****
"Kalau Mas sakit segera kabari Bunda!" tegas Dinda sambil mengusap rambut anaknya.
"Iya, Bun. Kan, sekarang Adam cuma punya Bunda."
Degh.
Dinda seketika gelisah mendengar jawaban anak pertamanya, ia tak ingin traumanya Adam membuat ia harus membenci ayahnya. Walau bagaimanapun baik buruknya orang tua, ia tetap harus di hormati.
"Sayang, nggak baik bicara begitu. Adam masih punya Ayah, hanya saja saat ini dia sedang sibuk. Maafkan Ayah, ya, Nak!" ucap Dinda pelan. Dinda merasa dadanya sesak saat mengucapkan kalimat itu.
Adam mengangguk.
Tak ingin membuat suasana hati Adam memburuk, Dinda segera pamit. Sebelumnya, Dinda menjelaskan secara garis besarnya saja pada Bu Nuri, agar ia bisa menjaga dan memaklumi perubahan sikap Adam.
Dinda sedih? Sudah pasti. Mengingat Adam adalah jiwa yang paling terluka atas perceraian ini. Adam sudah mengerti artinya perpisahan, bahkan dia sempat mendapat perlakuan kasar dari perempuan itu.
Ponsel milik Dinda berdering, ia segera mengambil benda itu dari tasnya. Ia mengusap tombol hijau lalu mendekatkannya ke telinga.
'Tak biasanya Mbak Sri menelepon, mungkin ada hal yang sangat penting.'
"Assalamu'alaikum, Mbak Sri. Aku masih di Pesantren, ada apa?" tanya Dinda.
Namun, suara Mbak Sri dari seberang telepon tak jelas terdengar oleh Dinda. Akhirnya, ia mematikan sambungan teleponnya, Berharap Mbak Sri mengirim pesan saja.
Klunting.
Benar saja, satu pesan masuk dari Mbak Sri. Karena penasaran, Dinda segera membacanya.
[Non, kapan pulang? Di rumah ada pelakor, udah saya suruh pergi tapi dianya ngotot mau menunggu Non pulang. Apa saya mengusirnya minta tolong tetangga, ya?]
Marah, Dinda terlihat sangat marah ketika membaca pesan dari Mbak Sri, namun ia tak boleh gegabah mengambil tindakan.
Ide Mbak Sri bagus, tapi nanti ujung-ujungnya ia sendiri akan jadi bahan ghibahan para tetangganya. Apalagi diantara mereka ada yang sangat-sangat lemes mulutnya.
"Ada apa, Din?" tanya Bram, ketika ia menyadari raut wajah Dinda yang berubah merah padam.
"Gund*k itu ada di rumahku, Mas."
"Loh, ngapain?"
"Aku gak tahu, bisakah kita pulang sekarang?"
"Siap, Nona!"
Setelah pamit pada Bu Nuri, Bram dan Dinda segera kembali ke kota Bandung. Untungnya, Bram sudah terbiasa membawa kendaraan dengan kecepatan tinggi.
"Jangan terlalu di pikirkan, nanti kamu sakit!"
Bram, mencoba memulai percakapan dengan Dinda, yang sedari tadi hanya diam saja, pandangannya kosong menatap ke arah luar kaca mobil.
"Ya, Mas!"
"Apa perlu aku meminta Galuh untuk datang ke rumahmu?" tanya Bram lagi.
"Tidak usah, Mas! Aku sudah banyak merepotkan Mbak Galuh," tolak Dinda dengan cepat.
"Kamu ini tak banyak berubah dari dulu!" sahut Bram sambil tersenyum.
****
Ketika sampai rumah, Alif masih tertidur di sampingnya. Dinda pelan-pelan menepuk-nepuk pipi Alif, bermaksud untuk membangunkannya.
"Nggak perlu di bangunkan, biar aku gendong saja. Kasian Alif, Din!" ucap Bram.
"Oke, makasih, Mas!"
Baru saja langkah Dinda akan masuk rumah, tiba- tiba wanita itu keluar sambil bertepuk tangan sambil tersenyum sinis pada Dinda.
"Hebat, ya! Mbak mencaciku ketika Mas Helmi berpaling sama aku. Lah, Mbak sendiri ada main sama laki-laki lain. Kakak ipar Mbak sendiri pula!" cibir Mariah puas.
Dinda meminta Bram memberikan Alif pada Mbak Sri saja untuk di tidurkan di kamar, Dinda tak rela Alif menyaksikan hal yang tidak pantas untuk ia lihat.
"Aku tak ada hubungan apa-apa dengan Mas Bram. Jaga mulut kamu, Mariah!" tegas Dinda menatap Mariah dengan nyalang.
"Halah ngaku aja, Mbak!"
"Aku tidak seperti kamu Mariah, maaf kita beda level, dan aku bukan pencuri seperti kamu!" ucap Dinda sengaja di tinggikan. Berharap Mariah kena mental.
"Hahaha, pencuri teriak pencuri. Lucu sekali dunia ini!" sahut Mariah.
"Wanita liar sepertimu, tak pantas berada di sini. Pergilah, sebelum aku menyeretmu ke luar!" hardik Bram. Ia tak tahan mendengar ucapan Mariah yang menyudutkan Dinda.
Dinda kaget, selama ia kenal dengan Bram, Bram tak pernah bicara sekeras itu. Dulu, ketika ia di bully sampai babak-belur pun ia tak pernah melawan sama sekali.
"Oops ... takut!" Mariah membekap mulut dengan tangannya sambil cengengesan.
"Pergilah, Mariah. Hari ini aku sedang tak ingin meladenimu!" ungkap Dinda dengan suara yang sedikit di pelankan.
"Nggak, aku tak akan pergi. Mulai hari ini aku akan tinggal di rumah ini, ada haknya Mas Helmi juga 'kan di sini?" ujar Mariah tanpa malu-malu.
"Astaga, dengan kamu masuk saja ke kehidupannya itu membuatnya sakit, apalagi kalau kamu tinggal di sini, Mariah. Pergilah, aku tak mau kasar dengan perempuan!" Bram menimpali.
"Kenapa tak kamu saja yang pergi? Kamu bukan siapa-siapa di sini!" elak Mariah.
"Baiklah, karena kamu keras kepala, aku akan memanggil warga untuk mengusirmu. Kamu itu sudah merebut Mas Helmi, sekarang kamu mau tinggal di rumahku? Dasar, nggak punya malu!" umpat Dinda kesal.
Dinda bergegas melangkah keluar rumah, namun langkahnya terhenti di ambang pintu.
"Huekk! Huekk!"
"Pusing sekali." Mariah meringis, namun baik Bram atau Dinda hanya saling pandang melihat Mariah mual-mual.
"Mbak Sri, antarkan dia ke toilet khusus tamu! Pastikan, orang ini tak mencuri apa-apa lagi di rumahku!" titah Dinda pada ART-nya.
"Iya, Non."
'Bikin rusuh di rumah orang aja, bisanya. Huh!'
"Mas, kamu pulang saja. Kasian Mbak Galuh dia pasti sudah menunggumu. Sampaikan rasa terimakasih untuk Mbak Galuh, ya, Mas!" ucap Dinda.
Bram mengangguk, "kalau ada apa-apa segera hubungi aku atau Galuh, ya!" Lalu ia bergegas meninggalkan rumah Dinda.
****
Dinda yang seharusnya beristirahat karena perjalanan jauh yang melelahkan, malah harus berpikir keras untuk mengusir Mariah dari rumahnya. Ia duduk di depan televisi, lalu ia menghubungi mantan suaminya dan memintanya untuk segera menjemput perempuan itu.
Terdengar ketukan di pintu beberapa kali, ia seolah menulikan telinganya. Menunggu Mbak Sri saja yang membukakan pintu untuk si pengetuk pintu, yang ia yakini itu adalah mantan suaminya, Helmi.
"Dimana Mariah, Din?" tanya Helmi, napasnya memburu membuat Dinda sedikit cemburu.
'Sepanik inikah ketika Mariah pergi dari rumahmu, Mas? Lalu, kenapa kamu tak sepanik ini ketika aku, Adam dan Alfi pergi dari hidupmu? Apa kami tak penting bagimu?'
"Di kamar tamu," jawab Dinda datar, ia bersusah payah menyembunyikan perasaan sakitnya di depan mantan suaminya.
"Oke, terimakasih, Din."
Helmi setengah berlari menuju kamar tamu, dimana di dalam kamar itu ada perempuan yang sebelumnya ia anggap sempurna untuk hidupnya. Namun, kenyataannya ia hampir menyerah ketika menghadapi perempuannya tak sesempurna yang ia bayangkan.
"Berkali-kali Helmi mengetuk pintu, namun sepertinya orang yang berada di dalam tak mendengar ketukan itu atau pura-pura tak mendengar.
Dengan Malas Dinda beranjak mencari kunci duplikat kamar tamu, lalu dengan senang hati menyodorkannya pada Helmi.
"Heran. Ribut, kok, kaburnya ke rumah orang. Lain kali sewa hotel, sewa villa atau kalau mampu sengaja belikan apartemen untuknya, khusus buat kalau dia minggat doang, Mas!" ejek Dinda, sambil tersenyum puas melihat kekonyolan di rumahnya.
"Ini bukan urusanmu, Din. Diamlah!" gertak Helmi.
"Tentu ini urusanku, ini rumahku!" sergah Dinda.
"Iya, aku lupa. Maaf!"
Ketika pintu terbuka, Mariah sedang asyik duduk di atas kasur dengan ponsel di tangannya.
"Mar, ayo kita pulang. Kamu sudah keterlaluan, kamu membuatku malu kali ini!" cecar Helmi sambil menyeret tangan Mariah dengan kasar.
"Aku tidak mau pulang ke rumah mamamu, Mas. Di sana seperti neraka!" sahut Mariah tak kalah emosi.
Dinda yang menyaksikan mereka berdua tersenyum sinis. Tuhan sangat baik, menampakkan karma yang nyata di depannya untuk semua rasa sakit yang telah ia dapat dari lelaki yang bernama Helmi.
Dinda dapat merasakan, kehidupan Helmi yang sekarang penuh beban. Ya, beban yang berat ketika menghadapi istri mudanya yang labil.
"Uh, ngeri!" ucapku pelan, namun mereka berdua pasti mendengarnya.
"Mbak, izinkan aku tinggal di sini. Atau kalau perlu kalian tak usah jadi bercerai, balikan aja nggak pa-pa. Aku ikhlas di madu asal aku tinggal di rumah ini dan menjadi ratu kedua di rumah ini, please!" Mariah, menangkupkan kedua tangannya di dadanya. Entah apa maksudnya tapi yang jelas mampu membuat emosi Dinda terpancing.
"Berhenti bermimpi, sebelum kamu benar-benar gila, Mariah!"
"Pergilah kalian berdua, sampai mati pun aku tak akan sudi menampung pencuri dan pengkhianat seperti kalian di rumahku!" pekik Dinda.
"Kamu pelit, kamu serakah, pantas saja Mas Helmi lebih memilihku!" umpat Mariah. Langkah kakinya terseok-seok karena Helmi menyeretnya cukup kuat keluar dari kamar dan melangkah ke depan dengan cepat.
'Drama murahan!'
___________________