****
(Pov Helmi)
Aku terus menyeret tangan istriku dengan kuat. Emosi yang memenuhi jiwaku, membuatku terasa sesak, hingga terasa sulit untuk bernapas. Bahkan, aku tak bisa berpikir dengan baik.
Dinda yang terus memancing emosiku, dan Mariah yang terus menguji kesabaranku. Kenapa Tuhan menciptakan perempuan seribet itu?
Brukk.
Tubuh mariah ambruk ke tanah. Entah bagaimana Mariah bisa terjatuh? Padahal, tangannya kucengkram sangat kuat.
Beberapa detik kemudian, tubuh Mariah tak ada pergerakan sama sekali. Ya, tentu saja aku panik.
Aku berjongkok, memastikan keadaannya. Kugoyang-goyangkan tubuh mungilnya, tapi tetap saja tak ada respon darinya.
"Mar, bangun! Kamu kenapa?" ucapku setengah berteriak karena panik sambil terus menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Aku melihat Dinda yang berdiri di ambang pintu memperhatikan kami, namun tak lama kemudian dia menutup pintu rumahnya dengan rapat tanpa menolongku sama sekali.
'Dasar ratu tega! Julukan itu sangat pantas untuknya,' batinku.
Dengan susah payah aku membopong Mariah masuk ke mobil. Pinggangku, rasanya mau patah saja.
Aku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, aku sangat khawatir Mariah kenapa-napa. Tak biasanya dia begini, kalaupun dia sedang sakit tak akan sampai pingsan seperti ini.
"Mariah, bangun sayang!" gumamku teramat khawatir.
Sesampainya di IGD, aku berteriak memanggil perawat yang sedang berjaga di sana. Kepanikanku semakin menjadi ketika Mariah belum sadar juga sampai detik ini.
'Apa Dinda sepanik ini saat menjaga Adam waktu di rumah sakit kemarin? Ah, persetan dengan dia!'
Aku mengambil napas dalam-dalam, lalu mengulangnya lagi dan lagi, sampai aku merasa sedikit lebih baik.
"Tarik napas dalam-dalam lalu buang, ulangi saja sampai kamu merasa lebih tenang, Mas!" ucap Dinda kala itu.
'Ah, apa-apan ini? Kenapa aku harus mengingat Dinda lagi? Padahal, jelas-jelas sudah menggantikannya.'
****
"Keluarga Ibu Mariah?" sapa laki-laki bertubuh tegap. Ia berbalut baju kebanggaannya, membuatnya terlihat lebih gagah dan sangat berwibawa, keluar dari ruangan di mana istriku sedang terbaring.
"Saya, Dok." Aku melangkah dengan cepat ke arahnya, berharap ia mengatakan yang baik-baik saja tentang istriku.
"Is-istri saya bagaimana?" tanyaku lagi.
"Istri Bapak baik-baik saja. Dia hanya kecapekan atau mungkin terlalu stres. Tolong, di jaga baik-baik kesehatannya, kandungannya masih terlalu lemah!" ucap sang Dokter.
"Maksudnya, istri saya se- sedang hamil, Dok?" Aku kembali memastikan apa yang kudengar barusan.
"Iya, menurut hasil lab istri anda sedang hamil. Untuk lebih akuratnya, nanti Bapak dan Ibu bisa melakukan USG, ya!" jawab Dokter itu tersenyum ramah.
Aku hanya sanggup mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa lagi. Jujur antara senang dan sedih menerima kabar kehamilan Mariah. Bukannya apa-apa, masalahnya keadaan ekonomiku belum membaik, bahkan rumah pun masih numpang sama Mama.
"Pak, Pak!" panggil dokter itu.
Ia menyadarkan lamunanku yang sudah melayang jauh. Memikirkan masa depanku dengan Mariah, juga bayi yang masih dalam kandungan Mariah.
"Eh, i-iya, Pak." Aku gugup.
"Istri Bapak sudah boleh di temui, saya permisi dulu!" pamitnya kemudian.
"Iya, Dok. Terimakasih!"
****
Aku menghubungi Mama puluhan kali, namun tak di angkatnya. Mungkin Mama sengaja tak mengangkatnya, karena ia masih sangat marah padaku.
[Ma, Helmi dan Mariah sedang di rumah sakit Harapan Bunda. Mariah hamil, Ma!]
Pesan itu berhasil kukirim pada Mama lewat Aplikasi WhatsApp dan langsung centang dua warna biru.
'Ah, Mama kalau ngambek persis Mariah, sama-sama keras kepala. Huh!'
[Mama, ke sana sekarang, Hel!]
Pesan balasan dari Mama, membuatku tersenyum.
"Hm, akhirnya hati Mama luluh dengan segampang itu!" gumamku pelan.
Aku beranjak dari dudukku, lalu perlahan menyibakkan gorden penghalang antara ruangan satu dan yang lainnya, aku menemukan Mariah yang masih terbaring lemah dan tak berdaya, ia tak seliar Mariah seperti saat di rumah Dinda.
"Mar, kamu sudah bangun? Aku sangat khawatir sama kamu, Mar."
"Mulai sekarang, tolong kontrol emosi kamu demi kesehatan bayi kita!" ucapku pelan sambil mengelus rambutnya.
Namun tiba-tiba ia mengibaskan tanganku dan menjauhkannya dari rambutnya.
"Mar, maafkan aku jika selama ini aku belum bisa membahagiakanmu seperti dulu! Sekarang, aku sedang mengusahakan membalikkan keuangan kita seperti dulu, agar aku bisa mengajakmu jalan-jalan, liburan, dan membelikan rumah yang bagus untukmu." Lagi-lagi aku membujuknya.
"Tak ada rumah yang sebagus rumah Mbak Dinda, Mas!" Bibir mungilnya mencebik, bahkan Mariah memalingkan mukanya dariku.
"Mar, bersikaplah dewasa. Sebentar lagi kamu akan menjadi Ibu dari anakku," ujarku, mengingatkan kodratnya.
"Siapa yang mau punya anak? Hanya mamamu saja yang menginginkan aku untuk segera hamil, padahal kamu tahu sendiri aku belum mau, apalagi rumah tak punya, usaha pailit terus! Apa yang bisa anak ini banggakan ketika ia lahir, Mas?" sahut Mariah mencak-mencak.
"Mar, cukup! Lama-lama aku bisa gila kalau kamu gini terus!" bentakku, kali ini aku seakan habis kesabaran menghadapi sikapnya.
****
Mama datang, ia langsung menghambur memeluk Mariah yang masih terbaring. Tangisnya pecah ketika ia berulangkali mengucapkan kata maaf pada Mariah.
"Ini Mama kenapa? Baru datang nangis-nangis gini, mana sambil peluk-peluk, gerah tahu, Ma!" gerutu Mariah sambil melepaskan pelukan tangan Mama.
Aku hanya bisa beristighfar dalam hati, melihat sikap Mariah yang tak ada hormat-hormatnya sama Mama, beda dengan Dinda saat masih menjadi istriku.
'Ah, dia lagi!'
"Maafkan Mama, Mar! Kamu balik ke rumah, ya! Mama janji nggak akan minta kamu mengerjakan pekerjaan rumah lagi, Mar. Biar Mama minta Galuh saja yang beres-beres rumah setiap hari. Gimana?" tanya Mama, menatap Mariah penuh harap.
"Benarkah itu?" Raut wajah Mariah berubah seketika, saat mendengar ucapan Mama barusan.
'Ah, Mama selalu begitu, jika ada maunya pasti ada yang harus di korbankan!'
"Bener'lah, Mar. Masa Mama bohong! Demi cucu perempuan Mama," sahutnya riang.
Akhirnya Mariah setuju kembali tinggal di rumah Mama. Alhamdulilah.
****
"Hel, kira-kira dong, kamu!" gerutu Mbak Galuh.
"Apa, sih, Mbak? Datang-datang udah nafsu gitu!" sahutku santai.
"Masa Mbak harus kesini tiap hari untuk beres-beres? Di kira aku nggak punya anak, nggak punya suami apa, hah? Ini gara-gara si Mariah, kurang ajar sekali dia berani-beraninya meracuni pikiran Mama!" cerocos Mbak Galuh tanpa jeda.
"Itu ide Mama, Mbak. Bukan ide Mariah!" protesku.
"Kamu sebagai laki-laki di sini harusnya tanggung jawab, bukannya cuma bunting*n doang, abis itu malah ngerepotin orang!" sindir Mbak Galuh pedas, lebih pedas dari seblak ceker level tertinggi.
"Ya ampun, Mbak. Kalau keberatan nggak usah datang aja, sih!" Aku tetap santai menanggapi omongan kakakku, malu sudah pinjem uang banyak kalau mesti nyolot.
"Nggak segampang itu, Mama pasti akan rewel,kamu tahu sendiri 'kan Mama kayak gimana?" Mbak Galuh tetap ngotot.
"Terus Mbak sekarang maunya gimana?" tanyaku berapi-api.
"Kamu sewa ART lagi'lah! cetus Mbak Galuh terdengar enteng.
"Nanti kupikir-pikir dulu, ya , Mbak!" jawabku malas.
Bukannya aku pelit, hanya saja usahaku belum berjalan dengan baik.
'Hm, semuanya terasa rumit sekarang!'
____________________