****
Dinda dan Galuh akhir-akhir ini hubungannya lebih akrab. Mereka sering berkirim kabar, menanyakan kabar anak-anak atau sekedar tukar cerita.
Galuh sering mengeluh tentang sikap mamanya yang keterlaluan, terlebih ketika Mariah dikabarkan tengah mengandung.
Dinda yang mendengar kabar itu, hatinya sedikit mencelus. Bukan karena ia masih mencintai Helmi tapi ia masih merasa tak percaya rumah tangga yang ia kira sudah kokoh karena terbangun lima belas tahun lamanya, akhirnya roboh tak bersisa.
"Apa Ibu baik-baik saja?" tanya Luna, ketika ia hendak memberikan laporan pakaian mana saja yang terlaris dalam minggu ini.
"Ya, saya baik-baik saja, Lun."
"Tapi wajah Ibu terlihat pucat hari ini."
"Nggak pa-pa, mungkin saya hanya perlu secangkir kopi agar lebih bersemangat."
"Akan saya buatkan untuk Ibu, Ibu duduk saja!"
Itu adalah alasan, kenapa Dinda menyukai Luna sejak awal. Helmi pernah bilang kalau Luna terlalu caper, tapi lama-lama Dinda tahu, Luna memang orangnya setulus itu.
"Oke terimakasih, Lun."
Luna segera menuju pantry kecil di belakang toko, semua karyawan berhak memakai pasilitas di sana.
Tak berselang lama, Luna kembali. Secangkir kopi di tangannya membuat Dinda bersemangat untuk segera menikmatinya.
"Terimakasih, ya, Lun!"
"Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu," pamit Luna kemudian.
"Tunggu, Lun! Saya sedang mencari pengasuh untuk Alif, apa kamu bisa bantu carikan?" tanya Dinda tanpa basa basi.
"Emh, nanti Luna kabari Ibu, ya!"
"Iya, Lun."
Belakangan ini Dinda memang kurang istirahat. Pastinya, terlalu banyak beban pikiran yang ia pendam sendirian. Bukan Dinda tak memiliki teman, hanya saja sekarang ia membatasi. Baginya, cukup Allah yang menjadi pendengarnya saat ini.
Di sepertiga malamnya, Dinda akan terbangun. beranjak mengambil wudhu lalu menggelar sajadahnya. Ia akan berlama-lama memohon pada Tuhannya agar senantiasa menjaganya dari rasa dendam yang selalu bergejolak tanpa ampun dalam jiwanya.
Andai membalas dendam itu tidaklah tercela, ia akan melakukannya sedari dulu. Membalaskan luka dan kepedihan yang di ciptakan suaminya dengan hal yang sama atau bahkan lebih dari itu.
Namun, ketika semuanya telah berakhir, Dinda sadar itu semua hanya akan menempatkan level dirinya akan sama persis hinanya atau bahkan lebih rendah.
Dinda lebih memilih melibatkan campur tangan Tuhan, dalam setiap waktu yang ia lewati dengan kehampaan. Berharap, esok ia akan kembali tersenyum bahagia meskipun hanya dengan kedua anaknya.
****
"Huekk!"
Mariah berdiri di depan wastafel, wajah yang pucat dan rambut yang berantakan kerap menjadi penampilannya setiap hari.
"Mar, kata Mama kamu makan dulu, terus nanti minum obat!" ujar Helmi memijit tengkuk istrinya dengan pelan.
"Mas, kamu nggak bisa lihat apa? Aku mual-mual gini kamu suruh makan? Gimana caranya aku bisa makan, Mas?" sentak Mariah kesal.
"Maaf, Mar!"
"Maaf, maaf terus bisanya! Tahu hamil itu membuatku menderita, mending aku nggak usah hamil saja, Mas."
"Jangan berkata gitu, Mar! Anak itu anugerah, anak itu rezeki dari Allah."
Helmi berusaha menasehati istrinya pelan-pelan, tangannya ia lingkarkan di pinggang istrinya yang ramping.
"Tapi aku menderita. Boro-boro enak makan, minum air putih pun rasanya pahit sekali, Mas!" rengek Mariah.
"Sabar, ya, Sayang!" ucap Helmi, ia mengecup pucuk kepala Mariah berkali-kali.
'Dinda, apa seberat itu ujianmu di kala kamu mengandung anak-anak kita?' batin Helmi.
Melihat keadaan Mariah yang memprihatinkan, sekilas ia mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat Dinda mengandung Alif, anak kedua mereka.
"Mas, aku ingin Makan seblak yang lagi viral itu, Loh!" rengek Dinda ketika Helmi pulang kerja.
"Mas capek. apa kamu tak bisa pergi sendiri?"
"Maunya makan di sana di temani kamu," ucap Dinda pelan.
"Banyak maunya! Kamu tahu sendiri aku nggak suka makanan itu, cium baunya saja aku mual, Din!" bentak Helmi.
"Maaf, Mas!"
Ketika Helmi menolak permintaan Dinda, Dinda tak menampakkan kemarahan sama sekali. Apalagi, terus mengeluh dengan kehamilannya. Padahal, Dinda juga sesekali masih mengecek konveksi miliknya.
Rasa menyesal mulai menggerayangi hati Helmi, seikhlas apa ia melepaskan Dinda, tetap saja ia mengingatnya dengan sejuta kenangan terindah mereka, sebelum semuanya hancur tak bersisa karena ulahnya sendiri.
'Maafkan aku, Din!'
Lagi-lagi Helmi hanya mampu membatin.
"Mas," panggil Mariah manja.
"Ya, kenapa?" tanya Helmi, memperhatikan ekspresi Mariah yang berubah semringah.
"Mau jalan-jalan."
"Aku siap mengantarmu ke mana pun, Mar. Asal kamu mau makan meskipun hanya sedikit saja."
"Aku mau makan asal kamu mau antar aku ke tokonya Mbak Dinda!"
"Hah, ngapain? Ke tempat lain saja, ya! Kan masih banyak toko pakaian yang bagus-bagus selain tokonya Dinda?"
"Loh, tadi katanya ke mana pun! Ini anak kamu yang minta, apa kamu mau anak kita ngeces?"
"Jangan begitu, Mar! Bilang saja kamu yang kepingin ke sana, jangan mengkambing hitamkan calon anak kita!" gerutu Helmi, membungkam rengekan Mariah sekaligus.
"Hm, ya sudah gak jadi aja kalau gitu!"
Mariah membalikkan badannya, menepis sedikit tangan Helmi yang sedari tadi melingkar di pinggang Mariah, lalu melangkahkan kakinya masuk kamar tanpa permisi.
'Begitulah, kalau Mariah ngambek!'
Helmi segera menyusul langkah Mariah. Sayang, pintu kamarnya telah tertutup rapat dan terkunci dari dalam.
"Mar, oke. Aku mau nganter kamu ke tokonya Dinda, tapi kamu jangan ngambek terus, dong!" mohon Helmi di balik pintu.
Hening. Tak ada jawaban apapun dari dalam. Akhirnya Helmi menyerah, ia berjalan ke ruang keluarga. Sudah menjadi kebiasaannya, jika Mariah ngambek maka Helmi akan tidur di sofa ruang keluarga. Satu hal yang tak pernah terjadi selama lima belas tahun pernikahannya dengan Dinda.
Helmi menyandarkan kepalanya di bantalan sofa, penyesalan terus menerus menyelusup ke dalam relung hati terdalamnya. Di saat ia ada masalah dengan Mariah, bayangan Dinda seolah menari-nari di pelupuk matanya dengan senyuman tulusnya.
Helmi menyugar rambutnya. Hatinya berdesir nyeri di saat mengingat tentang Dinda, tetapi logika menginginkan ia bertahan dengan Mariah.
Mariah adalah pilihannya. Apalagi Mariah sedang mengandung anak darinya, tak mungkin tega ia mengabaikan Mariah dan calon anaknya begitu saja.
"Kamu berantem lagi sama Mariah, Hel?" Mama Wulan tiba-tiba duduk di sampingnya.
"Iya, Ma."
"Harus berapa kali Mama ingatkan? Ibu hamil itu jiwanya labil. Janganlah kamu buat dia stres terus, kasian calon cucu perempuan Mama!" ujar Wulan sambil menatap putra kesayangannya itu.
"Helmi nggak sengaja. Kemauannya saja yang aneh-aneh, untuk apa coba datang ke tokonya Dinda?" gerutu Helmi.
"kenapa nggak dituruti saja maunya, Hel? Calon bayi perempuan Mama butuh asupan gizi yang seimbang, bukannya dibujuk untuk makan, malah bertengkar terus. Mau calon anakmu kenapa-napa?" cecar Wulan tanpa jeda.
"Aku sudah membujuknya, Ma. Dianya saja yang keras kepala."
"Namanya juga Ibu hamil."
"Dinda juga sudah hamil dua kali, dia nggak manja dan nggak seribet Mariah, Ma."
"Nggak usah sebut-sebut nama dia lagi, Mama tak suka, Hel! Setiap perempuan yang sedang hamil itu beda-beda kondisinya, nggak akan bisa disama ratakan begitu!" bela Wulan.
Wulan seolah menutup mata dengan keributan-keributan anak dan mantunya, yang ada di pikiran Wulan saat ini adalah mendapatkan cucu perempuan Dari Helmi.
________________