****
Semalam, Mas Helmi pulang larut malam bersama Mariah, Wajah kusut keduanya membuatku sangat penasaran. Namun, belum langkah ini mendekat, dia menatapku berang seperti hendak menerkam.
Melihat tatapannya, nyaliku tidak menciut sedikitpun, malah aku melangkah dengan penuh percaya diri menghampirinya.
"Bersyukurlah, kalian tidak menginap di balik jeruji besi," ejekku penuh kemenangan.
"Aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu, Mbak!" pekik Mariah, meluapkan kemarahannya padaku.
"Punya bukti?" tanyaku, tetap mengejeknya.
"Akan segera kudapatkan, tunggu saja!" ucap Mariah dengan ketus.
"Silakan!" tegasku.
"Oh, iya, Mas. besok pagi kalian semua harus sudah angkat kaki dari rumah ini!" lanjutku.
"Dinda, kamu itu keterlaluan sekali, pengacaramu saja memberikanku waktu 1×24 jam untuk berpikir, kenapa kamu malah mengusirku?" sergah Mas Helmi.
"Untuk apa berpikir? Semuanya sudah selesai, Mas!" bentakku kemudian.
"Uangku sudah kamu bekukan, lalu akan dengan apa aku membayar sewa rumah, Dinda?" teriaknya.
"Pakai cintanya Mariah saja, bukan' kah gara-gara cintanya Mariah, kamu rela kehilangan tiga orang sekaligus dalam hidupmu?" ledekku, membuatnya gelagapan.
"Atau mungkin tidur di kolong jembatan pun jika dengan Mariah akan terasa tidur di kamar hotel bintang lima, Mas!" Aku terkekeh saat mengucapkannya.
"Terus saja kamu menghinaku dan Mas Helmi. Apa yang kamu lakukan tak akan membuat Mas Helmi mencintai kamu lagi. Sadar diri kenapa, Mbak!" Mariah ikut bicara.
"Oya? Lagian sejuta kalipun Mas Helmi memohon, aku tak akan pernah sudi memberi kesempatan untuk lelaki yang sudah berkhianat. Kamu berdo'a saja agar dia tak akan berkhianat dari kamu, Mariah!"
Jika aku meladeni mereka, aku yang akan rugi sendiri dan buang-buang waktu saja. Maka gegas aku meninggalkan mereka dan memutuskan untuk segera tidur, masih banyak hal yang perlu kulakukan besok pagi.
****
"Mas, kenapa masih menaruh handuk di atas kasur? Jadinya lembab 'kan kasurnya!" gerutuku pagi itu.
"Lupa, Din. Maaf!" jawab Mas Helmi singkat, namun ia berhasil mendaratkan kecupan di keningku.
"Hm, ya sudah, besok-besok jangan gitu lagi, ya, Mas!" ucapku sambil cemberut.
"Jangan begitu, nanti cantiknya hilang, loh!" rayunya lagi.
"Mas, aku nggak nyaman tinggal di sini. Pindah rumah, yuk!" Aku mengeluh, karena tetanggaku orangnya julid-julid.
"Sabar, ya, tunggu tabungan kita cukup dulu. Kamu dan dede bayi berdo'anya lebih kuat lagi, ya!" sahut Mas Helmi. Ia mengusap lembut perutku yang mulai membuncit.
Ya, saat itu aku sedang mengandung Adam, rumah ini adalah hadiah untukku karena telah melahirkan Adam, putra pertamanya. Enak saja, tiba-tiba sekarang di minta lagi untuk di tinggali bersama Mariah!
Aku menerawang jauh, mengingat hal-hal manis bersama Mas Helmi dan anak-anak.
Kelahiran Adam jauh lebih baik dari pada saat kelahiran Alif, putra keduaku. Adam di sambut dengan suka cita oleh semua keluarga, termasuk Mama Wulan.
Siapa sangka? Sekarang Mas Helmi pun menggantikanku dengan perempuan baru, lebih muda, lebih cantik dan di agung-agungkan akan memberi Mama wulan cucu perempuan.
Salahkah air mataku masih terjatuh tatkala mengingat kenangan manis lima belas tahun lalu? Kami berjuang dari nol, berpindah-pindah rumah, hingga kata sukses berhasil dalam genggaman kita. Namun, Mas Helmi dengan tega berselingkuh lalu menikahi perempuan itu di belakangku.
"Ayah, janji sama Adam untuk jagain bunda selama Adam di pondok, ya!" ucap anak sulungku, ketika kami mengantarnya sampai depan pondok pesantren.
"Iya, Ayah janji, Nak." Mas Helmi mengacungkan jari kelingkingnya, yang di cantolkan dengan jari kelingking mungil anakku.
"Tapi, Mas Adam juga janji harus belajar yang rajin, ya!" timpalku.
Kami terbiasa memanggil Adam dengan sebutan Mas, agar kelak Alif terbiasa memanggilnya Mas juga, bukan hanya sekadar nama saja.
Adam menggangguk, lalu Ia mencium tanganku dengan takzim. Aku memeluknya sekali lagi sebelum berpisah. Ada rasa sedih menggelayut dalam benakku setiap melepas anakku ke pondok. Ah, mungkin itu momen terakhir aku mengantar Adam bersama Mas Helmi.
****
"Bunda, Bunda bangun!" ucap Alif sambil menarik-narik lenganku ketika aku terbangun. Hawa panas kurasakan dari tubuh ini. Sedangkan, Disha dengan telaten mengompres keningku.
"Kak, sudah bangun? Kenapa tak bilang Disha kalau Kak Dinda sedang tidak enak badan?" tanya Disha, ia terlihat panik.
"Kakak nggak pa-pa, Disha. Badan Kakak cuma anget dikit, jangan khawatir!" jawabku sambil tersenyum.
"Bagaimana nggak khawatir, di sini cuma ada Disha, Alif dan Mbak Sri yang peduli sama Kakak," sahut Disha lagi, seperti hendak menangis. Mungkin dia benar-benar panik melihatku yang terkulai lemas.
Mulutku terasa pahit, rasa haus menyerang tenggorokanku seketika. Namun, ketika aku mencoba untuk bangun, kepalaku terasa sakit.
"Disha, Kakak haus. Maaf, bisa ambilkan minum?" pintaku pada Disha yang sedang mengelus rambut Alif.
"Bisa, Kak, tunggu!"
"Alif, tolong jagain Bunda, ya!" Disha berbisik di telinga Alif, karena jaraknya yang dekat, aku masih mendengarnya dengan jelas.
Alif mengangguk, ia mengucek matanya yang sembab dan aku membawanya ke dalam pelukan. Ya, hanya dia kekuatanku saat ini.
Seseorang masuk ke dalam kamarku tanpa permisi, ia tersenyum sinis melihat keadaanku.
"Baru di talak saja sudah meriang, bagaimana kalau surat cerai sudah keluar bisa langsung mati kali, ya? Masih mau sok kuat, Mbak? kelakar Mariah. Ia tertawa puas seolah menertawakan takdirku yang buruk.
"Keluar Mariah, bukan saatnya kamu bercanda di sini!" usirku .
"Aku tak sedang bercanda, Mbak. Aku serius," tegasnya.
Aku terpaksa menutup telinga Alif dengan kedua tanganku, agar dia tak mendengar apapun yang Mariah ucapkan.
"Pergi, Mariah!" usirku lagi.
Disha datang dengan segelas air putih di tangannya, lalu menyerahkannya padaku.
"Mba, silakan keluar, nggak usah ganggu Kak Dinda!" ucap Disha dengan tegas.
"Diam, anak kecil! Kamu tak di ajarkan sopan santun'kah oleh keluargamu?" cibir Mariah menatap Disha.
"Tentu di ajarkan. Tetapi tepatnya aku tak di ajarkan sopan kepada perempuan yang sudah mencuri suami kakakku!" sahut Disha lagi.
"Memangnya, Mas Helmi itu barang? Yang bisa di curi oleh siapa saja. Mas Helmi itu manusia yang punya rasa, kalau dia tak nyaman denganku mana mungkin dia akan memilihku dan membuang Kakakmu yang cacat itu!" sergah Mariah.
Byurr.
Segelas air putih mendarat dengan sempurna di wajah cantik Mariah, membuatnya basah. Meskipun kepalaku sedang sakit, tapi demi memberi pelajaran pada Mariah tiba-tiba saja aku kuat bangun dan melawan rasa sakit di kepalaku.
"Kurang ajar kamu, Mbak! Berani-beraninya kalian mengeroyokku. Huhuhu," raung Mariah.
"Salah sendiri, di suruh pergi kamu malah terus menyakiti kakakku!" geram Disha.
Tak sampai di situ Disha bahkan mendorong tubuh Mariah ke luar kamar dengan kasar.
"Akan kubalas kalian berdua, sampai kalian memohon ampun di kakiku!" teriak Mariah, di sela tangisnya yang meraung-raung bak anak kecil.
Begitulah, ratu drama memainkan perannya. Dia yang mencari masalah denganku, tapi dia juga yang merasa sedang di dzolimi. Ampun dah!
____________________