****
"Ini semua gara-gara kamu Mas!"
"Bukan cuma aku, tapi kamu juga ada andil. Andai saja kamu tak berlebihan mendramatisir keadaan dan tak meminta kita berpisah, keluarga kita akan baik-baik saja," bantah Helmi.
"Hah, aku yang berlebihan? Apa kamu tak lupa? Ini semua awalnya dari kamu! Kamu yang selingkuh!"
Ucapan telak dari Dinda membuat Helmi bungkam, ia tak bisa menbantah dan membela diri lagi.
Dinda terduduk dengan perasaan yang kalut, mencerna setiap kejadian demi kejadian yang sebelumnya tak pernah ia kehendaki.
Merasa lelah dengan semuanya, akhirnya ia berdiri dan memutuskan untuk bertemu Umi Aisyah.
''Jangan terlalu di paksakan, beri dia waktu untuk menerima semua, ini tak mudah. Percaya, pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja!''
Umi Aisyah mengelus punggung putrinya yang berada dalam dekapannya, ia tahu beban yang Dinda hadapi sangat berat.
"Umi, Dinda lelah. Bagaimana bisa Dinda menghadapi semuanya? Pekerjaan yang menyita waktuku, membuatku tak bisa berada di samping anak-anak setiap saat."
Dinda mengeluh pada malaikat dunianya. Apalah daya, ia hanya perempuan biasa yang sedang mencoba berdamai dengan luka. Namun, ujian bertubi- tubi datang silih berganti, hingga ia merasa dirinya lelah dan di titik terendah.
****
Perempuan berbalut busana warna maroon lengkap dengan hijabnya yang senada, telah kembali ke rumah dengan secercah harapan, Adam mau bicara dengannya.
Dengan ragu ia mengetuk pintu kamar Adam, kemudian perlahan duduk di samping anaknya yang sedang meringkuk.
"Mas Adam masih marah sama Bunda?" tanya Dinda dengan lembut.
Anak itu hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban untuk bundanya.
"Kalau Mas Adam ngga marah lagi sama Bunda, Mas bicara, dong!" bujuk Dinda lagi.
"Bunda, apa kau akan berpisah?"
Degh.
Ada rasa ngilu menelusup ke relung hatinya, ketika anak pertamanya bertanya seperti itu. Namun, Dinda tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menjelaskan semuanya.
Dinda mengangguk dengan ragu.
"Jadi benar, Ayah sering membuatmu menangis seperti yang Dek Alif bilang?"
"Jangan khawatir, Dek Alif hanya salah paham!"
"Jika itu yang terbaik. Lakukanlah, Bunda!"
Adam menghambur ke pelukan Dinda. Umi benar, dia hanya butuh waktu, untuk berdamai dengan keadaan.
'Jika Adam mampu, kenapa aku nggak?' Dinda membatin.
****
"Mas Adam tunggu sebentar, Bunda harus menebus obat untuk, Mas. Nggak pa-pa, ya?"
Sebenarnya Dinda nggak tega membiarkan Adam sendirian, tapi gimana lagi? Ketika ia menghubungi Helmi, dan mengabarinya kalau Adam sudah boleh pulang. Hanya kata Maaf yang di dapat olehnya. Alasannya, karena Helmi sedang berada di Jakarta saat ini.
Selepas Dinda pergi, perempuan muda berambut sebahu masuk ke ruangan Adam dengan mengendap-ngendap.
Adam terkejut ada orang yang tak di kenalnya masuk tiba-tiba.
"Tante cari Bunda?" tanya Adam dengan sopan.
"Tidak, aku mencari anak sialan yang berpura-pura sakit, demi mencari perhatian suamiku!"
"Maksud tante?"
Tentu saja Adam tak Paham dengan ucapan perempuan asing itu.
"Helmi itu suamiku. Paham kamu!
"Tidak mungkin. Ayah hanya menikah dengan Bunda!" teriak Adam.
"Asal kamu tahu, suamiku akan segera menceraikan bundamu!"
Sebelum pergi, Perempuan itu mendorong tubuh kurus Adam yang masih lemah, hingga terjerembab ke lantai rumah sakit.
Adam menangis sesenggukan, kenyataan yang baru saja ia dengar membuatnya semangatnya hilang begitu saja.
_
_
Akhirnya, Adam mau bercerita kepada Dinda, apa yang sebenarnya terjadi saat itu ketika Dinda menemukannya dirinya sedang terduduk di lantai rumah sakit.
"Siapa perempuan itu, Bunda? Benarkah dia istrinya Ayah?"
Dinda hanya sanggup mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan anak sulungnya.
Adam kembali memeluk bundanya, "Tenang, Bunda. Adam bersama Bunda."
****
Dinda mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota yang sedang terik-teriknya. Sesekali tangannya mengepal kuat, mengingat cerita yang di sampaikan Adam.
Dinda berhenti di depan rumahnya Wulan, mantan mertuanya. ia memarkirkan mobilnya sembarangan lalu turun dan menggedor pintunya dengan kasar.
Pintu terbuka, seseorang mengomel karena merasa terganggu dengan sikap Dinda yang bertamu tapa hormat pada sang pemilik rumah.
"Mbak Dinda!" gumam perempuan itu, terkejut sehingga bola matanya membulat sempurna seperti hendak meloncat.
Ya, yang membukakan pintu untuk Dinda adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang mendatangi Adam di rumah sakit.
"Ya, ini aku."
"Ada apa Mbak datang kemari?"
Dinda tersenyum sinis mendengar pertanyaan dari Mariah, ia nyelonong masuk lalu duduk di kursi ruang tamu.
"Pulanglah, Mbak! Aku tak akan mengizinkan Mbak bertemu dengan suamiku?" usir Mariah.
"Kenapa? Kamu takut aku mengambil apa yang telah kamu ambil dariku, Mariah?" sindir Dinda dengan senyuman sinis di bibirnya.
"Aku tekankan sekali lagi, Mas Helmi itu bukan barang. Aku tak perlu merebutnya dari Mbak! Dia sendiri yang memilihku dan menjadikanku sebagai istrinya." Mariah berkilah, ia membela diri karena tak sudi di cap sebagai pelakor.
"Mariah, Ada ta-"
Helmi keluar dengan pertanyaan yang tak sempat ia selesaikan. Melihat Dinda di depan matanya, Helmi mempersilakan duduk terlebih dahulu.
"Tidak perlu, aku datang ke sini untuk membuat perhitungan dengan perempuan ini!" tunjuk Dinda tepat di wajah Mariah.
"Ada apa lagi, sih? Kamu tenang dulu, kita bicara baik-baik, ya!" bujuk Helmi pada Dinda.
Tentu saja sikap Helmi yang begitu lembut pada mantan istrinya, membuat Mariah semakin di bakar cemburu.
"Tidak ada lagi kata baik-baik untuk perempuan laknat seperti dia. Dia yang telah membunuh mental Adam, anak kita, Mas!" pekik Dinda penuh emosi.
"Maksud kamu apa? Tolong jelaskan dengan tenang jangan sambil marah-marah!" pinta helmi sedikit panik.
"Dia datang ke rumah sakit, dan dia yang bilang pada Adam, kalau kita akan bercerai. Dia meminta Adam untuk berhenti mengganggumu, bahkan dia berani mendorong Adam padahal anak itu baru pulih dari sakitnya. Perempuan macam apa yang kamu nikahi ini, Mas?"
"Benar itu, Mariah?" tanya Helmi, dengan tangan yang mengepal kuat dan bergetar.
"Jika benar memangnya kenapa, Mas? Bukannya itu lebih bagus dari pada kalian berlama-lama membohongi anak itu. Aku hanya membantu kalian agar mempermudah jalan kalian untuk bercerai!" jelas Mariah.
PLAK!
"Itu untuk kamu yang telah menghancurkan rumah tanggaku."
PLAK! PLAK!
"Itu untuk kamu yang yang berani-beraninya kasar pada anakku!"
Tiga tamparan Dinda mendarat cantik di pipi mulus Mariah, Helmi yang menyaksikan itu hanya berdiri mematung. Syok dengan tindakan Dinda yang tiba-tiba.
Ketika kesadaran Helmi telah kembali, ia buru-buru melerai keduanya.
"Sudah, hentikan. Atas nama Mariah, aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Aku tahu Mariah salah, tapi aku mohon hentikan keributan ini, malu sama tetangga!" tegas Helmi.
"Kita bicarakan ini baik-baik, ya!" Helmi membujuk Dinda , ia mencoba meredakan amarah mantan istrinya.
"Apa katamu? Bicara baik-baik dengan dia? Perempuan seperti dia tak akan bisa di ajak bicara baik-baik."
Lagi-lagi Dinda menyerang Mariah, menjambak rambutnya dengan keras hingga Mariah tersungkur di lantai. Sama seperti yang Mariah lakukan kepada anak nya saat di rumah sakit.
Puas dengan membalas apa yang Mariah lakukan kepada anaknya, Dinda lalu pergi tanpa permisi. Ia tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan. itu adalah cara ia meredakan amarahnya yang sedang berada di level tertinggi.
____________