Chereads / BALASAN UNTUK SUAMIKU / Chapter 13 - Mariah Berubah

Chapter 13 - Mariah Berubah

****

Hancur, adalah kata yang paling tepat untuk kehidupan Helmi saat ini. dia tak memiliki apa-apa, bahkan untuk sekadar menyewa rumah yang layak untuk Mariah saja, dia tak sanggup. Akhirnya, dia memutuskan untuk menitipkan Mariah di rumah Wulan, mamanya.

Helmi tak menyangka, Dinda yang dulu penurut dan tak pernah menentang apa yang Helmi katakan, sekarang dia menjelma bak monster, memberontak sekaligus.

Rumah, serta usaha yang mereka bangun selama belasan tahun, Dinda ambil semuanya. Dinda hanya mau membagi toko yang baru menetas, dan belum memiliki pelanggan tetap untuk Helmi.

Gara-gara video Helmi dengan Mariah yang viral di jagat maya, mau tak mau Helmi harus berurusan dengan polisi juga.

Helmi berusaha membujuk Luna, dia karyawan Helmi di tempat lama. Luna, Hana, Mariah mereka masih kerabat dekat. Besar harapannya, mereka bersedia membantu untuk mengembangkan bisnisnya di Jakarta.

Namun, lagi-lagi Dinda menolak untuk mengizinkan Luna di pindahkan. Apalagi tadi Helmi dapat kabar dari Pak Nurdin, Dinda memintanya untuk menghentikan pengiriman barang. Alasannya karena Dinda sudah tak mau berurusan lagi dengan Helmi.

'Adinda Putri Syakira, apa luka yang kutorehkan di hatimu terlalu dalam? Sehingga kamu membalasnya dengan sangat pedih,' lirih Helmi dalam hati.

'Andai dulu aku tidak bermain-main dengan Mariah, tak mungkin keadaannya akan seperti ini. Sekarang, ibaratnya nasi sudah menjadi bubur, kenapa tak coba di nikmati saja? Misal, di beri toping yang bisa membuat bubur itu lebih istimewa.'

"Ma, aku titip Mariah di sini dulu, ya!" ucap Helmi, ketika Wulan sedang menghitung uang bulanan dari Galuh.

"Kenapa harus di sini, sih? Cari tempat lain saja, Hel!" sahut Wulan, terdengar ketus di telinga Helmi.

"Sementara saja, Ma. Selagi Helmi cari rumah kontrakan yang murah di Jakarta." Helmi berusaha membujuk Wulan.

"Ogah sebenarnya, tapi ya sudahlah!" Meskipun jawabannya masih saja ketus, tapi setidaknya Helmi lega, ada tempat tinggal yang aman untuk Mariah.

"Makasih, Ma," ucap Helmi sambil mengecup punggung tangan Wulan, wanita pertama yang sangat ia cintai dalam hidupnya.

"Tapi, Hel, mana jatah bulanan untuk Mama?" tanya Wulan kemudian, tangannya menengadah di depan wajah Helmi.

"Em, anu ... Bulan ini Helmi belum bisa kasih, tapi Helmi janji, kalau usaha Helmi yang di jakarta sudah berjalan, Helmi kasih Mama dua kali lipat dari biasanya, ya!" jawab Helmi, sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Janji, ya, Hel!" tegas Wulan. 

"Iya, pasti." sahut Helmi pelan.

'Ya, meskipun nggak tahu kapan keadaan berbalik lagi seperti dulu saat bersama Dinda, apa salahnya menjanjikan untuk menyenangkan Mama dulu saja? Toh, selama lima belas tahun pernikahanku dengan Dinda, aku tak pernah absen memberi Mama uang setiap bulan dalam jumlah yang lebih dari cukup.'

****

"Mas, Malam ini jadi ke Jakarta?" tanya Mariah dengan wajah yang di tekuk. 

Entah apa sebabnya perempuan ini suka sekali merajuk tak jelas, mungkin karena dia masih terbilang muda, jadi sikap manjanya sering tak terkontrol.

"Iya, Mas malam ini antar Hana ke Jakarta. Kamu nggak pa-pa 'kan tinggal sama Mama dulu untuk sementara waktu?" Helmi menatap Mariah dengan mesra.

"Andai ada pilihan lain, aku tak mau tinggal di sini, mamamu cerewet sekali, Mas!" keluh Mariah, dengan wajah muram.

"Hustt, jangan begitu, dia mamaku. Maklumi, ya!" rayu Helmi, sambil memeluk pinggangnya yang ramping.

Mariah masih terdiam. Helmi mengeratkan pelukannya, sambil sesekali menciumi rambut Mariah yang wangi.

"Sayang, Dinda hampir belasan tahun mendapat perlakuan seenaknya dari Mama, tapi selama itu juga Dinda tak pernah mengeluh tentang Mama. Jadi aku harap, kamu harus ...."

"Seperti Dinda, begitu, Mas?" potong Mariah setengah berteriak.

Helmi terhenyak menghadapi emosi Mariah yang meluap-luap, seperti bukan sosok Mariah yang dia kenal. Biasanya, ia lembut, manja, dan penuh kasih sayang.

"Dia masih saja kamu sebut-sebut, Mas. Kalau dia masih bertahta di hatimu, kenapa kamu jadikan dia mantan, ha?" Mariah murka, air mata berderai di pipinya.

"Sayang, maksudku bukan begitu, aku cuma ingin kamu menjadi menantu kesayangannya Mama, itu saja!" tukas Helmi, mencoba menenangkan istrinya.

"Aku nggak suka kamu banding-bandingkan aku sama perempuan tua itu!" Mariah tambah ngambek.

'Oh, Gusti, aku lelah jika Mariah terus merajuk!' batin Helmi pasrah.

"Hadeh, bisa nggak sehari saja kamu nggak teriak- teriak? Malu sama tetangga! Lagian apa kamu nggak di ajarkan adab saat bicara dengan suamimu?" pekik Wulan di pintu kamar.

Mariah tertunduk, tapi Helmi tahu ia sedang menahan amarah yang menggebu-gebu. 

"Maaf, Ma. Kita sedang ada masalah, kita janji nggak akan berisik lagi," ucap Helmi cepat sebelum Mariah yang menjawab.

"Kamu itu pilih istri nggak ada benar-benarnya, dulu Dinda tak bisa melahirkan anak perempuan. Nah, dia? Dia itu nggak ada dewasa-dewasanya sama sekali. Heran Mama sama kamu, Hel?" cerocos Wulan, membuat hati Mariah makin dongkol.

"Sudah, Ma.  Mama mending istirahat di kamar, ya!" ucap Helmi,  ia berjalan sambil mengelus-ngelus pundak Wulan dan mengantar mamanya ke kamar.

****

"Hel, katanya Mama nggak enak badan, benar?" tanya Galuh, saat ia baru sampai di rumah Wulan.

"Iya, Mbak. Mama lagi di kamarnya, jenguk gih, Mbak!" sahut Helmi, ia masih fokus menyuapkan roti ke dalam mulutnya.

"Iya, Mama bilang dia pusing karena kalian ribut terus. Lagipula kamu, cari-cari penyakit saja!" cibir Mbak Galuh, membuat Helmi tak mengerti kemana arah pembicaraannya.

"Maksud, Mbak, cari penyakit apaan?" tanya Helmi.

"Hel, sadar nggak? Dinda itu ibaratnya berlian, lah kamu sengaja tuker sama batu kali, paham nggak?" celetuk Galuh, membuat Helmi terdiam tak mampu berkata-kata.

"Hel, kurang apa, sih, si Dinda? Cantik, mandiri, dari keluarga baik-baik pula, dia sayang sama Mama, meski kita tahu perlakuan Mama ke dia bagaimana?" imbuh Mbak Galuh lagi.

"Dinda, Dinda, terus saja dia yang di omongin di rumah ini, lama-lama aku muak!" gerutu Mariah, sambil duduk di meja makan. tentunya dia mendengar pembicaraan suaminya dengan Galuh.

"Iya, lah, dia itu perempuan sempurna yang punya harga diri!" tegas Galuh, menatap Mariah dengan berang.

"Kalau dia sempurna, dia pasti memiliki rahim yang utuh, dan mampu memberikan anak perempuan untuk Mas Helmi, iya 'kan, Mas?" pekik Mariah, menatap Helmi dengan harapan mendapat pembelaan dari suaminya.

Helmi merasa salah telah membawa Mariah masuk ke rumah ini, Mariah tak bisa menghormati keluarganya dan sangat kasar. Helmi hanya sanggup tertunduk, menahan malu di depan Galuh.

"Amit-amit mulut sama kelakuanya minim adab!" gerutu Galuh, lantas ia berdiri dan berjalan menuju kamar mamanya.

"Sayang, bisa nggak jangan marah-marah terus! Kamu ini kenapa, sih?" tanya Helmi lembut, berharap Mariah yang penuh kelembutan kembali dan tidak seperti ini.

"Aku nggak suka semua orang di rumah ini menyebut-nyebut nama mantanmu, termasuk kamu, Mas. Apalagi mereka selalu membanding-bandingkan aku dengannya!" sahut Mariah dengan ketus.

"Iya maaf, aku tak sengaja, sayang. Tolong, maafkan aku!" ucap Helmi, memohon. 

Sungguh, dulu Helmi adalah lelaki yang cukup menjaga image, dia tak pernah memohon pada Dinda, meski letak salah ada padanya. Namun kini, keadaan sunguh-sungguh berbalik. Nyatanya, dia lah yang selalu memohon dan mengalah pada Mariah.

Setelah amarahnya sedikit mereda, Helmi pamit pada Mariah. Tak lupa,  Helmi sempatkan menemui Wulan, ia memohon maaf pada Wulan dan memintanya untuk menjaga Mariah selama ia di Jakarta.

___________________