang datang.
Kebetulan, pintu rumahku terbuat dari kaca berpadu dengan kayu jati yang di ukir dengan indah. Siapapun tamu yang datang, akan terlihat dari dalam rumah.
"Mama," gumamku.
Segera aku membukakan pintu untuk Mama Wulan, mertuaku.
"Bukain pintu saja, leletnya minta ampun!" gerutunya, sambil menjatuhkan bokongnya di sofa.
Wanita tua dengan kisaran usia sekitar 65 tahunan, mulutnya terbiasa pedas. Andai dia bukan mertuaku, andai dia bukan orang yang harus di hormati, andai dia seumuran denganku, akan kuruwes mulut jahatnya yang selalu menyakitiku.
"Harusnya salam dulu, Ma!" aku mencoba mengingatkan. Heran saja, baru datang sudah ngomel-ngomel.
"Kamu itu pandai nyela orang tua, makanya tak becus buat anak perempuan!" cibirnya, membuat tandukku hendak keluar.
"Ma, mau minum apa?" tanyaku, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak perlu! Bawakan saja koper Mama di mobilnya Galuh!" ucapnya sambil berlalu ke kamar tamu.
Gegas aku kembali ke depan, mencari-cari keberadaan Mbak Galuh, yang ternyata dia duduk di dalam mobil. Ia turun ketika melihatku menghampiri mobilnya.
"Loh, Mama datang sama Mbak Galuh, kenapa tak masuk dulu?" tanyaku pada Mbak Galuh.
"Aku sedang buru-buru, Din. Laura dan Hanif nggak ada yang jagain, tapi Mama maksa minta aku mengantarnya kemari. Padahal aku tahu kamu sedang ada masalah. Maaf, ya!" jelas Mbak Galuh.
"Ya ampun, mbak, kenapa minta maaf segala? Mama, kan mertuaku juga, jadi nggak masalah. Mbak tenang saja!" sahutku, menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.
"Din, kamu yang sabar, ya!"
Tiba-Tiba, Mbak Galuh memelukku, aku mencoba menguatkan batinku. selalu tersenyum menghadapi luka jiwa yang terasa begitu perih dan semakin menganga.
****
Aku berkutat di dapur dengan berbagai bahan makanan untuk di jadikan hidangan kesukaan Mama Wulan, anggap saja untuk sekedar menyambut kedatangannya.
"Non Dinda duduk saja, sambil kasih arahan, biar saya saja yang kerjakan." Mbak Sri mungkin merasa tak enak karena tugas masak tiba-tiba diambil alih.
"Nggak pa-pa, aku ingin memanjakan lidah Mama mertuaku dengan masakan hasil tanganku sendiri, Mbak." Aku memberi alasan.
Ya, aku nggak tahu sampai kapan aku menjadi menantunya Mama Wulan? Mengingat pernikahanku yang sudah di ambang kehancuran.
"Non Dinda itu hebat, berhati malaikat pula!" puji Mbak Sri, ia mengacungkan kedua jempol tangannya. Mungkin, sedikit banyaknya ia tahu masalah yang sedang kuhadapi saat ini.
"Masak, kok, ngobrol!" cibir mertuaku dengan sinis.
'Hadeh, apa-apa segala di komentarin!'
"Kamu tak dengar Mama ngomong, Din?" tanya Mama wulan lagi, matanya melotot menatapku.
"Loh, bukannya Mama bilang lagi masak nggak boleh ngobrol?" jawabku.
"Nyela saja terus bisanya, pantas saja suamimu tak betah di rumah. Selain tak becus memberiku cucu perempuan kamu juga tak becus jadi istri!" pekiknya.
Degh!
Begitulah Mama Wulan, semenjak Adam lahir ia seolah memusuhiku terus-menerus. Alasannya, menurutku sangat klasik, dia menginginkan cucu perempuan bukan laki-laki. Bahkan ketika aku hamil anak kedua dan mengetahui janinku laki-laki lagi, Mama memintaku untuk progam hamil lagi sampai berhasil memiliki anak perempuan. Hal yang gila bukan?
Namun, sayangnya saat aku melahirkan Alif, aku mengalami placenta akreta. Istilah lainnya di sebut placenta yang lengket ke rahim, sehingga mengakibatkan rahimku robek dan terpaksa harus di angkat.
Mama mertuaku tentu murka, dan meminta Mas Helmi untuk menceraikanku saat itu juga. Namun, saat itu Mas Helmi mati-matian membelaku di depan Mama Wulan.
Tiba-tiba, Alif berlari ke arahku dan memeluk kakiku dengan kuat.
"Oma, jangan marahin bundaku!" teriak Alif sambil menangis.
Aku kaget bukan main dengan kata-kata yang keluar dari bibir mungil bocah lima tahun itu. Kusejajarkan tubuhku, mengecup keningnya dengan lembut, lalu segera menghapus air matanya yang telah tumpah di pipinya.
"Sayang, Oma nggak sedang marah, Nak! Bunda dan Oma sedang berakting seperti yang di televisi itu, loh. Iya, kan, Oma?" Aku melirik Mama Wulan yang acuh dengan keberadaan putra bungsuku.
"Tapi Alif nggak suka Oma teriak-teriak sama Bunda," ucap Alif.
'Astaga, sepeka itukah perasaanmu, Nak? Lalu bagaimana kalau pada akhirnya kamu tahu, ayahmu menyakiti Bunda dengan sengaja?'
****
Jam dinding menunjukan pukul 19:00 Wib. Aku, Disha, Alif juga Mama sudah duduk di meja makan.
"Jam berapa suamimu pulang?" tanya Mama menatapku dengan tajam.
"Mm, kalau ada kerjaan darurat bisa sampai larut malam, Ma." Aku berbohong, padahal beberapa hari lalu Mas Helmi sudah kuusir.
"Suamimu, kan kerja di perusahaan sendiri, kenapa kamu porsir tenaganya sampai larut malam? Sial sekali Helmi beristrikan perempuan seperti kamu!" bentak Mama Wulan, membuatku memejamkan mata, ucapannya menghujam tepat di jantungku.
"Ma, tolong, jangan bicara begitu! Ada Alif di sini."Aku memelas, berharap ia mau mengerti.
"Mama, nggak mau makan sebelum Helmi pulang ke rumah ini!" teriaknya, ia berdiri lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kami.
'Sudah tua nggak punya adab! Astagfirullah!'
"Ajaib, ya, Kak?" bisik Disha, sambil terkikik.
"Hust, dia masih mertuaku," Sahutku, berbisik juga.
****
"Dinda, hubungi suamimu, sekarang!" titah Mama.
"Untuk apa, Ma?" tanyaku acuh.
"Kamu itu jadi istri benar-benar nggak becus, ya! Tahu rasa kalau suamimu di ambil perempuan lain yang lebih tulus menyayanginya," sahut Mama kemudian, membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
"Ya sudah, Dinda coba telepon, ya."
Aku menghubungi orang yang kuperintahkan untuk melacak tempat terakhir, yang Mas Helmi kunjungi di sebuah aplikasi.
"Mama rindu Mas Helmi, kan? Ayo berangkat sekarang, Mas Helmi sudah menunggu kita di sana, Ma!" ajakku pada Mama Wulan.
Mama terlihat semringah saat mendengar kabar tentang Mas Helmi. Aku ke kamar sebentar, sekedar merapikan pakaian dan jilbabku, lalu menyambar tas kecil yang tergeletak di meja rias.
"Jangan ngebut-ngebut, dong bawa mobilnya!" Mama mengeluh, mungkin ia takut terjadi apa-apa.
"Ini nggak ngebut. Oya, Mama siap-siap, Mas Helmi akan memberi Mama kejutan spesial." Aku tersenyum sinis, membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi.
Aku berhenti tepat di depan sebuah rumah berlantai dua, tidak besar tapi terkesan elegan.
"Ini rumah siapa, Dinda? Tak mungkin Helmi ada di sini, kamu jangan bercanda sama orang tua!" ucap Mama dengan wajah penasaran, menatap rumah yang berdiri di depan kami.
"Ayo turun, Ma!" ajakku, tanpa menghiraukan ocehan Mama.
Ia pun turun mengikuti langkahku. Aku mengetuk pintu beberapa kali, namun tak ada jawaban dari dalam.
"Mas, aku tahu kamu ada di dalam, Keluarlah, aku membawa mamamu ke sini, katanya dia rindu!" teriakku.
Beberapa tetangga memperhatikan aku dan Mama, mungkin mereka heran denganku yang berteriak-teriak.
Beberapa menit kemudian, perlahan pintu terbuka. Perempuan muda itu terbelalak kaget, seperti sedang melihat hantu.
"Sayang, siapa?" Suara lelaki dari dalam rumah terdengar tak asing di telingaku, karena pemilik suara itu adalah suara lelaki yang telah membersamaiku selama lima belas tahun terakhir.
"He-Helmi, kamu sedang apa di rumah ini?" tanya Mama.
"Aku, Aku ..." Mas Helmi gugup.
"Ma, kenalkan ini gund*knya Mas Helmi, dan Mas Helmi tinggal di sini, Ma. Mungkin lebih detailnya nanti Mama ngobrol saja sama perempuan pelakor ini!"
Aku melirik perempuan muda itu. Ia sepertinya marah ketika aku menyebutnya dengan sebutan pelakor, wajahnya memerah, beringas seperti hendak ingin mencakarku.
"Dinda, tolong dengarkan penjelasan Mas dulu," ucap Mas Helmi memohon padaku.
Aku hanya tersenyum sinis menanggapi ucapannya, lalu melangkah menjauh dari rumah itu sambil melambaikan tangan.
Dari dalam mobil aku melihat beberapa tetangga memaki-maki Mas Helmi dan perempuan itu. Sepertinya warga baru tahu kalau pemeran video mesum itu tinggal di sini. Bahkan ada beberapa orang yang melempari perempuan itu dengan telur busuk.
'Nikmati karma yang sedang merangkak ke arahmu, Mas! Ini belum seberapa dengan sakit yang kurasakan.'
________________