****
'Secantik apapun kamu merawat diri dan menjaga hati, kalau memang sudah dasarnya lelaki itu tak setia, tetap saja dia akan berpaling dari kamu, Din.'
'Hai, lihatlah dunia tak berhenti ketika ucapan talak itu jatuh. Kamu masih punya Adam dan Alif yang harus kamu jaga dan besarkan!'
Aku terus menata hati dengan hal-hal yang mampu membangkitkan semangatku. Malam kemarin kuhabiskan dengan menangis, menyesalkan kepercayaan penuh yang kuberikan pada Mas Helmi. Tetapi, tidak untuk hari ini, aku harus lebih siap menyambut bahagia bersama kedua anak lelakiku.
Siang ini, aku berkutat dengan pekerjaan baruku. Aku berniat mengganti semua peraturan yang sudah di buat Mas Helmi sejak lama. Aku memanggil satu orang karyawan dari setiap toko untuk diberikan pengarahan.
"Selamat siang. Berhubung toko-toko saya yang kelola, mungkin saya akan menerapkan peraturan baru. Saya ingin, karyawan perempuan yang bekerja di sini semua memakai hijab, dan berpakaian yang tidak menampakkan lekuk tubuhnya!" ucapku tegas, di sambut dengan anggukan dari karyawan-karyawanku.
Tidak mudah, juga tidak terlalu sulit. di antara karyawati yang merasa keberatan untuk menganti style-nya, di persilakan untuk mengundurkan diri.
"Bu, bolehkah saya bicara sebentar? Ada hal yang ingin saya sampaikan," ucap Luna terlihat ragu.
Aku tahu Luna masih saudaranya Hana, namun aku tak boleh memukul rata. Jangan karena Hana yang mengkhianatiku, luna kena imbasnya juga.
"Boleh," sahutku.
Aku membubarkan karyawan lainnya untuk kembali bekerja . Sedangkan Luna, ia kupersilakan duduk terlebih dahulu dan mulai mendengarkan apa yang ia katakan.
"Bu, saya tidak mau di pindahkan ke Jakarta. Saya tidak mau jauh dari anak saya," keluhnya dengan wajah tertunduk sedih.
Beberapa waktu lalu, Hana pernah bilang kalau Mas Helmi berencana untuk memutasikan Luna ke Jakarta, tapi sekarang toko sudah menjadi tanggung jawabku.
"Kamu jangan takut, Luna. Kamu tetap di sini!" sahutku, membuatnya menatapku lekat-lekat.
"Ibu, yakin? Soalnya semalam Pak Helmi chat saya, minggu depan saya tetap di pindahkan. Dia memberi pilihan, kalau saya tak mau di pindahkan saya akan di pecat, Bu," ungkap Luna.
'Mas Helmi, ternyata ingin merekrut karyawan-karyawan lama, hm.'
****
Peraturan baru sudah mulai di terapkan, karyawan perempuanku semuanya memakai hijab. Sungguh lebih cantik, dan lebih enak di lihat. Mungkin, setelah ini aku akan menerapkan peraturan yang sama di bagian produksi.
Luna kembali menghadapku, dan memperlihatkan beberapa pesan dari Mas Helmi. Aku terkejut dengan bahasanya yang vulgar, dan terkesan melecehkan Luna.
Rayuan maut serta di janjikan gaji yang hampir lima kali lipat, dan fasilitas lebih tak membuat Luna tertarik. Ia lebih memilih dekat dengan anak yang di tinggalkan suaminya.
Ya, Luna adalah Janda muda. Suaminya meninggal karena sakit, saat kandungannya berusia tujuh bulan.
'Hm, benar kata Hana, Mas Helmi ternyata mata keranjang. Sudah tak punya apa-apa, masih saja berusaha merayu Luna!'
"Bagus Luna, kamu harus menjaga harga diri kamu! Jangan silau karena materi lalu kamu mengorbankan hidupmu, blokir saja nomor Pak Helmi, karena sekarang dia hanya mengelola toko yang di Jakarta saja." Aku berucap dengan lengkungan senyum di bibirku.
"Baik, Bu. Terimakasih, Ibu mau mempertahankan saya di sini," ucap Luna dengan semringah.
Aku segera menghubungi Pak Nurdin, penanggung jawab di bagian pengiriman, dan memintanya untuk menghentikan pengiriman barang ke Jakarta. Lebih tepatnya ke toko baru milik Mas Helmi.
****
Hari hampir magrib ketika aku sampai rumah. Alif berlari menyambutku dengan riang.
"Bunda sibuk?" tanya Alif kecil, membuatku mengingat sesuatu.
Biasanya, waktuku banyak di habiskan di rumah dengannya. Hanya sesekali mengecek konveksi, karena mendesain baju bisa di lakukan di rumah saja. Namun sekarang berbeda, aku harus bolak-balik ke toko dan ke konveksi demi mencari rupiah untuk memenuhi kebutuhan kami bertiga di masa depan.
Aku harus tangguh. Menjadi Bunda sekaligus Ayah bagi Adam dan Alif, mencari rupiah untuk memberikan mereka kehidupan yang layak, juga untuk pendidikan mereka kelak dewasa.
"Maaf, sekarang Bunda akan sering pergi. Nanti, kalau Bunda nggak sibuk, Bunda ajak Alif jalan-jalan, ya!' rayuku, takut dia ngambek karena aku sibuk terus.
"Iya, Bunda."
Aku mengecup keningnya berkali-kali. Sungguh, lelahku tiba-tiba hilang begitu saja, saat aku bercengkrama dengan putra bungsuku.
"Bunda, sekarang mandi dulu. Nanti, Bunda temani Alif main." Aku merapikan anak rambutnya yang berantakan.
Aku bersyukur Disha menjaga Alif dengan baik. Aku juga yakin Disha'lah yang mengalihkan perhatian Alif. Terbukti, selama Mas Helmi pergi, Alif tak pernah lagi menanyakan tentang Mas Helmi sama sekali. Syukurlah!
Kucuran air shower mampu mendinginkan otakku yang terasa panas akibat bergelut dengan pekerjaan. Mungkin, karena aku belum terbiasa bekerja penuh seharian.
Azan Magrib berkumandang syahdu, aku segera mengambil mukena untuk menunaikan kewajibanku. Masih ada rasa sesak, biasanya Mas Helmi yang menjadi imamku ketika ia sedang berada di rumah.
'Astaghfirullah, Astaghfirullah.'
Aku terus beristighfar dalam hati, bukannya khusyu karena akan menghadap Allah malah memikirkan lelaki yang jelas-jelas sudah mengecewakanku.
Selepas menunaikan tiga rakaat, aku masih ingin bermanja- manja dengan Allah. Mengurai sesak di dada dengan berdo'a, agar aku diberikan kekuatan untuk melewati semua kepedihan ini.
Pintu kamar terbuka dengan pelan. Alif menghampiri ketika aku sudah selesai berdo'a. Lalu ia duduk di sampingku dengan hati-hati.
"Bunda jangan sedih, lagi!" ucapnya lirih, menatapku dengan sendu.
Aku mengangguk dan membawa tubuhnya dalam pelukanku. lelaki kecilku ini pandai memahami keadaanku.
'Maaf, karena keegoisan kami, Alif harus terpisah dengan ayahmu, Nak!'
Ya, aku hanya sanggup membatin tanpa mampu mengucapkan langsung meminta maaf kepada Alif, dia masih terlalu dini untuk mengerti yang sebenarnya.
"Ayah mau pergi ke mana? Bukankah, Tante itu temannya Alif, lalu kenapa Ayah ajak Tante itu pergi?"
Pertanyaan polos dari bibir Alif, meluncur begitu saja saat Mas Helmi dan Mariah angkat kaki dari rumah ini. Mau tak mau akhirnya aku mencari alasan yang masuk akal untuk anak seusia Alif.
"Ayah sama Tante tinggal dulu di rumah Oma Wulan. Kan, Alif tahu Oma sudah tua, sering sakit-sakitan juga. Jadi, harus di temani." Aku berusaha menjelaskan pelan-pelan.
Ponselku berdering, tanda ada panggilan masuk. Aku segera mengambil benda pipih itu di atas nakas.
MAS HELMI CALLING
Ibu jariku menyentuh tombol hijau dan mendekatkannya ke telingaku.
"Assalamu'alaikum," sapaku, tenang.
"Wa'alaikumussalam, Di-Dinda." Mas Helmi menjawab salamku dengan gugup, mungkin Mariah sedang di sisinya.
"Ada apa, Mas?" tanyaku. Gaya bicara sengaja kumanja-manjakan.
"Din, Mas mau minta izin untuk Luna, dia mau Mas mutasi ke jakarta. Mas perlu orang lama yang sudah mengerti cara mengelola toko," ungkapnya setengah bisik-bisik.
"Maaf, sepertinya tidak bisa, Mas! Kemarin aku sudah memecat Hana, kenapa tak Hana saja yang kamu ajak ke situ? Aku yakin, Hana bisa bekerja sama dengan kamu, termasuk menyimpan perselingkuhan kamu juga, kan, Mas!" sahutku sambil terkekeh, menertawakannya.
Hening.
"Mas?" panggilku, karena tak ada suara apapun dari lawan bicaraku.
"Ya, Dinda. Besok mas minta dikirimkan barang, ya! Nanti biar Mas list dulu apa yang mas mau," ucap Mas Helmi, tanpa menghiraukan ucapanku yang tadi.
"Oh, tidak bisa juga, Mas. Soalnya aku memutuskan tak akan kerja sama dengan kamu lagi, Kamu cari saja bakulan lain, Mas!" tolakku dengan cepat.
"Loh, kok, gitu? Kita 'kan harus mengumpulkan banyak uang untuk pendidikannya Adam dan Alif, kenapa kamu malah begini, sih?" tanya Mas Helmi lagi.
"Ah, bukan itu alasan satu-satunya. Lagian kalau untuk anak-anak, Insya Allah aku mampu mempersiapkan semuanya sendiri, Mas." Aku menjawabnya dengan tegas, lalu mematika sambungan telepon.
'Biar Mariah tahu, berjuang dari nol itu tidak semudah merebut hati Mas Helmi!'
___________________