Chereads / BALASAN UNTUK SUAMIKU / Chapter 7 - Kami Tidak Berzina

Chapter 7 - Kami Tidak Berzina

(Pov Helmi)

****

"Pak, boleh izin keluar sebentar nggak? Sepupuku minta di antar ke toko sebelah," ucap Hana, karyawan terbaikku.

Aku menatap perempuan muda berambut pendek yang berdiri di samping Hana, sampai-sampai jiwa mudaku meronta-ronta.

"Pak, boleh nggak?" desak Hana, membuyarkan lamunanku yang sudah traveling kemana-mana.

"Oh, iya. Jangan lama, Han!" jawabku pada Hana.

Ketika hendak pulang, aku melihat gadis itu berjalan sendirian di area parkiran. Entah bagai mana ceritanya, aku yang sedang mengemudi refleks berhenti ketika gadis itu tepat di samping mobilku.

"Kamu sepupunya Hana, kan? Ayo masuk!" ucapku tanpa malu-malu.

"Ta-tapi ..." Gadis itu kebingungan.

"Ayo, masuk dulu saja!" ucapku dengan lembut.

Akhirnya, gadis itu pun masuk dengan malu-malu. 

"Jangan takut, aku hanya akan mengantarmu saja! Namanya siapa?" tanyaku kemudian.

"Ma-Mariah, Andara Mariah." Ia menjawab gugup.

"Mariah, kemana tujuanmu?" tanyaku lagi. Entahlah aku jadi nyaman bicara dengannya.

"Rumah sakit," jawabnya singkat. Namun, dengan senang hati aku mengantarnya sampai di tujuan.

Itu adalah awal perkenalanku dengan Mariah, gadis muda berparas cantik, yang dalam hitungan detik mampu meluluh lantakan duniaku.

****

Beberapa hari ini kesialan menimpaku, membuatku hampir gila. Pertama, ketika video itu viral. Kedua, ketika kartu- kartu ATM-ku tak bisa di gunakan. Bagaimana aku bisa mengurusnya? sedangkan aku saja masih bersembunyi.

Malam ini lebih gila lagi, Dinda mengantarkan mamaku ke tempatnya Mariah. Padahal, aku belum sempat cerita pada Mama kalau aku sudah menikah lagi. Tentu saja Mama syok saat melihatku tinggal bersama dengan Mariah. 

Dinda memang keterlaluan, dia tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan bahwa ini tak seburuk yang dia pikir, aku tidak berselingkuh apalagi berzina. Seperti tuduhannya.

"Helmi, kamu sedang apa di sini?" tanya Mama dengan wajah penasaran.

"Aku, aku ...." Sungguh diriku gugup.

Keributan terjadi ketika para tetanggaku sadar, pemeran dalam video yang tengah viral itu adalah aku dan Mariah, mereka mencaci maki, bahkan melempari aku dan Mariah dengan telur busuk. Menjijikan!

Ketika keadaan sudah tenang, kami segera membersihkan badan yang bau busuk terkena telur-telur itu. 

"Lihatlah, hasil dari kecerobohanmu, Hel!" ujar Mama, ketika aku selesai menceritakan semuanya.

"Tapi, Ma, kalau aku izin Dinda untuk menikah lagi, mana mau dia mengizinkan," elakku beralasan.

"Tapi kalau sudah begini mau gimana? Letak salah ada sama kamu, sampai-sampai kamu tak ada uang sama sekali, karena kemungkinan semua rekeningmu di bekukan oleh Dinda." Mama berdecak kesal.

Hening.

Aku dan Mama sibuk dengan pikiran masing-masing, rasa penyesalan hadir menelusup relung hati, takut sekali kehilangan semua kenikmatan yang kuraih dengan susah payah. Mama benar, aku terlalu ceroboh!

"Sepertinya, Mama tahu caranya, Hel!" ucap Mama sambil tersenyum.

"Apa, Ma?" tanyaku sangat penasaran. Lalu Mama membisikkan sesuatu di telingaku, senyumku pun akhirnya mengembang, mendengarkan ide Mama yang brilian.

"Mariah, kamu sudah selesai?" panggilku pada Mariah yang terlihat masih mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.

"Sudah, Mas!" sahut Mariah 

"Keluarlah, Mama menunggumu di meja makan!" titahku sambil mengecup keningnya dengan lembut.

"Oke, Mas. Temani, ya! rengek Mariah sangat manja.

"Mariah, kenalkan ini mamaku!" ucapku pada Mariah, ia menyalami tangan Mama dengan takzim. 

"Siap-siap, ya, besok kita akan tinggal di rumahku!" ucapku sangat yakin.

"Yang benar, Mas? Memangnya di izinkan sama Mbak Dinda?" tanya Mariah ragu.

"Di izinkan atau tidak, Mas berhak atas rumah itu. Kamu tenang saja, Sayang!" jelasku.

"Begitu, Kan adil, Mas!" ucap Mariah tersenyum, sembari memeluku meskipun di depan Mama.

Sikap Mariah dan Dinda memang berbanding terbalik, Mariah itu manja, apalagi kalau masalah ranjang, dia mampu membuatku tak berdaya. Beda dengan Dinda, dia itu mandiri, bahkan menurutku dia terlalu mandiri, membuatku merasa seperti tak di hargai. 

"Eh, kamu, siapa tadi namanya?" tanya Mama pada Mariah. 

"Mariah, Ma," jawab Mariah.

"Mariah, dengar! Meskipun sebenarnya aku kecewa karena Helmi tak memberitahuku, tapi aku menerima pernikahan kalian, dengan catatan kamu harus segera punya anak perempuan," ujar Mama, seraya menatap wajah Mariah.

"Tak ada syarat lain, Ma?" tanya Mariah lagi, membuat senyum di bibir Mama hilang seketika.

"Sudah, iyakan saja! Mama tak suka penolakan," bisikku di telinga Mariah.

"Oh, oke!" gumamnya, sambil mengangguk pada Mama.

****

Aku, Mama dan Mariah sudah diperjalanan menuju rumah yang kutinggali bersama Dinda. Kami sengaja berangkat lebih pagi karena mengindari para tetangga yang seenaknya menghakimi kami, padahal mereka tak tahu kebenarannya.

Mobilku berhenti di depan gerbang rumah, aku memijit bel berkali-kali karena gerbang masih terkunci. Mbak Sri tergopoh-gopoh berlari menghampiri kami.

"Tuan Helmi," gumam Mbak Sri sambil bengang-bengong. 

"Iya, cepat bukakan pintu, Mbak!" titahku pada asisten rumah tanggaku.

"Saya izin Non Dinda dulu, ya, sebentar!" sahutnya sambil membalikkan badan.

"Eh, eh, aku datang atas izin Dinda, loh, Mbak! Ngapain izin lagi?" teriakku, menghentikan langkahnya.

"Oh, begitu, ya? Tunggu, saya bukakan gerbangnya sekarang!" sahutnya lagi.

'Yes, langkah pertama berhasil. Aku bebas masuk rumah dengan membawa Mariah, istri siriku.'

"Mbak, siapa yang datang?" teriak Dinda, dari lantai atas. 

"Aku yang datang, sayang!" jawabku sambil tersenyum.

Dinda membeliak ketika menyadari aku dan Mama membawa Mariah juga.

"Aku perlu bicara sama kamu, Mas!" ucap Dinda, tampak marah. Namun, genangan di matanya menunjukkan kalau saat ini dia sedang cemburu. 

Aku mengikuti langkah Dinda, yang menuju taman belakang tempat kesukaannya selama ini.

"Untuk apa kamu membawa gund*kmu kemari, Mas?" tanya Dinda, dengan air mata yang hampir tumpah.

"Sayang, dengar Mas! Dia itu bukan gund*k, bukan juga pelakor. Namanya Mariah, dia itu istri Mas juga." Akhirnya aku mampu berterus terang pada Dinda.

"Terserah, di mataku dia tetap gund*ik," sahut Dinda.

Ya, Dinda memang wataknya keras dari dulu, aku butuh waktu untuk terus membujuknya agar dia mau menerima Mariah sebagai madunya di rumah ini.

"Sudah ngomongnya? Lebih baik segera pergi sebelum aku berteriak memnaggil warga sini untuk mengusirmu, Mas!" Dinda mulai berani mengancamku.

"Jangan, jangan begitu, dong, Din! Mas saat ini butuh tempat tinggal untuk Mariah, dia tak aman kalau berada di luaran sana. Please, izinkan dia untuk tinggal di sini bersama kita, ya!" bujukku.

"Hah, Apa? Tidak! Aku tidak akan pernah mengizinkannya untuk tinggal di sini!" tolak Dinda dengan angkuh.

"Din, Mas mohon sama kamu, izinkan dia tinggal di sini untuk sementar waktu!" Aku kembali membujuk Dinda, dia tampak mempertimbangkan permintaanku.

"Hm, baiklah. Gund*kmu bisa tinggal di gudang belakang!" ucapnya sambil tersenyum sinis.

'Astaga, Dinda tega sekali. Menyuruh Mariahku tidur di gudang yang sempit itu. Namun, apa boleh buat? Bahkan, aku belum berani mempertanyakan tentang kartu ATM yang tiba-tiba di blokir.'

__________________