****
Aku menatap nanar ketika Mas Helmi tiba-tiba datang dan membawa perempuan itu ke rumahku. Dadaku seketika sesak luar biasa hingga untuk bernapas pun rasanya sangat sulit.
"Sayang, dengar Mas! Dia itu bukan gund*k, bukan pelakor. Namanya Mariah, dia itu istri Mas juga!" bela Mas Helmi ketika aku menyebut perempuan itu seorang pelakor.
Entahlah, sebutan apa yang pantas untuk perempuan itu? Namun, pembelaan Mas Helmi membuatku sangat sakit.
"Ayaaaah!" teriak Alif.
Ia menghambur ke pelukan Mas Helmi, sungguh pemandangan yang membuat hatiku makin teriris. Sedangkan Disha yang sejak tadi bersama Alif, tak mampu menghentikan langkah kecil anak itu.
"Hai, anak ayah, apa kabar?" tanya Mas Helmi, lalu menciumi kening putra bungsunya.
"Tidak baik, karena Ayah tak pulang-pulang, Alif rindu," rengek bocah itu sambil terus memeluk leher Mas Helmi.
Aku menatap Mas Helmi, semoga dia tak mengatakan hal-hal yang aneh, yang mampu membuat Alif bingung sekaligus patah hati.
"Maaf, Ayah baru bisa pulang, ada pekerjaan yang harus segera Ayah selesaikan." Jawaban Mas Helmi sukses membuatku geleng-geleng kepala.
'Sibuk dari hongkong, yang ada sibuk sama pelakor, huh!'
"Ayah, ini siapa?" tanya Alif kemudian, sambil melirik perempuan yang berdiri tepat di samping Mama Wulan.
"Itu, Bu ...!"
"Panggil saja Tante, dia pengasuh baru buat Alif. Alif suka?Ayo salim, dulu!" potongku cepat.
Seketika tatapan Mariah dan Mas Helmi beradu, lalu Mas Helmi menatapku. Aku hanya tersenyum membalas tatapannya.
'Najis tralala, Tak akan pernah kubiarkan anak-anakku memanggilnya dengan sebutan Bunda!'
Alif anaknya memang penurut. Ia segera meraih tangan Mariah dan mencium tangannya.
"Anak pintar," puji Mas Helmi.
"Panggil dia, Bunda, ya!" timpal Mama sambil mengelus kepala Alif.
"Tidak, Oma! Panggilan Bunda itu cuma untuk Bunda Dinda saja. Teman-teman Alif saja bundanya cuma satu, masa Alif punya dua." Jawaban Alif kali ini membuat senyumku mengembang sempurna. Sedangkan Mama Dan Mariah tampak gusar mendengar jawaban Alif.
****
Beberapa hari lalu aku sudah mengusir Mas Helmi dan membebaskannya hidup dengan Mariah. Tapi, dia malah kembali ke kandang singa dengan membawa Mariah. Bukan salahku, dong, kalau aku memberinya sedikit hadiah perkenalan untuk Mariah?
"Mariah, ayo kubantu membereskan gudang sekarang!" ucap Mas Helmi.
"Gudang? untuk apa, Mas?" tanya Mariah, ia mengerutkan keningnya.
"Untuk dijadikan kamarmu," jawab Mas Helmi, tarikan napasnya terlihat berat.
"Kamu tak salah aku harus tidur di gudang? Nggak, aku nggak mau!" Mariah merajuk, membuatku terpaksa menahan tawa.
"Iya makanya, kita beresin barang-barangnya. Nanti biar kutata agar jadi kamar yang cantik, mau?" bujuk Mas Helmi.
'Astaga, rasanya aku sedang melihat Mas Helmi momong Alif kalau gini caranya, dikit-dikit ngambek, dikit-dikit di bujuk. Tambah istri, kok, malah jadi tambah-tambahin beban saja, Mas. Miris!'
"Lagian kenapa harus kita yang beresin, sih, Mas? Bukannya di rumah ini ada pembantu?" tanya Mariah, nyeplos begitu saja.
"Tidak bisa, Mbak Sri hanya bekerja untuk aku, anak-anakku, keluargaku dan tamuku. Sedangkan kamu? kamu hanya tamu tak di undang di rumah ini, yang rela menjadi istri dari lelaki yang sudah beristri." Aku mendelik kesal.
"Loh, aku juga, istrinya Mas Helmi, Mbak!" Mariah dengan lantang menyela ucapanku.
"Tapi status kita beda. Kamu hanya istri siri, ingat itu baik-baik, Mariah!"
Mendengar teriakanku, Mariah tertunduk, hendak menangis.
'Huh, sepertinya dia ratu drama!'
"Cukup, hentikan perdebatan ini, kalian sama-sama menantuku!" teriak Mama, lebih tepatnya dia membela Mariah.
Aku tercengang, sepertinya mama mertuaku sudah berpihak pada Mariah, mungkin ada sesuatu yang sedang di rencanakan oleh mereka, dan aku tak boleh lengah.
"Dinda, Mama mau bicara dengan kamu! Dan, kamu, Mariah segera bereskan gudang sekarang juga bersama suamimu!" ucap Mama menatapku.
Degh.
Ada yang ngilu ketika mendengar Mama mengatakan Mas Helmi suami dari perempuan lain. Namun, aku bersikap seolah biasa saja, aku tak mau terlihat lemah di depan mereka.
"Dinda, Mama minta kamu bisa menerima pernikahan Helmi dengan Mariah!" tegas Mama tanpa merasa bersalah, padahal anaknya sudah menyakitiku dengan sengaja.
"Tidak, Ma. Maaf, mungkin lebih baik aku dan Mas Helmi bercerai saja!" tolakku.
"perempuan itu bisa apa? Seribu kalipun meminta cerai jika suaminya tak menjatuhkan talak, perceraian itu tak akan ada," ujar Mama kemudian.
"Ma, sekarang tahun 2022. Siapa bilang perempuan selemah itu? Apalagi jika si perempuan punya bukti kuat. Oya, Mama tahu tidak? Kalau lelaki yang berselingkuh bisa kena pasal dan bisa di penjarakan?" gertakku, sambil tersenyum pada Mama.
"Helmi, tidak berselingkuh. Mereka menikah, Dinda!" pekik Mama.
Aku menertawakan Mama, " Iya maksudku, mereka menikah diam-diam di belakangku. Nah, setelah video itu viral mereka mengaku sudah menikah. Begitu, kan, Ma?"
"Video," gumam Mama, menatapku.
"Ya, video. Bahkan saat ini tengah viral, loh!" sahutku lagi.
"Apa maksudmu, Dinda? Bicara yang jelas kalau dengan Mama!" sentaknya.
"Hm, Mama lihat sendiri saja, meskipun video ini tak pantas untuk di tonton Oma-Oma seperti Oma Wulan," ledekku sambil terkikik.
Mama mengambil ponsel dengan cepat dari tanganku, ia mulai memutar videonya dan melihat adegan demi adegan dengan seksama. Mama wulan terlihat sangat syok setelah sadar siapa pemeran dalam video mesum itu, tubuhnya hampir oleng. Mau tak mau aku pun membantunya untuk duduk di sofa.
"Mama, dengar aku! Kalau aku mau, aku tinggal bikin laporan ke polisi atas kasus perselingkuhan Mas Helmi, lalu menuntut cerai. Dengan bukti ini aku yakin hak asuh anak-anak akan jatuh ke tanganku."
"Satu lagi. Mama ingat, kan sebelum aku dan Mas Helmi menikah, kami membuat perjanjian saat mengikuti pranikah? Jadi jika suami selingkuh maka semua aset menjadi milik istri tanpa terkecuali!" lanjutku lagi.
Tentu saja Mama makin syok setelah mendengarkan penjelasanku, yang sengaja kubuat sebagai ancaman agar Mama dan Mas Helmi tidak bisa menekanku.
"Jangan serakah kamu, tak akan ada kata sukses jika bukan dengan tangan Helmi, anakku!" teriaknya makin berang.
"Suttt! Mama, aku mohon jangan teriak-teriak! Aku takut, darah tinggi Mama naik." aku berbisik di telinganya.
"Tapi Dinda, Mama sangat ingin cucu perempuan dari Helmi, kasih kesempatan Mariah untuk melahirkan anak perempuan sekali saja. Kamu tahu sendiri, kamu mustahil untuk bisa hamil lagi, rahimmu sudah nggak ada, Dinda." Mama mengiba.
"Mama, jangan naif! Anak Mama bukan cuma Mas Helmi, Mbak Galuh juga anak Mama, dan dia sudah punya Laura, dia cucu perempuan Mama!" sahutku tak habis pikir dengan pola pikir Mama, makin tua makin aneh-aneh saja.
"Sudah, ya, Ma! Hari ini aku ada janji sama orang," pamitku kemudian, tak peduli lagi dengan ocehan-ocehannya.
Ya, hari ini aku ada janji bertemu dengan Pak Gani, pengacaraku. Aku bermaksud sedikit meminta pencerahan, langkah apa yang harus kuambil? dan tentunya harus menguntungkan posisiku.
Biar saja dulu Mas Helmi dan Mariah bersenang-senang tinggal di rumahku, tapi setelah aku puas memberikan mereka pembalasan akan kutendang mereka jauh-jauh dari hidupku.
_______________________